God bless this mess.



Rabu, 08 Oktober 2014

There is no such thing like key to the future



Orang bilang kisah hidup kita sudah ditulis. Apa benar? Saya rasa benar. Oleh karena itu kalimat ini dipercaya oleh sebagian besar orang sebagai semacam obat anti depresan (pengganti pil-pil tolol yang tidak natural itu!) yang selalu saya ngiang-ngiangkan ketika saya sedang terlalu asyik dengan kontemplasi yang berujung pada kegelisahan. Tapi saya sebenarnya lebih tertarik untuk mengetahui detil berikutnya dari fakta umum ini: ditulisnya seketika (real-time) atau ditulis dulu baru kita peragakan?
Mungkin di tengah dunia yang sudah sangat jauh dari primitivisme, pertanyaan ini kedengaran tolol luar biasa dan terlalu berbau kesakitan psikis yang jarang orang mau tertarik membahasnya. Orang sudah punya agama. Orang sudah punya realita. Orang sudah punya orang-orang yang seagama dan melihat realita yang sama. Rasanya kita tidak bisa lebih benar dari ini. Ya kan? Ayo jangan malu-malu, iyakan saja. Dengan mengiyakan kalian hanya berpotensi kedengaran tolol luar biasa dan berbau kesakitan psikis saja kok. Big deal.
Dan kembali ke pembahasan mengenai pertanyaan tadi. Terlepas dari keprimitifan pertanyaan itu, saya ingin menyampaikan bahwa kali ini, jawaban dari pertanyaan itu  akan sangat menentukan hidup seseorang, yaitu saya sendiri. Ah, kenapa harus mengaku? Begini ya. Di setiap tulisan, saya jarang mewakilkan suatu peraga fantasi saya dalam wujud manusia, apalagi manusia yang bernama dan berkarakter. Sebab hal itu rasanya terlalu bergaya kepencipta-penciptaan. Bagimana kalau tokoh itu benar-benar ada dan takdirnya ada di tangah huruf-huruf yang saya ketik? Ah, tidak heran saya sangat tidak bisa dan benar-benar secara fundamental tidak eligible untuk membayangkan memiliki seorang anak yang keluar dari rahim saya sendiri dan bernyawa. Pakai menamai anak itu segala lagi.
Stop acting cool about playing God, people! It IS scary!

Jadi kembali lagi ke pertanyaan tadi. Real time or pre-written?
Kalau menurut saya, pre-written. Dan yang ditulisNya hanya satu kalimat. Atau dua. Atau tiga. Entahlah, yang jelas panjangnya cukup untuk menjadi background dari cerita hidup si manusia. Dan ini yang dinamakan takdir. Sesuatu yang sama sekali tidak bisa kita ubah, seperti warna kulit kita, warna rambut, negara asal, dan dari vagina siapa kita dimuntahkan. Sebagaimanapun kita berusaha men-deny, menolak takdir kita, dengan suntik putih, cat rambut, berdagang kebangsaan,  sampai mengarang cerita berasal dari keluarga blaaablaablaaa. Semuanya bisa dilakukan, namun sampai kapanpun hal-hal ketakdiran ini akan melekat dalam diri kita dalam selembar naskah yang tertulis dalam bahasa yang tidak kita ketahui dan tidak akan pernah kita ketahui dan yang kuncinya tidak ada (mengatakan bahwa itu ‘terkunci’ pun sebenarnya terdengar menggelikan). Buktinya? wanita-wanita di Afrika yang bahkan tidak tahu ada hal semacam buku, atau wacana semacam kesetaraan kesempatan bagi wanita. Novel kehidupan Anda sudah dicetak bung!
Lalu apa ada kalimat lainnya selain latar takdir tadi? Saya pikir iya. Dan saya yakin ini di-copy dan di-paste ke seluruh novel hidup para manusia. A.k.a, sama untuk semua manusia. Kalimat itu akan berbunyi seperti:
I set him/her free to choose how his/her life will be and he/she will always have my bless as long as he/she keeps his/her feet to the ground and always spread love in life.

Saya jadi menangis lagi.

Pencipta, kok kayaknya tidak sesimpel itu ya?

Apa tidak ada opsi untuk Engkau menuliskan hal-hal seperti ‘I will help him/her from time to time if he/she feels lost’.


I mean, did I even choose to live?


