God bless this mess.



Rabu, 28 Juli 2010

sebuah monolog tentang kehidupan.


Halo kehidupan, kamu sombong sekali. Tolong tengok saya. Saya kesepian. Sudah saya telusuri pulau asing ini. Saya hanya punya lembah untuk meringkuk dan hewan-hewan kecil untuk dimakan. Saya tidak punya musik.

Bedebah kamu, kehidupan! Berani-beraninya menciptakan tanda-tanda kehidupan bohongan!

Kehidupan, kok kamu curang? Saya sudah mengeluarkan banyak sekali uang demi mengencanimu barang semalam saja. Tapi kenapa hargamu begitu mahal?

Tolong buka email kamu, kehidupan. Saya sudah mengirim banyak sekali pesan, sampai saya bosan dan merasa putus asa karena bisa saja saya mengirim ke email yang salah.

Terakhir kali kita bertemu, aku merasa sangat senang. Tapi setelah itu kamu tidak pernah muncul lagi. Apakah dari kata-kataku ada yang menyinggungmu, kehidupan?

Aku tadi ke rumahmu membawa makanan dan voucher wisata keliling dunia. Kamu tidak ada. Kamu kemana?

Paging kehidupan. Hei, aku sudah di pantai. Kita jadi bertemu kan?

Hei, kehidupan, kamu ini bodoh atau apa. Aku sedang sedih. Kekasihku meninggalkanku. Bosku memecatku. Kamu malah datang begitu saja sambil senyum-senyum di hadapanku. Pergi sana!

Halo, bisa bicara dengan Kehidupan?

Eh ada kehidupan, dengar-dengar kamu tidak punya uang lagi ya, untuk menyewa barang sepetak tanah pun di bumi?

Hei kehidupan, 528491 itu nomor kamu bukan? Kok ada yang jawab "The number you're calling is unreachable." Maksudnya apa nih?

Petak umpetnya sudah selesai. Kamu dimana kehidupan? Tidak, lucu ah. Ayo, tunjukkan dirimu, atau aku pergi!

Eh aku sudah follow Twitter kamu lho, Kehidupan. Aku suka bio-nya. "Bukan untuk yang merasa memiliki, tapi untuk yang memiliki."

Hahaha. Payah kamu, kehidupan. Kamu kalah populer sama 'keong racun'. Mampus kamu.

Kehidupan, maafkan aku, kemarin aku impulsif sekali. Aku memutuskan hubungan yang sudah lama kita jalani, begitu saja. Maafkan aku. Tapi, bisakah kita kembali bersama?



Selasa. 28 Juli 2010. Dengan penuh kesadaran.

Rabu, 21 Juli 2010

Inception. Sebuah permulaan.


Christopher Nolan. Nama yang sungguh tidak asing untuk para penikmat film-film twisty. Memento, The Prestige, Following, The Dark Knight, dan film-film lainnya yang mungkin saya akan menyesal karena belum menontonnya.

Beberapa orang ingin bunuh diri setelah menonton film ini. Beberapa yang lain ingin menguras laut. Beberapa lagi ingin bergabung dengan suku primitif Koroway di Kabupaten Mappi, Papua, hidup di pohon. Sisanya memilih menemukan jawabannya dalam mimpi, dengan risiko terdampar dan tidak akan bisa kembali.

Sebuah ide yang luar biasa unik. Menggunakan sisi lengah dari manusia: alam bawah sadar. Sesuatu yang potensial namun jarang kita gunakan yang bahkan cenderung dianggap tidak signifikan. Umumnya manusia hanya memanfaatkan pikiran sadarnya yang memiliki kekuatan hanya 12 persen dari keseluruhan kekuatan pikiran. Pikiran sadar inilah yang biasa dimaksud ketika menyebut sedang menggunakan otaknya. Sedang yang 88 persen lainnya merupakan kekuatan bawah sadar.

