God bless this mess.



Kamis, 23 Juni 2016

Where is my glasses?

The problem is I cannot see clearly.
So however beautiful the object is, I would never ever be able to enjoy it.
And I cannot find my glasses.

Kamu berada di depanku persis saat ini. Dengan posisi favoritmu, terlentang dan memainkan ponsel dengan jari-jarimu. Menunggu kantuk menyergapmu dan mengembalikanmu pada pagi. Pagi yang menandai satu malam perjuangan telah usai.

Kamu pria yang sangat gigih. Namun juga penuh dengan cinta kasih. Terkadang aku bahkan tidak mengerti apa yang sedang kamu lakukan. Kamu bicara  proyek powerplant nasional. Potensi kenaikan harga tanah di tanah perawan Bali. Aplikasi dating professional. Di tengah-tengahnya, kamu juga bercerita tentang kaus gereja yang kamu punya dilemari dari sebuah kegiatan sosial. Kamu juga pencerita yang baik. Atau lebih tepatnya, kamu punya mata yang unik. Yang selalu bisa melihat countermeaning dari hal-hal dihadapanmu. Kamu ceritakan harimu seolah itulah hari paling produktif di hidupmu. 

Sekarang kamu sedang bingung melihatku menulis. Mungkin pikirmu, hanya wanita gila yang menulis malam-malam begini. Di tengah waktu yang seharusnya kita gunakan untuk bercerita tentang semua hal yang kita nikmati secara eksklusif dari satu sama lain. Kamu seperti tidak ingin aku melewatkan satu kisahpun.

Di mobil ketika perjalanan pulang tadi, kamu tidak berhenti bercerita. Mulai dari buka puasa yang berisi diskusi-diskusi serius, hingga korespondensi surel kamu dengan seorang partner di belahan asia tenggara lainnya. Kini aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa cerita-ceritamu. Tidak ada kamu dan logatmu yang sangat kamu. Tidak ada kamu. Betapa buruknya.

Kamu tadi bertanya. Kamu kenapa?. Aku menggeleng seperti biasanya. Layaknya politikus yang lebih memilih menyampaikan makna secara bersayap ketimbang terang-terangan meminta hujan pelukan darimu. Disertai ciuman bertubi dan perasaan hangat yang melingkupi. Aku memilih diam dan memperhatikanmu saja. Sambil berusaha memahami bahwa aku sedang buta. Sedang tidak bisa melihat apapun yang sedang kamu lakukan untukku.

Mungkin ini kutukan. Kutukan kepadaku untuk selalu kehilangan kacamata di saat-saat dimana aku sangat membutuhkannya. I mean, ini bukan seperti kehilangan payung saat hujan turun. Kehilangan kacamata itu benar-benar menyebalkan, Dan celakanya orang normal tidak akan pernah memahaminya. Seberapa jauh deviasi objek nyata dan tangkapan mata kita. Dan untuk aku, itu sudah berada di luar toleransi.

Kemarin aku bertanya pada salah seorang sahabatku. Mereka bilang ‘he is head over heels with you’, Lalu aku bingung. Kenapa kesimpulan itu tidak pernah datang dari analisisku sendiri? Kesimpulanku tentang kita selalu tidak memuaskan. Selalu berlebihan. Selalu kekurangan. Selalu ekstrim. Selalu menyimpang dalam tingkat confidence yang tidak wajar.

Mungkin buatku, mempercayai bahwa kamu menyayangiku seperti itu sesulit percaya pada superstition. Sulit memahami dan menjustifikasi ada orang yang mau menerima kekuranganku. Mencintaiku dengan seburuk-buruk versiku. I mean, aku sangat buruk. Sangat sulit untuk dicintai. Sangat sulit untuk dimaknai. Terlalu countercyclical.

Kamu harus tahu seberapa besar keinginanku untuk berubah. Kalau ada kursus bagaimana agar kita merasa dicintai, aku pasti ambil kursus itu berapapun biayanya. Karena rasa-rasanya itu investasi dengan return yang jauh lebih besar prosentasenya dari investasi di sleeping beauty bonds-nya Disney sekalipun. Kursus itu akan membuatku mengerti perasaan yang mewah itu. Perasaan yang butuh lebih dari 28 tahun and still counting itu.

Sekarang kamu sudah tidur. Salahku. Seharusnya kita sedang bercinta sekarang. Seharusnya kita sedang malas-malasnya mengakhiri hari ini. Tapi lagi-lagi aku lalai. Aku memilih diam dan membiarkan tubuhmu berbaring sendiri di depanku. Memilih mendengar dengkuranmu dibanding membuat harmoni dengannya.  

Please tell me where my glasses is.
I desperately need to witness the great thing present before me.