God bless this mess.



Selasa, 25 Oktober 2022

A Storm is Coming In



Pagi ini kata-kata mondar mandir di antara kita. Aku akui, aku lupa menutup pintu depan tadi malam sehingga mereka terlanjur berhamburan masuk dan mengacak-acak rumah kita pagi ini. Melihat mereka, aku lari bersembunyi di ruang spasi, sambil mengirimimu kode agar memasuki ruangan yang sama.

Tapi apa daya. Ruang spasi ini terlalu kecil dan rumah kita tergolong baru. Belum siap dengan protokol hujan kata-kata disertai badai kalimat. Semuanya bergengsi sehingga satpam kompleks pun gagal membatasi kehadirannya ke rumah kita. Mereka adalah kata-kata yang punya akses tanpa syarat ke rumah kita, begitu katanya.

Banyak sekali yang hadir hari itu, mulai dari kata-kata baik sampai kata-kata buruk. Tapi semuanya thought leaders di dunia kata-kata. Ada sepasang kata yang aku sangat familiar yaitu “my issue” dan ada juga “best version”. Keduanya tampak menawan pagi itu, dengan setelan yang tidak bisa dianggap main-main.

Elegan, siap menginjak kata-kata lain yang tidak penting termasuk kata-kata cacat yang lebih mirip suara tangisan yang pagi itu sepertinya kaosnya ketumpahan saos dengan pewarna merah murahan. Sayangnya, si kata-kata cacat itu adalah yang paling akrab denganku. Sepertinya aku tidak bisa mengandalkannya hari ini karena dia sama sekali tidak terlihat olehmu yang sibuk bercengkrama dengan kata-kata yang lebih bagus.

Aku tidak bisa menyalahkan satpam kompleks rumah kita, karena kata-kata yang hadir hari ini memiliki kredensial yang bagus. Sudah terangkai dengan baik dan diterima di berbagai standar di hidup bermasyarakat. Prinsip-prinsip pun terkoneksi dengan baik terhadap mereka. Status mereka tinggi sekali di antara kata-kata.

Aku putus harapan, aku berusaha mengirim pesan lagi karena kamu masih tidak melihatku. Aku sangat takut kamu akan dibawa lari oleh kata-kata. Aku tidak pernah memaafkan bahwa beberapa dari mereka membentuk kalimat-kalimat yang pernah mengambil teman-teman baikku. Beberapa dari mereka merupakan spesies campur, misalnya kata dan gambar, kata dan ekspresi, dan sebagainya. Tapi pada akhirnya kata-kata selalu menjadi eksekutor puncak pengambilan. Karena dengan wujud elegan merekalah, mereka bisa membawa sosok-sosok paling berharga di hidupku.

Masih dalam ruang spasi, dari kejauhan aku melihat sekelompok kata yang datang bersamaan menaiki mobil mewah yang merupakan mobil favoritmu. “Sebagai orang dewasa, kita tahu apa konsekuensi perbuatan kita, Adelia”. Sial, kata-kata dalam kalimat itu keren sekali dan menyambutmu tepat di sudut yang sangat dekat dengan pintu menuju keluar.

Mereka memelukmu hangat, mengajakmu mengobrol. Kamu tersenyum, bahagia sekali, diiringi beberapa tawa seakan kamu memang sudah menunggu kata-kata ini datang. Terlihat mereka seperti bercerita tentang membawamu ke suatu tempat yang indah. Aku hanya menebak dari gerak bibirnya dan bibirmu. Kamu terlihat sangat excited, tidak ada ragu sama sekali, sepertinya mereka bersekongkol dengan “Aku sudah tidak mau lagi berada di tingkat ini, aku sudah lelah dan meninggalkan ini sejak lama Adelia” yang datang menyusul dengan mobil favoritmu yang lain.

Kalau kalimat ini aku kenal, ini si kelompok baru yang beberapa bulan terakhir suka main ke rumah kita. Dalam setiap kesempatan mereka bertandang, mereka selalu berusaha membawamu pergi. Alasannya, mereka mau membawamu liburan, sangat amat terlihat modusnya untuk membawamu kabur karena selalu mengajak saat aku sedang ada pekerjaan lain sehingga tidak bisa menemanimu liburan.

