God bless this mess.



Kamis, 08 Agustus 2024

Heartbreak Anniversary

Ada hari-hari dimana percaya diriku tinggi. Umumnya karena hari sebelumnya, percaya diriku nol, atau bahkan minus. Hari ini juga begitu. Bicara batasan-batasan (boundaries) yang menyelamatkan diri. Bicara betapa paham aku terhadap cara kerja tubuhku, otakku, hatiku. Sambil makan tempe mendoan dan mengangguk-angguk yakin berbicara dengan kawan baikku yang sedang bertandang ke tempat sewaan baruku pasca single lagi.

 

Lupa bahwa aku masih ada di ujung tanduk. Lupa bahwa lukaku masih perlu ditutup rapat terus menerus.

 

Mungkin seraya menulis ini aku ketemu batasan baru yaitu tidak boleh bangga dulu. 

 

Aku bisa telepon kamu sekarang nggak? Penting.” Kata-kata macam ini waktu itu sudah keluar dari mulutku di jam 9 pagi aku sampai kantor. Nafasku sudah kurang normal, detak jantung sudah naik turun.

 

Kamu harus ke dokter sore ini. Lalu kamu harus berhenti baik sama dia.” Suara sebelah sana lowkey khawatir. Aku bisa merasakan nafasnya juga mau copot dengar nada bicaraku. Mungkin jantung-jantung bisa berkomunikasi melalui udara dan internet juga.

 

Oke, tapi aku masih banyak urusan sama dia. Aku harus gimana? Aku harus block dia aja?” Lagi-lagi aku bermain dengan isi kepala. Opsi-opsi diurai, mana yang akhirnya harus aku ambil untuk hasil yang tentunya sudah dikompromi dan cenderung jauh dari optimal. Opsi-opsi yang membuat kepalaku aktif terus ini entah kapan bisa diregulasi. 

 

Nggak usah, kamu nggak usah menunjukkan perasaan apapun ke dia. Profesional aja.” Kata-kata dia tidak seperti sok tahu. Kata-kata ini beneran datang dari orang yang matanya berbicara semua hal yang pernah dia lalui.

 

Dia sudah lama sekali berada di dalam hidupku, total 2 tahunan. Aku tau sekali berapa pil yang dia tenggak, berapa malam ia harus nongkrong ngeliatin tali jemuran di apartemen sempit dan tumpukan tanggung jawab yang harus dia jalanin sampai di titik ini. Berapa guru spiritual, berapa permelukatan ke Bali, berapa kombinasi drugsYa ampun kenapa ini jadi cerita tentang kamu lagi? Is it always you? the one that never made me wonder.

 

Dia memang bukan bagian dari hidupku sehari-harinya lagi, tapi rasanya dia berpengaruh besar terhadapku selalu. Pinky promise yang dibuat dengan sangat maskulin I still keep my promise you know” itu seperti mantra buat aku benar-benar merasa akan selalu ada sekoci kalau-kalau kapalku yang sebenarnya gagah-gagah aja ini karam juga nantinya.

 

Oke, tapi ada yang mengganggu pikiranku, aku selalu mikir kenapa dia ngelakuin ini ke aku?” Aku seperti jurnalis yang tujuannya mencari kepuasan sekarang. Kepuasan buat suara-suara kritis  yang ada di dalam diriku sehari-harinya. Yang terus bertanya, terus protes, intinya terus berbuat sesukanya.

 

Nggak semua harus ada jawabannya sekarang. Kamu bisa mikirin itu nanti. Ingat, kamu jangan pernah diskusiin soal perasaan ke dia. Minimal dalam masa transisi ini.” Suaranya penuh rasa peduli. Entah gimana tapi aku tau. Dia bener-bener pengen aku keluar dari situasi mumet ini. 

 

Aku yang lebih mirip sayuran daripada manusia saking nggak punya otaknya ini akhirnya memilih percaya. Percaya bahwa itu jalan keluarnya. Aku menerima kata-kata itu sepenuhnya. Kata-kata itu beneran masuk ke dalam diriku, lewat semua pintu. Masuk bebarengan lalu kunci pintu. Nggak ada satupun yang luput. Bener-bener semuanya.

 

Dengan perasaan yang di-obliterate, aku datang ke klinik. Aku merapal mantra dan petunjuk dari dia. Aku datang dengan harapan yang sudah hampir pasti tercapai. Aku senang karena ada beberapa hal yang ternyata memang ada untuk membuat kita merasakan keyakinan.

