God bless this mess.



Kamis, 20 Oktober 2011

dan aku menangisi diriku yang tidak mampu memaafkan duniaku.

Aku terduduk di sebuah tempat tak bernyawa, memandang lugu ke sekitar. Semuanya tampak nyaman, semuanya tampak seirama. Seperti tidak ada yang salah dengan 'tak bernyawa'.

..

Klise memang, semua hal buruk datang seperti sebaris hujan yang memenuhi permukaan bebatuan. Yah, mungkin kita hanya batu-batu yang tidak dapat memilih untuk menjadi kering.Tidak henti-hentinya memohon agar 'hujan' hanya menumbuk tanpa perlu membuat rongga. Membasahi tanpa perlu merapuhkan.

"Tolong kamu kondisikan supaya tim kita bisa berangkat Sabtu ini."
"Tapi Pak, kami sudah mengumumkan pembatalan ke para peserta."
"Tidak apa-apa, saya sudah arrange dengan pimpinan-pimpinan mereka. Kita tetap berangkat, at any cost."
"Baik Pak."
...
"Baik Pak."
...
"Baik Pak."


Apalagi kalau bukan klise. Menjadi penonton di duniamu sendiri. Tidak ada yang lebih buruk dari itu. Mengais remah-remah mimpi di dunia yang bahkan bisa kau tentukan sendiri warnanya.


Terkadang manusia lemah sekali. Terpojok oleh masalah-masalah yang bahkan tidak benar-benar nyata. Menangis dan mulai menganggap dirinyalah penghasil luka teraktif di dunia. Mencari pelarian dari semakin sempitnya 'ruangan'-nya.


20 Oktober 2011.

Rabu, 12 Oktober 2011

Saat dimana aku harus bersusah payah membangun kembali definisi-definisi.


Pagi di Jakarta tidak pernah begitu ramah. Ibarat seorang wanita, mungkin dia adalah seorang dokter gigi senior yang mengalami post power syndrom akut. Angkuh, tidak terlalu mempedulikan kenyamanan semua orang. Tidak marah, tapi juga tidak tersenyum, bahkan datar pun tidak, entahlah ekspresi apa yang tergambar  ketika dunia kembali menjadi milik kita, dunia yang pernah kita miliki ketika kita masih belum sanggup berpikir dan hanya bisa mengingat. Ya. Inilah masa ketika kita berstatus sebagai sari pati yang sudah lama keluar dari inti, yang lahir dari pecahan dan kini kehilangan makna, yang tidak lagi peduli pada arah dan mulai mengambil jarak dengan logika.

Tidak banyak yang bisa kukatakan dari pagi, selain tendensi yang malas berotasi, dan kerut wajah yang lebih telanjang dari luka itu sendiri. Ya, semua orang terluka. Semua orang lupa. Semua, termasuk mesin dan debu jalan yang tidak punya cadangan toleransi. Bau mesin kopaja yang menyumbat semua lubang perasaan. Tidak ada yang tersisa selain kursi-kursi mati, serta robot-robot bervisi yang tidak terprogram untuk mencari hubungan. Sayu. Dan bisu.

Dunia mulai mendikte. Bergeraknya jarum jam membuat kaki-kaki yang mengeluh lumpuh termangu dan beranjak penuh gegas. Termasuk aku. Termasuk kamu. Bergegas menyakiti. Bergegas mengobati. Seolah tidak ada lagi hal yang bisa dinikmati.

Terkadang, aku sama dengan mereka. Berjalan angkuh menatap matahari. Berjalan lurus tanpa memandang tanda jalan. Terus dan terus menjadi budak langkah. Sampai suatu saat aku menemui sesuatu yang orang-orang beri nama stagnasi. Tepat ketika aku menyadari bahwa jalan di beberapa milimeter di depanku bahkan sudah tidak lagi ada. Saat dimana aku mulai menyadari bahwa aku punya rasa, tepat ketika rasa itu sudah mati.


...

Sekarang aku benar-benar yakin bahwa Tuhan tidak menyukai simetrisme, sudut, persistensi, dan semacamnya. Beberapa dari kita mungkin adalah manusia-manusia univariat, yang hanya mempelajari pola historis dan bertindak berdasarkan sesuatu yang pernah kita alami sebelumnya. Dan beberapa yang lain mungkin adalah manusia-manusia multivariat, yang berusaha untuk mencoba segala kemungkinan logika dan menafsirkan pergerakan dengan penjelasan berkonteks rendah.

Tidak ada yang terlalu benar, tidak ada yang terlalu salah.
Kita hanya terlalu sadar
Terlalu sadar atau terlalu pudar?
Bermandikan warna lalu mengairinya
Entahlah
1, 2, 3, 4, 5
Terkadang hidup tidak serumit itu





...

Klakson di luar masih pekak menghunus, rentetan senyawa matahari yang dikirim turun mulai bereaksi dengan tubuhku. Kertas bertuliskan "Assalamualaikum Bapak/Ibu, Mohon sumbangan seikhlasnya untuk biaya berobat ibu ke rumah sakit." ini masih di tanganku. Orang-orang di bus ini masih duduk dengan nafasnya. Mata-mata itu masih setengah mati berharap waktu dapat berhenti. Dan dunia..

Lagi-lagi tidak ada yang berubah. Mungkin kita hanya makhluk-makhluk kesal yang sedang dideportasi dari dunia kita yang sebenarnya dan terpaksa menikmati seluruhnya.







12 Oktober 2011.