Tidak mudah menyerah dan melihatmu masih di ambang pintu rumah, aku kembali memutar otak untuk mengirim tanda sebisaku. Tapi kali ini, waktu, dalam wujud gembok besi disematkan oleh salah satu perwakilan kata-kata di pintu spasiku “10 menit lagi sampai di bandara” tertulis di baju si waktu. Waktu memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat dari aku maupun kata-kata. Aku tidak bisa melawan.

Aku semakin benci dengan kata-kata yang pura-pura tidak melihatku ini. Aku tahu kenapa mereka melakukannya, karena akhir-akhir ini aku lebih sering menyendiri di ruang sentuhan dan tentunya ruang spasi ini. Aku jadi ingat ada ruang sentuhan, sayangnya ruang sentuhan sedang tidak bisa diakses karena pintunya lagi dalam perbaikan. Semua pikiran ini berkecamuk di tengah ketidakberdayaanku saat itu melihatmu makin bergeser ke luar hampir menaiki mobil si kalimat elegan.

Aku semakin panik di ruang spasi. Aku mencari ide lagi bagaimana agar kamu tidak dibawa pergi.

Tiba-tiba aku melihat “Aku” “Ingin” “Memperbaikinya” ternyata sedang ada di dalam rumah kita. Tapi mereka sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. Aku berinisiatif menggunakan mereka. Mereka baik padaku dan menjadi rekanku menghalangi kepergian orang-orang terdekatku. Ini karena mereka bertiga sudah seperti saudara denganku, sebab secara spesiespun mereka spesies favoritku. Mereka gabungan antara kata-kata dan aksi. Aku lega mereka ada di sini.

Dengan panik, aku memanggil keduanya. Aku meminta mereka menujumu dan membujukmu agar kamu tidak pergi kemana-mana. Aku tidak mengerti bagaimana, tapi mereka mendengar teriakanku, memberi tanda bahwa mereka mengerti instruksiku, dan bergegas menghampirimu ke arah pintu keluar.

Kamu menoleh segera setelah mereka bertiga menunjukkan dirinya padamu. Aku berdecak girang karena kamu sepertinya tidak jadi dibawa pergi oleh kalimat dan mobilnya yang elegan tadi.

Rupanya kamu tidak berhenti karena melihat kalimat yang kuutus. Kamu hanya ingin melihat dan mendengarkan berita di TV yang mendadak menyala kencang.

__

Di layar TV:

“Karena perubahan iklim berkepanjangan yang tidak diurus dengan baik oleh Pemerintah, badan usaha, dan masyarakat luas, kami memperingatkan seluruh warga kompleks bahwa badai yang berat akan datang. Badai akan membuat semua rumah rubuh dan kehidupan akan diulang dari awal. Sebaiknya anda mencari jalur evakuasi menuju bunker bawah tanah terdekat malam ini. Semua penghuni rumah diminta membawa barang-barang yang penting untuk dibawa ke bunker”.

__

Ini badai yang sering kita bicarakan sambil bercengkrama di ruang sentuhan.

Sabtu, 16 April 2022

Tidak Ada Depresi Hari Ini

Ada yang bilang, kalau kamu suka menangis tiba-tiba dan langsung deras, tandanya kamu depresi. Aku sering begitu. Setidaknya beberapa bulan terakhir. Baru saja Aku membaca buku, mendengarkan musik, sambil berusaha menjalani hidup yang apa adanya -letting go of my severe FOMO di hari Sabtu. You know how it is to be someone like me, yang suka menciptakan fabricated reality di media sosial. Pura-pura baik-baik saja. Menunjukkan yang baik-baik saja. Apa itu curhat? Cuma orang lemah yang posting curhatan di media sosial. Hasilnya? Aku susah membedakan mana kenyataan yang betulan kenyataan dan mana yang aku fabrikasi. Jadi aku sedih apa tidak sedih? Tapi intinya aku tidak depresi. Tapi aku punya tendensi menangis tiba-tiba. Ini saat yang tepat untuk menggabungkan dua kata positif agar menjadi negatif: yeah right.

But that damn tears fell from my eyes anyway. Bagaimana coba, caranya pergi dari masalah yang duduknya di depan pintu pikiranmu? Setiap proses berpikir akan melewati pintu itu, dan kamu masih heran kenapa kamu menangis saat ini?