Bagi manusia, khususnya orang dewasa (ayolah, jangan mengelak lagi), realitas adalah segalanya. Padahal, kenyataannya, apa yang selama ini mereka sebut dengan 'realitas' sama sekali tidak memberikan rasa aman. Kemudian manusia mencoba mimpi, mengeksplorasi lorong-lorong lembab dan gelap dalam diri mereka, mencoba mencari 'hunian' baru.

Dengan menyengajakan kondisi film tanpa alur yang jelas, dan permainan layer subconscious yang luar biasa lousy, film ini sukses membuat penonton memiliki interpretasi bercabang. Secara tidak sengaja, saya teringat akan sebuah paham yang pernah ditulis oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche mengenai Nihilisme. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan, tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. Karena pada akhirnya, kita tidak akan menemukan apa-apa di dunia nyata. Bahkan manusia terlalu takut untuk mati dan menemukan kenyataan lain, apakah kita terdampar di labirin yang lain setelahnya.

Oh ayolah, ini tidak aneh. Tadi saya bilang apa? Imajinasi?

Fenomena ironis mengenai alam bawah sadar ini yang lalu membentuk momentum yang pas untuk Nolan menciptakan tokoh utama "Seseorang yang memiliki keahlian unik: menyelami sisi terdalam dari alam bawah sadar orang lain. Ya. Dialah Sang Ekstraktor." yang lalu diperankan oleh Leonardo Dicaprio, sebagai Cobb.

Kunci menikmati film ini adalah: imajinasi. Nolan dalam film ini berusaha menggambarkan bagaimana kuatnya sebuah pikiran. Satu pikiran saja berubah, bisa jadi duniamu berubah karenanya. Berlebihan? Sama sekali tidak.

Dan Cobb mendapatkan sebuah tugas besar: Menanamkan sebuah ide dalam pikiran orang lain.

Lalu tur imajinasi ini pun dimulai.

Setiap orang adalah sutradara untuk mimpinya sendiri, demikian halnya dengan Cobb. Mimpi untuknya lebih dari sekedar residu memori yang terekam dan diramu ulang. Kameo, arsitektur, dan sistem pertahanan, semuanya berasal dari imajinasinya.

Cobb dalam film ini dipekerjakan oleh Saito (Watanabe). Saito meminta Cobb untuk menanamkan sebuah ide kepada Fischer (Murphy), agar Fischer memutuskan untuk menutup kerajaan bisnis ayahnya setelah ayahnya meninggal. Cobb memiliki sebuah tim, yang terdiri atas Arthur (Gordon Levitt) - “Point Man” yang bertugas mengamati perilaku atau kebiasaan dari target mereka, Ariadne (Ellen Page) - seorang arsitek, Eames (Tom Hardy) - seorang pemalsu, dan Yusuf (Dileep Rao) - seorang farmakolog radikal.

Hal yang menarik dari skenario mereka adalah ketika mereka memutuskan untuk menanamkan ide-nya pada level ketiga - alam bawah sadar Fischer. (dream within a dream within a dream) Diam-diam saya mengagumi bagian ini, lepas dari segala aspek dalam film ini yang twisty. Mungkin ini adalah satu-satunya saat dimana Nolan berbagi perasaan harunya (Mm, mungkin Nolan jarang menangis). Sebuah cinta yang terlupakan, atau mungkin ada, tapi keduanya enggan mengakui. Sederhana dan benar-benar menenangkan. Jenius kamu, Nolan.

Mal (Marion Cotillard) adalah istri Cobb yang sudah meninggal. Saya sangat suka scene-scene ketika Mal dan Cobb dipertemukan, seperti menjelaskan bahwa alam bawah sadar sangat terkait dengan perasaan. Di scene-scene ini juga Nolan berbagi bayangan mengenai alam bawah sadarnya yang terdiri atas memori-memori. Memori yang tidak akan pernah lagi hadir di dunia nyata, dimana jalan satu-satunya untuk mengabadikannya adalah mengurungnya jauh di lantai dasar penjara alam bawah sadar kita.

