God bless this mess.



Rabu, 10 November 2010

tujuh puluh persen

"Pilihan bisa jadi salah. Tetapi keputusan untuk memilih, tidak pernah salah."

Begitu kira-kira kutipan dialog dari sebuah film berjudul "CINtA", berdurasi sekitar 15 menit, karya sutradara Steven F. Winata.

Lalu kusambung sendiri dengan kata-kataku.

"Tapi, pilihan tidak pernah sekedar pilihan."

..

Aku membaca sederet kata-kata yang berbaris rapi di depanku. Berharap menemukan makna atasnya. Tetapi kemampuan baca tulisku seperti dibawa lari tanpa bisa ditelusuri lagi. Terakhir, mereka dibawa lari oleh sekobaran api yang menamai diri mereka.. emosi.

Masih terkesiap. Aku melihat ke luar jendela, sekedar untuk mengecap udara. Pahit dan mencekat. Aku memandang jauh ke kedalaman langit dan berusaha menemukan dimana waktu-waktuku yang hilang. Tetap saja, hitam ini menggelapkan. Aku tidak dapat melihat apapun di sana selain cecaran. Cecaran atasku yang tidak berdaya dan memohon belas kasihan waktu.

Padahal, semua sudah tahu. Waktu tidak punya dan tidak mengenal rasa.

Aku tersentak. Sekelebatan, aku melihat memori itu di udara. Seperti sepeda motor tanpa kopling, memori-memori ini berlesatan begitu saja, muncul, melaju kencang, lalu berhenti. Aku bahkan tidak mampu memandang sekeliling ataupun menikmati perjalanan. Sekarang, aku bahkan tidak tahu dimana mereka menghentikanku.

Aku melihat kita. Ada pantai, pohon kelapa, dan selembar karpet bermotif papan catur di sana. Oh ya, dan sebuah rumah kayu yang tampak rapuh karena tidak mendapatkan perawatan yang layak dari tuan rumahnya.

Tidak ada siapa pun di sana. Gerakan angin yang mengayunkan ombak adalah satu-satunya musik yang dapat didengarkan.

Dimana aku?

Aku jelas tidak di tempatku. Tidak di ladang memoriku.

Tetapi ada kamu di sana. Dan kamu, kamu adalah memori.

Kamu melambaikan tanganmu padaku. Dan tersenyum. Demi Tuhan, aku merasa terperangkap. Terperangkap rindu yang intoleran, masuk tanpa permisi dan sekonyong-konyong duduk di kursi utama.

Aku membalas lambaian tanganmu. Dan tersenyum.

Kamu memintaku duduk di sampingmu. Aku mengangguk. Toh, hanya duduk. Duduk di samping memori tidak akan mengubah apapun, kan?

Seperti sudah berskenario, aku memulai pembicaraan. Aku memulainya dengan hamster. Tentang mengapa orang-orang lebih memilih hamster daripada iguana. Tentang betapa tidak beruntungnya kita terlahir di daerah tropis dan tidak mengenal musim semi. Tentang mengapa gadis-gadis di pedalaman Brazil menjadi figur tokoh utama yang dipilih oleh Paulo Coelho dalam novelnya, Eleven Minutes. Tentang kenapa agama dikatakan sebagai candu oleh sebagian orang, yang menurutku sama seperti melupakan eksistensi Tuhan. Mereka berlarian ke pangkuannya ketika dilecehkan oleh kehidupan. Basi sekali.

Aku terus berbicara dengan perasaan yang sangat riang, tanpa mengerti dari mana datangnya perasaan ini.

Sampai di sebuah perpaduan waktu dan tempat, aku terdiam.

Kemudian bertanya, "Kita ada dimana?"

Kamu tidak menjawab. Bahkan, kamu tampak tidak mendengarku. Kamu terus tersenyum. Seperti hanya itulah gerakan yang dapat dibuat oleh bibirmu.

Aku terjatuh. Tepat di kursi tempatku bekerja. Langit di luar masih sama. Yang berbeda hanya jendela di depanku yang mulai digenangi air. Persis. Persis dua belas - dua belas dengan apa yang terjadi pada pikiranku.

Tergenang.

Aku kembali memandang kata-kata itu. Jangankan memilih, aku bahkan tidak mengerti apa yang ingin disampaikan oleh huruf-huruf yang mulai berlarian dari posisinya itu.

Aku tersadar satu hal. Pikiranku dikuasai oleh memori. Memori yang datang dari gelap yang membutakan dan racikan murni dari abu-abu. Aku menemukan putih dan hitamku.

Pantai itu, pohon kelapa itu, dan karpet bercorak papan catur itu. Semuanya memori yang ternyata memiliki kapasitas untuk memilah abu-abu menjadi putih dan hitam.

Lalu mana yang akan kupilih?

Sayangnya, hatiku masih abu-abu.

Yah, karena hati tidak mengenal memori. Ibarat laporan keuangan, hati adalah neraca. Akumulasi penambahan dan pengurangan atas masa lalu.

Aku ingin sekali melingkari salah satu.

Tapi sulit. Lebih sulit dari menentukan jumlah permintaan atas suatu barang inelastis di saat krisis. Ketidakpastian dalam ketidakpastian. Ini terdengar bodoh.

"Sementara akan kukarang cerita tentang mimpi jadi nyata."

Aku tahu, saatnya akan ada. Di mana aku akan datang ke kantor memori dan memintamu dipekerjakan kembali di hidupku. Aku akan menggamit tanganmu dan kita akan bersama-sama menertawakan waktu.

Atau.

Kamu akan kubiarkan terbang bebas. Memilih hidup mana yang akan mempekerjakanmu. Meski aku akan kehilangan satu-satunya pekerjaku.

..

Semuanya tidak akan pernah sama. Setelah kamu melingkari salah satunya.

Hei. Bukankah kita hanya perlu keluar dan melihat bintang?


10 November 2010. 70 persen.