God bless this mess.



Selasa, 11 Mei 2021

Rumah Anjing

 "Nanti aku telepon ya, aku kangen sekali sama kamu." Ujarnya seraya menutup telepon dan bergegas kembali menuju mobil dimana ketiga anak dan istrinya telah menunggu.

Dan begitu pula aku yang juga kembali ke rumah anjing. Kembali berkutat dengan pikiran-pikiran negatif yang tidak kunjung bisa dibunuh. Rasanya mungkin mirip dengan tinggal di rumah anjing. 

Entah keberapa kali aku sudah mengunjungi rumah anjing ini. Kunjungan pertama pada saat aku lulus S1 dari Universitas Indonesia. Si rumah anjing ini dengan lihainya menebar bau harum daging sosis berbahan dasar sapi. Dia membuatku mengendus seperti orang gila. Kupikir tidak ada bau seharum itu. Sebagai seseorang yang tidak bisa membedakan lapar dan keinginan, aku mengendus tanpa henti hingga sampailah aku di dalam rumah anjing. Begitulah kisahku hingga sekarang. Selalu berjodoh dengan rumah anjing.

Dua detik berlalu dari telepon yang ditutup itu. Aku sudah sakaw. Kalau bisa permukaan telepon ini kutempelkan di mataku sehingga aku tidak perlu meletakkan dan mengangkatnya setiap dua detik. Aku bingung kenapa kekuatan tubuhku seperti hilang separuh, diambil olehmu. Sedangkan kamunya bertambah kuat. Fuck this.

Kita sudah bersama menjalani hari-hari di rumah anjing ini kira-kira 1 tahun lebih. Aku pun heran pada diriku. Baru beberapa bulan keluar dari rumah anjing dan aku masih lapar sosis. Mungkin aku harus mulai menjadi vegetarian. Țapi jangan sampai rumah anjing menawarkan sosis vegetarian. Gawat!

Rasanya di dunia dimana kebersihan muka bisa ditukar dengan nilai, aku akan belepotan dengan debu jalanan. Nilai, dimana kamu nilai? Aku ingin memeluk nilai. Sudah lama hidupku tidak disinggahi nilai. Peristiwa berlalu seperti udara, tidak bersisa, hanya menyumbang kerak dalam jangka panjang. Aku ramalkan aku akan keropos karena udara-udara ini. Aku butuh nilai! Dengan nilai, aku akan bisa membedakan mana rumah anjing tanpa harus masuk dulu ke dalamaya. Nilai, tolong!

"Busuk lo! Ambil hati gue lalu seenaknya bisa injek-injek gue! Andai gue sebrengsek dulu, gue nggak akan sudi bersahabat sama layar handphone", gumamku. Hari semakin gelap, rumah anjing semakin busuk saja baunya. Anehnya, aku masih saja bertahan. Sambil baca buku harian orang lain di teras rumah anjing. Kata si buku harian, aku harus menerima suatu periode dalam hidup dimana aku stuck di rumah anjing. Aku diwajibkan untuk tidak melawan katanya. Dengan begitu, aku tidak akan mati katanya. 

Lima jam sudah berlalu. Harus aku yang mulai lebih dulu. "Apa kamu sudah sampai Jember?" Lagi-lagi, aku mempertahankan si rumah anjing dengan sok tahunya. Aku seperti menafsirkan stuckedness ini dengan berlebihan, bahkan merayakannya. Aku merasa diguna-guna. Bangsat!

"Halo, belum sampai, sedikit lagi". Ini dia sosis basınya. Aku telan dengan cheerful. Setidaknya hari ini aku makan. Setidaknya hari ini ada lagi satu alasan untuk tidak pergi dari rumah anjing.

Besok pasti akan ada lagi.