“Mungkin temen kamu benar, Kamu butuh orang yang hadir secara fisik. Aku nggak mau kamu sedih dan aku nggak bisa ada di deket kamu”. Kamu bilang itu tadi pagi. Saat itu aku dengan gampangnya menepisnya.

“Ya gimana, aku sayangnya sama kamu. Kalau kamu bisa Ubah kenyataan ini, Baru deh kita ngobrol.” Gampang kan solusinya?

Solusi. Bicara solusi, nyatanya memang aku suka memelihara masalah, cuma karena sepertinya aku mahir mencari solusi. Mahir analisis. Nama jabatan aku (segera) juga analis. Setiap hal dianalisis, dicari latar belakangnya yang kuat, dideskripsikan masalahnya, dan diantarkan masalahnya ke lahirnya opsi-opsi kebijakan yang mungkin dilakukan dengan segala caveats. Intelligent disclaimer comes after the analysis.

Sedikit mahir, banyak candunya. Harus ya aku candu menemukan solusi terus kerjaannya? Tidak bisa, sekali-sekali memilih freeze? Harus ya aku fight terus?

Apa memang natural state kita itu tidak bisa diubah? Tendensi orang untuk jahat dan baik. Tendensi untuk selfish dan selfless. Atau yang bebas value seperti tendensi untuk lebih suka sendiri dibanding ramai-ramai. Jadi yang mana untuk aku, dalam hal menghadapi masalah?

Semua pembicaraan kita hari itu digoda muncul oleh malam kemarin. Aku sedang kalut-kalutnya. Dihadang tantangan dari segala penjuru. Semua ekspektasi berkumpul di atas kepalaku dan menuntut untuk dipenuhi. Aku baru tahu setelah mengobrol dengan papaku di hari berikutnya, bahwa yang aku alami adalah “cengeng intelektual”. Itu dia sematkan padaku karena katanya, aku punya mental pejuang. Mental pejuang ini rasanya perlu ditinjau lagi maknanya. Apakah frasa ini tidak sebaiknya value-free? Kok orang sepertinya menyematkan value positif dari seseorang yang Punya mental pejuang? Bukankah mental pejuang ini yang mengantarkanku pada tangisan yang muncul tiba-tiba ini?

Bicara tendensi dan natural state, aku jadi ingat kuis itu. Aku juga menyuruhmu untuk mengambil tes itu. Iseng saja ingin membandingkan tendensimu dan tendensiku. Waktu itu kita ambil tes empatik. Hanya 5 menit saja tesnya, untuk secara simpel menjelaskan bahwa seseorang itu empatik atau tidak. Aku melakukan tesnya duluan. Kita diminta menuliskan huruf E di Kepala kita. Voila, sudah tau kan hasilnya? Apa lagi, Kalau bukan seorang tolol yang tanpa berpikir panjang menuliskan E terbalik supaya orang di depannya bisa membacanya. Tunggu, aku tidak berpikir aku tolol awalnya. Tidak sebelum aku mendengar hasilmu.

“Ada dua step berpikirku. Aku tadinya mau menuliskan E terbalik agar orang di depanku bisa membacanya. Namun Aku putuskan menuliskan yang mudah saja buatku, E normal, karena di depanku tidak ada siapa-siapa”. Itu katamu. Lalu aku tertawa sejadi-jadinya. Harusnya disusul meringis tapi tidak, itu benar-benar lucu.

Jadi begitu ya, cara pikirku? Dalam kondisi dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, selalu mengutamakan orang lain?

Aku sendiri takut membuka diri mengenai tendensiku ini. Tendensi yang mungkin membawaku sampai di titik ini. Tendensi menulis E terbalik meski tidak ada orang di depanku.

Is that it -when it comes to someone we love, kita lemah? Kita nggak bisa berpikir dari sudut pandang kita. Nggak bisa atau nggak mampu? Sepertinya lebih ke nggak mampu, atau lupa bahwa kemampuan itu ada dan harus dilatih. Inget nggak waktu kita dari kecil bisa roll depan roll belakang?

Sekarang yang berlalu lalang dikepalaku adalah aku yang menjadi kamu yang berpikir dalam sudut pandangmu. Bahkan sekarang aku mulai berpikir, apa bijak Kalau aku bilang aku sedih saat kita lagi jauhan. Parah kan? Siapa yang harus berpikir dalam sudut pandangku dong?