 

Saya nggak bisa tidur dok semalam, sebetulnya susah tidurnya sudah beberapa hari. Yang terakhir kemarin saya cuma berusaha lelap aja selama 4 jam. Setelah itu saya nyerah pada mata saya yang melek.” Aku cerita dengan tenaga yang pas-pasan. Biar bagaimanapun, Aku harus bisa membuat dokter ini mengetahui betul apa yang terjadi sama aku. 

 

Sudah coba minum alkohol? Ada teman yang bisa diminta nemenin tidur?” Aku agak tercengang mendengar kata-kata dokter ini barusan. Sepertinya dia udah sering keluar masuk zona ini.

 

Sudah dok, kemarin sleep call, dan minum alkohol juga. Aku tidak invested sama sekali dalam percakapan dengan dokter keren ini. Aku hanya tau diriku lemas dan butuh tidur saat itu juga.

 

Kalau gitu kita kasih suntikan dan obat ya. Tapi kalau masih lanjut, i suggest you go to psychiatrist. Ingat, jangan pernah merasa bakal terhakimi orang kalau datang ke psikiater ya, semua pejabat publik dateng ke situ.” Katanya semakin meyakinkanku bahwa dia keren dan Sudah menjadi master of this zone

 

Aku disuntik selama beberapa menit dan dibekali obat untuk dipakai berjaga-jaga. Tidak sampai 20 menit aku sudah ingin tidur. Dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Hari berikutnya bahkan aku bangun dengan situasi yang indah. Ada suara ayam berkokok dan sapu lidi yang bergesekan dengan aspal mungkin dari tetangga yang sedang bersihkan sampah daun di jalan. Aku hampir lompat saking senangnya bisa tidur. Pikirku, momen ini adalah apa yang sering disebut core moment” aku. Aku sholat subuh dan makasih sama Allah SWT. 

 

Beberapa hari berlalu, aku merasa menang. Aku seperti menemukan teori baru. Sebetulnya teori ini diimpor dari dia. Hanya saja beneran bekerja secara efektif buat aku hari itu. Sudah jumawa sekali dengan mengantongi itu. Sampai tibalah aku di titik ini.

 

Aku kangen banget sama kamuDasar goblok ngapain sih ngomong. Aku tetap tersenyum tenang. Lalu kamu bicara banyak hal lagi yang kira-kira maknanya sama seperti itu. Aku yang tadinya chill jadi agak hangat.

 

Kenapa kamu siram lagi sih?

 

Kata adikku yang baru aja ngelahirin anak kedua dengan metode caesar lagi setelah yang pertama juga caesar, sakit luka yang dibuka lagi itu lebih besar daripada sakit luka pertama. Anjinglah. Aku seperti ditampar sama omonganku sendiri. Seperti baru beberapa jam lalu aku merasa aku masih berkoar-koar boundaries is my life line. As long as I adhere to it, I am safe


Wait but there is no boundaries set yet when it comes to receiving warmth. Rubuh juga soalnya kan teoriku, kalau rasa hangat itu muncul. 

 

Bagaimana caranya agar tidak menghangat? Apa aku harus pergi beneran?

 

Spotify kita masih nyambung.

 

Aku nggak mau cari jawabannya sekarang.

Sabtu, 16 April 2022

Tidak Ada Depresi Hari Ini

Ada yang bilang, kalau kamu suka menangis tiba-tiba dan langsung deras, tandanya kamu depresi. Aku sering begitu. Setidaknya beberapa bulan terakhir. Baru saja Aku membaca buku, mendengarkan musik, sambil berusaha menjalani hidup yang apa adanya -letting go of my severe FOMO di hari Sabtu. You know how it is to be someone like me, yang suka menciptakan fabricated reality di media sosial. Pura-pura baik-baik saja. Menunjukkan yang baik-baik saja. Apa itu curhat? Cuma orang lemah yang posting curhatan di media sosial. Hasilnya? Aku susah membedakan mana kenyataan yang betulan kenyataan dan mana yang aku fabrikasi. Jadi aku sedih apa tidak sedih? Tapi intinya aku tidak depresi. Tapi aku punya tendensi menangis tiba-tiba. Ini saat yang tepat untuk menggabungkan dua kata positif agar menjadi negatif: yeah right.

