God bless this mess.



Sabtu, 16 April 2022

Tidak Ada Depresi Hari Ini

Ada yang bilang, kalau kamu suka menangis tiba-tiba dan langsung deras, tandanya kamu depresi. Aku sering begitu. Setidaknya beberapa bulan terakhir. Baru saja Aku membaca buku, mendengarkan musik, sambil berusaha menjalani hidup yang apa adanya -letting go of my severe FOMO di hari Sabtu. You know how it is to be someone like me, yang suka menciptakan fabricated reality di media sosial. Pura-pura baik-baik saja. Menunjukkan yang baik-baik saja. Apa itu curhat? Cuma orang lemah yang posting curhatan di media sosial. Hasilnya? Aku susah membedakan mana kenyataan yang betulan kenyataan dan mana yang aku fabrikasi. Jadi aku sedih apa tidak sedih? Tapi intinya aku tidak depresi. Tapi aku punya tendensi menangis tiba-tiba. Ini saat yang tepat untuk menggabungkan dua kata positif agar menjadi negatif: yeah right.

But that damn tears fell from my eyes anyway. Bagaimana coba, caranya pergi dari masalah yang duduknya di depan pintu pikiranmu? Setiap proses berpikir akan melewati pintu itu, dan kamu masih heran kenapa kamu menangis saat ini?

“Mungkin temen kamu benar, Kamu butuh orang yang hadir secara fisik. Aku nggak mau kamu sedih dan aku nggak bisa ada di deket kamu”. Kamu bilang itu tadi pagi. Saat itu aku dengan gampangnya menepisnya.

“Ya gimana, aku sayangnya sama kamu. Kalau kamu bisa Ubah kenyataan ini, Baru deh kita ngobrol.” Gampang kan solusinya?

Solusi. Bicara solusi, nyatanya memang aku suka memelihara masalah, cuma karena sepertinya aku mahir mencari solusi. Mahir analisis. Nama jabatan aku (segera) juga analis. Setiap hal dianalisis, dicari latar belakangnya yang kuat, dideskripsikan masalahnya, dan diantarkan masalahnya ke lahirnya opsi-opsi kebijakan yang mungkin dilakukan dengan segala caveats. Intelligent disclaimer comes after the analysis.

Sedikit mahir, banyak candunya. Harus ya aku candu menemukan solusi terus kerjaannya? Tidak bisa, sekali-sekali memilih freeze? Harus ya aku fight terus?

Apa memang natural state kita itu tidak bisa diubah? Tendensi orang untuk jahat dan baik. Tendensi untuk selfish dan selfless. Atau yang bebas value seperti tendensi untuk lebih suka sendiri dibanding ramai-ramai. Jadi yang mana untuk aku, dalam hal menghadapi masalah?

Semua pembicaraan kita hari itu digoda muncul oleh malam kemarin. Aku sedang kalut-kalutnya. Dihadang tantangan dari segala penjuru. Semua ekspektasi berkumpul di atas kepalaku dan menuntut untuk dipenuhi. Aku baru tahu setelah mengobrol dengan papaku di hari berikutnya, bahwa yang aku alami adalah “cengeng intelektual”. Itu dia sematkan padaku karena katanya, aku punya mental pejuang. Mental pejuang ini rasanya perlu ditinjau lagi maknanya. Apakah frasa ini tidak sebaiknya value-free? Kok orang sepertinya menyematkan value positif dari seseorang yang Punya mental pejuang? Bukankah mental pejuang ini yang mengantarkanku pada tangisan yang muncul tiba-tiba ini?

Bicara tendensi dan natural state, aku jadi ingat kuis itu. Aku juga menyuruhmu untuk mengambil tes itu. Iseng saja ingin membandingkan tendensimu dan tendensiku. Waktu itu kita ambil tes empatik. Hanya 5 menit saja tesnya, untuk secara simpel menjelaskan bahwa seseorang itu empatik atau tidak. Aku melakukan tesnya duluan. Kita diminta menuliskan huruf E di Kepala kita. Voila, sudah tau kan hasilnya? Apa lagi, Kalau bukan seorang tolol yang tanpa berpikir panjang menuliskan E terbalik supaya orang di depannya bisa membacanya. Tunggu, aku tidak berpikir aku tolol awalnya. Tidak sebelum aku mendengar hasilmu.

“Ada dua step berpikirku. Aku tadinya mau menuliskan E terbalik agar orang di depanku bisa membacanya. Namun Aku putuskan menuliskan yang mudah saja buatku, E normal, karena di depanku tidak ada siapa-siapa”. Itu katamu. Lalu aku tertawa sejadi-jadinya. Harusnya disusul meringis tapi tidak, itu benar-benar lucu.

Jadi begitu ya, cara pikirku? Dalam kondisi dibutuhkan atau tidak dibutuhkan, selalu mengutamakan orang lain?

Aku sendiri takut membuka diri mengenai tendensiku ini. Tendensi yang mungkin membawaku sampai di titik ini. Tendensi menulis E terbalik meski tidak ada orang di depanku.

Is that it -when it comes to someone we love, kita lemah? Kita nggak bisa berpikir dari sudut pandang kita. Nggak bisa atau nggak mampu? Sepertinya lebih ke nggak mampu, atau lupa bahwa kemampuan itu ada dan harus dilatih. Inget nggak waktu kita dari kecil bisa roll depan roll belakang?

Sekarang yang berlalu lalang dikepalaku adalah aku yang menjadi kamu yang berpikir dalam sudut pandangmu. Bahkan sekarang aku mulai berpikir, apa bijak Kalau aku bilang aku sedih saat kita lagi jauhan. Parah kan? Siapa yang harus berpikir dalam sudut pandangku dong?

Dan ketika pembicaraan tentang tendensi ini belum usai di kepalaku, kamu sudah membawa “perban” lagi.

“Hari Ini aku nggak ke kantor, aku mau mengganti kesedihan kamu kemarin”.

Siapa yang rugi Kalau kita berpisah? Yang jelas aku punya banyak stok “you had me at”, jauh lebih banyak dari stok “you lost me at”. Those thoughts are now should be at the right place. I mean, siapa aku bisa mengidentifikasi diri sendiri? I am not made for that.