God bless this mess.



Rabu, 21 September 2011

Bukan Naif


Manusia terkadang terlalu naif menyikapi hal-hal yang menimpanya. Menganggap sebuah kecelakaan yang menimpa seseorang tidak lebih dari sebuah takdir Tuhan. Dan gemuruh petir yang melebamkan langit muncul sebagai hasil pelepasan muatan listrik di awan.

Namun tidak jarang manusia berperan sebagai pembubuh drama.
Sehingga hujan tidak sekedar meluruhkan air.
Dan pagi-pagi tidak pernah sama.

...

Aku sedang bersamamu malam itu. Membicarakan hal-hal yang sudah lewat seperti biasa. Kamu dengan asisten manajermu yang tidak mau tahu, dan aku dengan tetek bengek teori likuiditas-profitabilitas-pertumbuhan the golden triangle yang baru saja aku dapat dari kelas Treasury di kampus -yah, aku memang tipe yang begitu-.

Tidak ada lampu jalan yang mendadak kuning, atau retasan hujan menyerbu atap rumah yang memerangkap memori. Tidak, tidak ada hal diluar kebiasaan malam itu.

Sampai sebuah telepon masuk. Oh..... dia.

Tidak seperti kemunculannya yang tiba-tiba di antara wajah lelah para pekerja yang menghunus senja penuh asap di Jakarta, atau namanya yang mendadak kulafalkan seperti bersin di siang bolong. Ah, bukankah otak kita ini seperti labirin yang menyesatkan sosok-sosok? Selama sosok itu pernah meninggalkan jejak di jajaran penginderaanmu, jangan pernah berharap sosok itu bisa benar-benar hilang suatu saat. Yah, kecuali seorang ilmuwan berani mengatakan bahwa ingatan itu menyublim.

Sulit sekali mengingat apa yang pernah datang bersama nama itu. Tidak seperti ketika kamu mengingat kata 'kuliah' dan serentetan memori berdesakan masuk; candaan hangat di kelas, lapangan parkir yang pengap, melahap secangkir teh tanpa gula di warung kopi tegal sepele di belakang kampus, seperti tombol Ctrl+F dan seluruhnya muncul.

Tapi kali ini tidak, hal terakhir yang kuingat darinya hanya racauan-racauan kasarnya di media sosial. Kemampuannya membuat drama-drama baru atas dirinya sendiri, aku sulit membayangkan ini. Kamu membuat drama untuk dirimu sendiri.

Ingatanku berhenti ketika 'dia' sudah tidak lagi menjadi 'kamu'.

Saat ini mungkin aku berharap dapat bertukar posisi dengan rintik hujan, yang hanya bertugas untuk jatuh dan sudah. Mungkin dia tidak perlu repot-repot berpikir kenapa matahari berputar sendirian, atau kenapa orang-orang terus meributkan kenapa ada hal-hal semacam sekuleritas yang membuat hitam dan putih semakin pudar dari eksistensinya sebagai warna.

Atau kenapa dia meneleponku malam itu.

Mungkin dia ingin meminta maaf.
Ah, mana mungkin? Orang seperti dia yang memilih lari di bawah pohon daripada berkeringat menatap matahari?
Mungkin dia ingin mengatakan bahwa dia tidak mampu hidup tanpaku.
Naif sekali. Sekali-sekali cobalah keluar dari jeruji drama dan mulailah mengizinkan dirimu dirajam dengan bebatuan bertuliskan realitas.
....
...
..
.

Tidak ada yang berubah. Kamu tetap di depanku dan dia tetap stupa keji tanpa identitas yang membesar dan meletus.
Mengembun dan menguap.
Merekah dan berguguran.

Tidak kali ini. Aku tidak akan menuruti dia dan kembali menjadikan kami dua budak drama yang kering rasionalitas. Membosankan mungkin sekarang bertengger di antara nama depan dan nama belakangku. Apapun asal segalanya menjadi lebih mudah, karena sungguh, aku tidak lagi khawatir. Karena kekhawatiran kini bahkan tidak dimiliki seekor burung pipit yang terkapar hampir mati di tepi jalan Jakarta.

Aku tersenyum padamu, seolah tidak ada yang terjadi. Karena memang tidak ada yang terjadi. Tidak sesuatu pun. Kamu bertanya, "Ada apa?"

Aku menggeleng dan tersenyum lagi. Seandainya kamu tahu, saat ini dia tidak lebih dari sebuah skenario stand up comedy yang gagal dan berubah menjadi episode Kill Bill-nya Quentin Tarantino, atau Bunuh Bambang-nya Damar Wijanarko. Kalau mereka melibatkan Beatrix Kiddo dan Sri Maryatun, mungkin kali ini kamu hanya bertemankan organ-organ tubuhku yang pernah bersaksi dan bersedia berakting tanpa dibayar. Tapi lalu kamu bertanya lagi.

"Sungguh?"

...

Aku pernah membaca sebaris kalimat, bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu tidak dapat dipungkiri adalah senyata sakit luka telanjangmu yang disentuh dengan tangan berbalur alkohol. Tapi lalu aku berpikir, bukankah luka itu ada karena dan hanya karena kita mengizinkannya tinggal? Klise, tapi bukan sesuatu yang perlu kita pelajari lagi untuk kita percayai, bahwa kita adalah satu dari mereka yang terlalu fokus pada luka dan bukan pada kulit yang tertanam di bawahnya.



Jakarta, 21 September 2011.