But that damn tears fell from my eyes anyway. Bagaimana coba, caranya pergi dari masalah yang duduknya di depan pintu pikiranmu? Setiap proses berpikir akan melewati pintu itu, dan kamu masih heran kenapa kamu menangis saat ini?

“Mungkin temen kamu benar, Kamu butuh orang yang hadir secara fisik. Aku nggak mau kamu sedih dan aku nggak bisa ada di deket kamu”. Kamu bilang itu tadi pagi. Saat itu aku dengan gampangnya menepisnya.

“Ya gimana, aku sayangnya sama kamu. Kalau kamu bisa Ubah kenyataan ini, Baru deh kita ngobrol.” Gampang kan solusinya?

Solusi. Bicara solusi, nyatanya memang aku suka memelihara masalah, cuma karena sepertinya aku mahir mencari solusi. Mahir analisis. Nama jabatan aku (segera) juga analis. Setiap hal dianalisis, dicari latar belakangnya yang kuat, dideskripsikan masalahnya, dan diantarkan masalahnya ke lahirnya opsi-opsi kebijakan yang mungkin dilakukan dengan segala caveats. Intelligent disclaimer comes after the analysis.

Sedikit mahir, banyak candunya. Harus ya aku candu menemukan solusi terus kerjaannya? Tidak bisa, sekali-sekali memilih freeze? Harus ya aku fight terus?

Apa memang natural state kita itu tidak bisa diubah? Tendensi orang untuk jahat dan baik. Tendensi untuk selfish dan selfless. Atau yang bebas value seperti tendensi untuk lebih suka sendiri dibanding ramai-ramai. Jadi yang mana untuk aku, dalam hal menghadapi masalah?

Semua pembicaraan kita hari itu digoda muncul oleh malam kemarin. Aku sedang kalut-kalutnya. Dihadang tantangan dari segala penjuru. Semua ekspektasi berkumpul di atas kepalaku dan menuntut untuk dipenuhi. Aku baru tahu setelah mengobrol dengan papaku di hari berikutnya, bahwa yang aku alami adalah “cengeng intelektual”. Itu dia sematkan padaku karena katanya, aku punya mental pejuang. Mental pejuang ini rasanya perlu ditinjau lagi maknanya. Apakah frasa ini tidak sebaiknya value-free? Kok orang sepertinya menyematkan value positif dari seseorang yang Punya mental pejuang? Bukankah mental pejuang ini yang mengantarkanku pada tangisan yang muncul tiba-tiba ini?

Bicara tendensi dan natural state, aku jadi ingat kuis itu. Aku juga menyuruhmu untuk mengambil tes itu. Iseng saja ingin membandingkan tendensimu dan tendensiku. Waktu itu kita ambil tes empatik. Hanya 5 menit saja tesnya, untuk secara simpel menjelaskan bahwa seseorang itu empatik atau tidak. Aku melakukan tesnya duluan. Kita diminta menuliskan huruf E di Kepala kita. Voila, sudah tau kan hasilnya? Apa lagi, Kalau bukan seorang tolol yang tanpa berpikir panjang menuliskan E terbalik supaya orang di depannya bisa membacanya. Tunggu, aku tidak berpikir aku tolol awalnya. Tidak sebelum aku mendengar hasilmu.

“Ada dua step berpikirku. Aku tadinya mau menuliskan E terbalik agar orang di depanku bisa membacanya. Namun Aku putuskan menuliskan yang mudah saja buatku, E normal, karena di depanku tidak ada siapa-siapa”. Itu katamu. Lalu aku tertawa sejadi-jadinya. Harusnya disusul meringis tapi tidak, itu benar-benar lucu.

Jadi begitu ya, cara pikirku? Dalam kondisi dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, selalu mengutamakan orang lain?

Aku sendiri takut membuka diri mengenai tendensiku ini. Tendensi yang mungkin membawaku sampai di titik ini. Tendensi menulis E terbalik meski tidak ada orang di depanku.

Is that it -when it comes to someone we love, kita lemah? Kita nggak bisa berpikir dari sudut pandang kita. Nggak bisa atau nggak mampu? Sepertinya lebih ke nggak mampu, atau lupa bahwa kemampuan itu ada dan harus dilatih. Inget nggak waktu kita dari kecil bisa roll depan roll belakang?

Sekarang yang berlalu lalang dikepalaku adalah aku yang menjadi kamu yang berpikir dalam sudut pandangmu. Bahkan sekarang aku mulai berpikir, apa bijak Kalau aku bilang aku sedih saat kita lagi jauhan. Parah kan? Siapa yang harus berpikir dalam sudut pandangku dong?