Dan ketika pembicaraan tentang tendensi ini belum usai di kepalaku, kamu sudah membawa “perban” lagi.

“Hari Ini aku nggak ke kantor, aku mau mengganti kesedihan kamu kemarin”.

Siapa yang rugi Kalau kita berpisah? Yang jelas aku punya banyak stok “you had me at”, jauh lebih banyak dari stok “you lost me at”. Those thoughts are now should be at the right place. I mean, siapa aku bisa mengidentifikasi diri sendiri? I am not made for that.







Selasa, 11 Mei 2021

Rumah Anjing

 "Nanti aku telepon ya, aku kangen sekali sama kamu." Ujarnya seraya menutup telepon dan bergegas kembali menuju mobil dimana ketiga anak dan istrinya telah menunggu.

Dan begitu pula aku yang juga kembali ke rumah anjing. Kembali berkutat dengan pikiran-pikiran negatif yang tidak kunjung bisa dibunuh. Rasanya mungkin mirip dengan tinggal di rumah anjing. 

Entah keberapa kali aku sudah mengunjungi rumah anjing ini. Kunjungan pertama pada saat aku lulus S1 dari Universitas Indonesia. Si rumah anjing ini dengan lihainya menebar bau harum daging sosis berbahan dasar sapi. Dia membuatku mengendus seperti orang gila. Kupikir tidak ada bau seharum itu. Sebagai seseorang yang tidak bisa membedakan lapar dan keinginan, aku mengendus tanpa henti hingga sampailah aku di dalam rumah anjing. Begitulah kisahku hingga sekarang. Selalu berjodoh dengan rumah anjing.

Dua detik berlalu dari telepon yang ditutup itu. Aku sudah sakaw. Kalau bisa permukaan telepon ini kutempelkan di mataku sehingga aku tidak perlu meletakkan dan mengangkatnya setiap dua detik. Aku bingung kenapa kekuatan tubuhku seperti hilang separuh, diambil olehmu. Sedangkan kamunya bertambah kuat. Fuck this.

Kita sudah bersama menjalani hari-hari di rumah anjing ini kira-kira 1 tahun lebih. Aku pun heran pada diriku. Baru beberapa bulan keluar dari rumah anjing dan aku masih lapar sosis. Mungkin aku harus mulai menjadi vegetarian. Țapi jangan sampai rumah anjing menawarkan sosis vegetarian. Gawat!

Rasanya di dunia dimana kebersihan muka bisa ditukar dengan nilai, aku akan belepotan dengan debu jalanan. Nilai, dimana kamu nilai? Aku ingin memeluk nilai. Sudah lama hidupku tidak disinggahi nilai. Peristiwa berlalu seperti udara, tidak bersisa, hanya menyumbang kerak dalam jangka panjang. Aku ramalkan aku akan keropos karena udara-udara ini. Aku butuh nilai! Dengan nilai, aku akan bisa membedakan mana rumah anjing tanpa harus masuk dulu ke dalamaya. Nilai, tolong!

"Busuk lo! Ambil hati gue lalu seenaknya bisa injek-injek gue! Andai gue sebrengsek dulu, gue nggak akan sudi bersahabat sama layar handphone", gumamku. Hari semakin gelap, rumah anjing semakin busuk saja baunya. Anehnya, aku masih saja bertahan. Sambil baca buku harian orang lain di teras rumah anjing. Kata si buku harian, aku harus menerima suatu periode dalam hidup dimana aku stuck di rumah anjing. Aku diwajibkan untuk tidak melawan katanya. Dengan begitu, aku tidak akan mati katanya. 

Lima jam sudah berlalu. Harus aku yang mulai lebih dulu. "Apa kamu sudah sampai Jember?" Lagi-lagi, aku mempertahankan si rumah anjing dengan sok tahunya. Aku seperti menafsirkan stuckedness ini dengan berlebihan, bahkan merayakannya. Aku merasa diguna-guna. Bangsat!

"Halo, belum sampai, sedikit lagi". Ini dia sosis basınya. Aku telan dengan cheerful. Setidaknya hari ini aku makan. Setidaknya hari ini ada lagi satu alasan untuk tidak pergi dari rumah anjing.

Besok pasti akan ada lagi.


Rabu, 21 Juni 2017

Aku tau bahwa aku tau dan karena kamu tau aku perlu berpura-pura tidak tau




“The problem is not the other people. The problem is you.”