Setiap bagian dari film ini memang memukau. Mulai dari ide-ide unik Ariadne dalam mendesain mimpi seperti dimasukkannya unsur paradoks, dunia paralel, gravitasi, dan sebagainya, sampai dengan konsep tentang limbo (everybody's nowhere land).

Meyakinkan orang agar mereka terus bermimpi dalam mimpi adalah suatu hal yang cukup gila, bukan?

Tapi, tolong sebutkan dulu, apa definisi gila.

Seperti pada bagian akhir film.

Ada yang setuju bahwa ini adalah kenyataan, karena pada scene sebelumnya, baik Cobb maupun Saito telah berhasil 'bangun' dari limbo, di mana dengan membunuh diri mereka sendiri, mereka otomatis akan kembali kepada dunia nyata.

Ada yang setuju bahwa ini adalah kenyataan, hanya karena menginginkan film ini berakhir bahagia.

Saya? Saya sungguh tidak peduli itu kenyataan atau mimpi. Saya yakin Nolan memang memberi ruang kepada kita untuk mengimajinasikan semua itu. Mengira-ngira sendiri apakah Cobb memang gila dan terjebak dalam lingkungan bawah sadarnya, atau itu adalah refleksi dari kehidupan manusia: kecewa dengan kenyataan dan berharap ada teori yang membenarkan bahwa kita memiliki dunia lain selain kenyataan yang terlalu sempit ini.

Namun demikian, beberapa hal mengerucutkan interpretasi saya kepada sebuah happy ending. Ya. Cobb sudah berada di dunia nyata. Gasing itu akan berhenti berputar. James dan Philippa adalah nyata. Nolan sengaja mengkondisikan bagian akhir film menjadi sangat mirip dengan memori Cobb yang sudah-sudah. Padahal, apabila diperhatikan (sepertinya Nolan sengaja membuat kita ingin menonton dua kali, ah, dasar!), keduanya mengenakan pakaian dengan corak memang nyaris sama, namuan pada kenyataannya sudah berbeda, bahkan tinggi mereka pun sudah berbeda (bukankah Nolan kejam?). Dan satu lagi, Cobb tidak memakai cincin pernikahannya dengan Mal, selalu, ketika ia berada di dunia nyata, dan selalu memakainya ketika ia berada di dunia mimpi. Dan di scene akhir itu, Cobb tidak memakainya.

Mal sempat mengatakan bahwa semua yang Cobb anggap sebagai kenyataan selama ini, tidak lain adalah mimpi. Mana mungkin hal-hal seperti bermata pencaharian sebagai pencuri ide dengan keahlian mengkondisikan alam bawah sadar sebagai senjata, dan menjadi buronan internasional karena menanamkan sebuah ide dalam pikiran orang lain benar-benar ada di dunia nyata?

Atau pada akhirnya manusia memang membutuhkan hal-hal seperti self-Inception, menyelam lebih dalam kepada dunia mereka sendiri, menciptakan tokoh-tokoh baru, sebuah skenario baru, hanya untuk menghadirkan beberapa dunia, beberapa realitas, di mana pada akhirnya kita harus memilih salah satu di antara mereka, and live that way.

One of Nolan's best!

Akhirnya, komentar itulah yang terasa paling lugas dan pas.

Inception berarti sebuah permulaan. Permulaan bagi kita semua untuk mulai mencari tahu, memikirkan hal-hal yang tidak berani kita pikirkan sebelumnya. Permulaan bagi kita untuk keluar dari bulu-bulu halus dan nyaman -kalau meminjam istilah Jostein Gaarder dalam karyanya, Dunia Sophie-. Permulaan bagi kita untuk tidak lagi menganggap remeh sesuatu bernama Imajinasi.


23 Juli 2010. Thank God it's friday.