Daripada makin buyar dan tersorot sebagai pemilik kesakitan psikis level 2, kita kembali ke pertanyaan tadi. Saya ingin sekali percaya bahwa Pencipta hanya menuliskan kalimat-kalimat tadi dan selebihnya, kita lah yang diminta untuk bertualang dan berimprovisasi. Kalau tidak, rasanya apa yang saya pelajari seumur hidup jadi salah semua, dan ini sudah terlalu terlambat untuk sebuah kesalahan yang sedemikian besar. Seperti melamar program magang bersama anak-anak di pre-penultimate year of study padahal kita sudah punya gelar master dan pengalaman kerja. *lah, curhat

Jadi seperti ini. Manusia lahir ke dunia dari sebuah ide. Ide bahwa Pencipta kita kurang puas dengan keindahan bumi dan segenap tata surya. Pertama, Dia tidak puas dengan kegelapan. Maka Dia ciptakan cahaya. Selanjutnya, Dia tidak lagi puas dengan cahaya itu, maka diciptakanNya konsep scratch yang kita kenal dengan Big Bang theory. Setelah muncul tata surya, Dia mulai mengalirkan air dan menghendaki kehidupan di atas Bumi. Tumbuhan, hewan, semuanya membuat bumi dan kehidupan yang baru diciptakan ini begitu indah. Indah sekali. Tapi, Dia tidak berhenti di situ saja. Dia beranggapan bahwa masih ada yang kurang, lalu diciptakanlah kita. Manusia. Dengan predikat makhluk hidup paling sempurna. Jelas bahwa apabila apa yang saya ketahui ini benar adanya (i cant say this things without being harsh people, sorry!), Pencipta kita berjiwa petualang. Dia merisikokan bumi dan kehidupannya untuk ditinggali kita-kita ini yang nyata-nyata mulai merusak bumi dan membunuhi hewan-hewan inosen dengan metode yang cukup jahat. Padahal Dia punya pilihan untuk tidak.

Kalau memang saya tidak terlalu salah memahami ini, mungkin saya bisa lega. Karena selama sesuatu itu mungkin dilakukan, dan saya melakukannya dengan niat baik untuk kehidupan saya yang Cuma dikasih satu kali ini, saya bisa puas. Saya bisa benar di jalan saya sendiri. Mungkin saya akan menjadi jahat di tempat lain, tapi sebagaimana yang ditulis tadi, saya bertugas untuk memaksimalkan pencapaian saya di hidup saya sendiri. Dan selama saya tidak memelihara hal-hal yang merusak bumi, seperti menebarkan kebencian dan mengurung serta membunuhi hewan-hewan secara kejam, saya bisa bilang saya masih dalam jalur itu. Ah, saya terdengar sedang mencari pembenaran ya? Wajar sih, lagipula untuk apa ada penyalahan.

Sebagai pembanding, ada juga orang yang percaya jawaban alternatif dari jawaban pertama ini, yaitu semuanya sudah tertulis, sampai ke detil-detilnya. Ini yang membuat mereka tenang. Dan ini juga yang membuat saya tidak tenang. Meskipun lebih masuk akal karena semakin mengentalkan karakter Maha dari Pencipta. Bagi saya, ah sudahlah...pasti saya akan menyalah-nyalahkan jawaban ini. Demikian juga untuk jawaban bahwa semuanya ditulis secara real-time. Pernah nonton Ruby Sparks? Film itu memberi saya wawasan penciptaan secara lebih dahsyat daripada yang labelnya saja sudah label penciptaan seperti Noah. Kalau ditulis di mesin ketik dan real time, kenapa tidak ada masa-masa dimana saya tiba-tiba bisa ngomong bahasa Jerman atau sejenisnya? Ah, lagi-lagi. Sudahlah. Menciptakan itu memang aktivitas yang susah dimengerti.


***
Saya berharap menemukan sesuatu setelah menuliskan sehuruf demi sehuruf di sini. Karena saya biasanya datang ke depan komputer tanpa membuat lelah otak dan hati saya dengan memikirkan terlebih dahulu kerangka penulisan, ide, dan sebagainya. Saya juga niru-niru Pencipta, suka bertualang. Dan tentang keputusan-keputusan hidup yang seringkali dilematis: kita sering salah mengira realita adalah dasar dari pembuatan keputusan. Bagaimana kalau yang kita tahu itu salah?
What if we are meant to see behind walls???

For now, I am not going to cry and be whiny about my future anymore. Seperti yang dibilang aktor utama di Boyhood: there is no such thing as key to the future. Ada sesuatu yang harus terjadi seperti keluar dari pekerjaan bergengsi, putus dari pacar, bercerai, pindah jurusan di tahun ketiga, atau kabur dari rumah. Sama seperti masuk SMA favorit, menikahi PNS, kerja di negara yang lebih maju pendidikannya, mengambil penawaran promosi dari bos, menyetujui mutasi. They are equally good, as long as kita melakukannya untuk hidup yang lebih memuaskan, yang lebih orgasmik dari sebelumnya. Yang membawa kita kepada keindahan yang semakin mendekatkan diri padaNya. Bukan untuk mengerucutkan hidup kita kepada aturan-aturan atau stigma-stigma yang membawa kita semakin mundur dari kehidupan yang penuh keindahan seperti yang diinginkanNya. Membawa kita sedih. Jauh ke dalam sana. Ke dalam ketiadaan yang hanya berteman kegelapan. Can it be any emptier?