Kata-kata inilah yang membawaku kesini. Ke halaman ini lagi. Dimana aku akan mentrasir semuanya. Semundur mungkir ke belakang. Ketika ibarat kayu, aku baru gelondongan. Belum dipotong, dibentuk, dan disajikan untuk mata-mata yang mau. Aku memanggil-manggil intiku untuk bicara. Sesuatu yang mungkin ditanamkan kepadaku yang membuatku adalah aku, aku yang bukan produk dari suatu pemahaman umum. Bukan selera pasar. Aku sedang mencari itu.

***
 
“I love you, and only you that I want.”

“What would I do without you.”

“You are my fucking best.”

“We should not fight no more. We only have each other”

Aku berpikir. Dari semua sensibilitas yang aku miliki, aku sangat sensibel terhadap kata-kata. Kata-kata memiliki dimensi yang sangat luas ketika masuk ke dalamku. Mataku akan mengingat seperti apa momen dimana kata-kata itu keluar. Telingaku akan sedalam-dalamnya mereplika seperti apa kata-kata itu diperdengarkan. Bahkan bagaimana nafas yang mengiringi kata-kata itu jatuh di kulitku dan hingga baunya melekat di tubuhku. Bau kata-kata itu.

Ketika kamu mengatakannya, ada suatu efek yang tidak akan pernah pergi. Setidaknya tidak dalam beberapa tahun. Efek itu masif. Dekonstruktif. Dan berdiri sendiri. Persis seperti kabin di tengah pulau yang memproduksi energinya sendiri. Tidak menyuplai kabin lain. Tidak menerima supplai dari kabin lain. Hanya dirinya sendiri dengan kemegahan yang hanya dimiliki dan diakui olehnya.
Tidak ada suatu partikel pun yang mampu membawa efek ini ke dalam tubuh orang lain. Dan aku sedang mencari tau, mengapa dia memilihku.

“We are done.”

“I will leave tomorrow.”

“I was not happy.”

“I was so loyal to you.”

“It was you.”

Kemudian aku memutar lagi kata-kata lain. Yang aku tangkap datang bersamaan dengan kata-kata yang tadi. Aku mengarahkan otakku ke arah kata-kata ini dan menekan tombol “view history”.
Sedihnya, aku menemukan efek itu lagi. Efek yang masif tadi.
Ini seperti labirin, kemanapun aku mengarahkan kepalaku, aku selalu kembali kepada efek itu.
Aku seperti diajak berputar-putar di dalam pulau sepi. Hanya untuk menemukan bahwa semua petunjuk akan mengembalikanku pada kabin di tengah pulau ini. Kabin yang sedih dan bertujuan sempit. Kabin yang arogan.

Lalu kata-kata yang lain bermunculan.

“Give me back everything I gave you.”

“I do not need someone like you in my life.”

“You are a bitch.”

Kali ini kata-kata yang datang menghantam cukup kencang. Aku mulai menyadari bahwa aku berada dalam sebuah efek dan nyatanya aku tidak berada di dalam kabin. Bahwa aku masih di meja kerjaku. Sedang meramu sebuah konsep acara yang akan kantorku selenggarakan dalam waktu dekat. Sebuah konsep acara yang mungkin akan membantu menghapus lubang hitam itu. Lubang yang ada di tempat yang seringkali aku tidak dapat prediksi. Yang terus-terusan menjebakku kembali ke labirin itu.

Aku menyapu pandangan ke sekitar. 

Aku sangat lega. 

Ternyata aku tidak berada di pulau sempit itu. 

Aku di sini.

Di rumahku.

Ada banyak hal selain kata-kata di sini. Ada gelak tawa. Ada gerakan senyum. Ada angin. Ada sinar matahari. 

Tapi aku heran, aku benar-benar memiliki ingatan atas labirin itu. Sangat detil. Termasuk semua kata-kata yang terkoneksikan dengannya. Bagaimana aku mengingat satu kata dan kata-kata yang lain bermunculan dan memasukkanku ke dalam labirin itu lagi. 

Aku berpikir. Mungkin aku sedang mabuk. Tapi tidak. Langkahku lurus. Aku juga bisa tetap mengetik.

Aku kembali mengacuhkan lamunanku tentang labirin.

Efek mimpi.

Sepertinya aku harus beristirahat sebentar.