Dan ketika pembicaraan tentang tendensi ini belum usai di kepalaku, kamu sudah membawa “perban” lagi.

“Hari Ini aku nggak ke kantor, aku mau mengganti kesedihan kamu kemarin”.

Siapa yang rugi Kalau kita berpisah? Yang jelas aku punya banyak stok “you had me at”, jauh lebih banyak dari stok “you lost me at”. Those thoughts are now should be at the right place. I mean, siapa aku bisa mengidentifikasi diri sendiri? I am not made for that.







Selasa, 11 Mei 2021

Rumah Anjing

 "Nanti aku telepon ya, aku kangen sekali sama kamu." Ujarnya seraya menutup telepon dan bergegas kembali menuju mobil dimana ketiga anak dan istrinya telah menunggu.

Dan begitu pula aku yang juga kembali ke rumah anjing. Kembali berkutat dengan pikiran-pikiran negatif yang tidak kunjung bisa dibunuh. Rasanya mungkin mirip dengan tinggal di rumah anjing. 

Entah keberapa kali aku sudah mengunjungi rumah anjing ini. Kunjungan pertama pada saat aku lulus S1 dari Universitas Indonesia. Si rumah anjing ini dengan lihainya menebar bau harum daging sosis berbahan dasar sapi. Dia membuatku mengendus seperti orang gila. Kupikir tidak ada bau seharum itu. Sebagai seseorang yang tidak bisa membedakan lapar dan keinginan, aku mengendus tanpa henti hingga sampailah aku di dalam rumah anjing. Begitulah kisahku hingga sekarang. Selalu berjodoh dengan rumah anjing.

Dua detik berlalu dari telepon yang ditutup itu. Aku sudah sakaw. Kalau bisa permukaan telepon ini kutempelkan di mataku sehingga aku tidak perlu meletakkan dan mengangkatnya setiap dua detik. Aku bingung kenapa kekuatan tubuhku seperti hilang separuh, diambil olehmu. Sedangkan kamunya bertambah kuat. Fuck this.

Kita sudah bersama menjalani hari-hari di rumah anjing ini kira-kira 1 tahun lebih. Aku pun heran pada diriku. Baru beberapa bulan keluar dari rumah anjing dan aku masih lapar sosis. Mungkin aku harus mulai menjadi vegetarian. Țapi jangan sampai rumah anjing menawarkan sosis vegetarian. Gawat!

Rasanya di dunia dimana kebersihan muka bisa ditukar dengan nilai, aku akan belepotan dengan debu jalanan. Nilai, dimana kamu nilai? Aku ingin memeluk nilai. Sudah lama hidupku tidak disinggahi nilai. Peristiwa berlalu seperti udara, tidak bersisa, hanya menyumbang kerak dalam jangka panjang. Aku ramalkan aku akan keropos karena udara-udara ini. Aku butuh nilai! Dengan nilai, aku akan bisa membedakan mana rumah anjing tanpa harus masuk dulu ke dalamaya. Nilai, tolong!

"Busuk lo! Ambil hati gue lalu seenaknya bisa injek-injek gue! Andai gue sebrengsek dulu, gue nggak akan sudi bersahabat sama layar handphone", gumamku. Hari semakin gelap, rumah anjing semakin busuk saja baunya. Anehnya, aku masih saja bertahan. Sambil baca buku harian orang lain di teras rumah anjing. Kata si buku harian, aku harus menerima suatu periode dalam hidup dimana aku stuck di rumah anjing. Aku diwajibkan untuk tidak melawan katanya. Dengan begitu, aku tidak akan mati katanya. 

Lima jam sudah berlalu. Harus aku yang mulai lebih dulu. "Apa kamu sudah sampai Jember?" Lagi-lagi, aku mempertahankan si rumah anjing dengan sok tahunya. Aku seperti menafsirkan stuckedness ini dengan berlebihan, bahkan merayakannya. Aku merasa diguna-guna. Bangsat!

"Halo, belum sampai, sedikit lagi". Ini dia sosis basınya. Aku telan dengan cheerful. Setidaknya hari ini aku makan. Setidaknya hari ini ada lagi satu alasan untuk tidak pergi dari rumah anjing.

Besok pasti akan ada lagi.


Rabu, 21 Juni 2017

Aku tau bahwa aku tau dan karena kamu tau aku perlu berpura-pura tidak tau




“The problem is not the other people. The problem is you.”

Kata-kata inilah yang membawaku kesini. Ke halaman ini lagi. Dimana aku akan mentrasir semuanya. Semundur mungkir ke belakang. Ketika ibarat kayu, aku baru gelondongan. Belum dipotong, dibentuk, dan disajikan untuk mata-mata yang mau. Aku memanggil-manggil intiku untuk bicara. Sesuatu yang mungkin ditanamkan kepadaku yang membuatku adalah aku, aku yang bukan produk dari suatu pemahaman umum. Bukan selera pasar. Aku sedang mencari itu.

***
 
“I love you, and only you that I want.”

“What would I do without you.”

“You are my fucking best.”

“We should not fight no more. We only have each other”

Aku berpikir. Dari semua sensibilitas yang aku miliki, aku sangat sensibel terhadap kata-kata. Kata-kata memiliki dimensi yang sangat luas ketika masuk ke dalamku. Mataku akan mengingat seperti apa momen dimana kata-kata itu keluar. Telingaku akan sedalam-dalamnya mereplika seperti apa kata-kata itu diperdengarkan. Bahkan bagaimana nafas yang mengiringi kata-kata itu jatuh di kulitku dan hingga baunya melekat di tubuhku. Bau kata-kata itu.

Ketika kamu mengatakannya, ada suatu efek yang tidak akan pernah pergi. Setidaknya tidak dalam beberapa tahun. Efek itu masif. Dekonstruktif. Dan berdiri sendiri. Persis seperti kabin di tengah pulau yang memproduksi energinya sendiri. Tidak menyuplai kabin lain. Tidak menerima supplai dari kabin lain. Hanya dirinya sendiri dengan kemegahan yang hanya dimiliki dan diakui olehnya.
Tidak ada suatu partikel pun yang mampu membawa efek ini ke dalam tubuh orang lain. Dan aku sedang mencari tau, mengapa dia memilihku.

“We are done.”

“I will leave tomorrow.”

“I was not happy.”

“I was so loyal to you.”

“It was you.”

Kemudian aku memutar lagi kata-kata lain. Yang aku tangkap datang bersamaan dengan kata-kata yang tadi. Aku mengarahkan otakku ke arah kata-kata ini dan menekan tombol “view history”.
Sedihnya, aku menemukan efek itu lagi. Efek yang masif tadi.
Ini seperti labirin, kemanapun aku mengarahkan kepalaku, aku selalu kembali kepada efek itu.
Aku seperti diajak berputar-putar di dalam pulau sepi. Hanya untuk menemukan bahwa semua petunjuk akan mengembalikanku pada kabin di tengah pulau ini. Kabin yang sedih dan bertujuan sempit. Kabin yang arogan.

Lalu kata-kata yang lain bermunculan.

“Give me back everything I gave you.”

“I do not need someone like you in my life.”

“You are a bitch.”

Kali ini kata-kata yang datang menghantam cukup kencang. Aku mulai menyadari bahwa aku berada dalam sebuah efek dan nyatanya aku tidak berada di dalam kabin. Bahwa aku masih di meja kerjaku. Sedang meramu sebuah konsep acara yang akan kantorku selenggarakan dalam waktu dekat. Sebuah konsep acara yang mungkin akan membantu menghapus lubang hitam itu. Lubang yang ada di tempat yang seringkali aku tidak dapat prediksi. Yang terus-terusan menjebakku kembali ke labirin itu.

Aku menyapu pandangan ke sekitar. 

Aku sangat lega. 

Ternyata aku tidak berada di pulau sempit itu. 

Aku di sini.

Di rumahku.

Ada banyak hal selain kata-kata di sini. Ada gelak tawa. Ada gerakan senyum. Ada angin. Ada sinar matahari. 

Tapi aku heran, aku benar-benar memiliki ingatan atas labirin itu. Sangat detil. Termasuk semua kata-kata yang terkoneksikan dengannya. Bagaimana aku mengingat satu kata dan kata-kata yang lain bermunculan dan memasukkanku ke dalam labirin itu lagi. 

Aku berpikir. Mungkin aku sedang mabuk. Tapi tidak. Langkahku lurus. Aku juga bisa tetap mengetik.

Aku kembali mengacuhkan lamunanku tentang labirin.

Efek mimpi.

Sepertinya aku harus beristirahat sebentar.