God bless this mess.



Jumat, 18 Juli 2014

rambut gondrong dan satu dua biji cerpen

Saya adalah saya yang saya pikir adalah saya. sedangkan saya selalu bingung, kenapa saya hanya bisa tahu saya yang saya pikir adalah saya. Padahal saya juga ingin tahu, siapa seharusnya saya, atau siapa sebenarnya saya.

Saya wanita, usia saya *beep* tahun, dan sekarang sudah menjelang *beep* tahun. Di Inggris, menginjak usia di atas *beep* tahun seperti ini semuanya tampak serba berbeda, yah, setidaknya berbeda di mata penyedia jasa transportasi kereta api ketika saya melewati spot-spot inspeksi dan juga di mata ibu atau bapak penjaga mesin kas di beberapa department store ketika saya menyodorkan sebotol Vodka, Baccardi atau teman-teman seper-containing alcohol-annya, selebihnya mungkin sama saja karena tidak ada perubahan fisik yang signifikan. Saya sendiri, terlepas dari keberadaan saya, asal saya, atau hal-hal lainnya yang bisa dipastikan tidak dapat saya ubah, menganggap fenomena perubahan umur yang tidak bisa dianulir kehadirannya ini adalah sesuatu yang sangat besar. Well, ini juga terlepas dari kebiasaan saya menghubung-hubungkan cara orang memulai percakapan ketika dia sedang membutuhkan bantuan saya dan kepribadiannya, juga terlepas dari bertahannya urgensi di kepala saya untuk cermat memilih segala sesuatu yang mampu memberikan keuntungan saya secara estetis, perseptif, dan ekonomis. Untuk yang tidak paham, saya ini overthinking, mbak, mas.

Awalnya, saya pikir saya hanya mengada-adakan topik ini, layaknya orang-orang yang juga sama overthinking-nya seperti saya. Karena sudah lama otak saya tidak berkolaborasi dengan hati saya dan jari-jari tangan saya dalam waktu bersamaan seperti sekarang. Well, saya anggap, 200 lebih kata yang sudah tertulis hingga saat ini bukan sesuatu yang bisa diada-adakan. Saya simpulkan demikian karena selama berbulan-bulan ini, saya sudah mencobanya, mencoba untuk mengada-adakan topik, dengan landasan pemikiran “masa sih, dari sekian banyak momentum yang bersilangan, berbentur dan berhancuran, bersatu dan bersenggamakan, tidak ada yang mampu membuat jari-jari saya luluh untuk membuka kembali saluran ‘eustachius’nya mental saya?”, dan hasilnya? Nil. Tidak satupun tulisan non-akademis bisa saya hasilkan. Padahal, sebelumnya, saya adalah salah satu penggemar suatu penerimaan pikiran dimana kita akan lebih mampu bekerja sama dengan jari-jari tangan kita ketika kita sedang muram, terasing, tidak dalam putaran utama, atau apapun istilahnya, yang mana saya sering mengalaminya. Bagi kalian yang tersesat membaca ini, saya sedang menjelaskan bahwa tulisan kali ini dipantik dari kegelisahan yang saya anggap lebih dalam dibandingkan kegelisahan lainnya yang tidak juga dapat dikatakan kegelisahan minor. Lagi pula dimana ada kegelisahan minor?

Saya ingat, pernah membaca di buku puisi, milik bapak GM kalau tidak salah. Dalam buku itu, di bagian pembukanya, dikatakan di salah satu baitnya bahwa ‘kita dapat dikalahkan oleh rambut gondrong dan satu dua biji cerpen’. Seperseribu detik tidak sampai, saya mencerna kalimat itu, dan saya langsung tersenyum bahagia, seperti sedang ditunjukkan sesuatu, diarahkan ke sesuatu pemahaman kecil yang agaknya dampaknya dapat saja besar untuk saya menuju pemahaman-pemahaman lainnya. Jadi apa? Kalian pun bisa memiliki serapan yang berbeda terhadap penggalan kalimat itu, yang juga saya pisahkan dari kalimat-kalimat lainnya, yah ibarat orang yang sedang mencari kesalahan, dan pembenaran, instead of kebenaran. Tapi apa boleh buat, toh kita berdiri di atas kaki kita sekarang juga karena pembenaran-pembenaran kecil  yang sistematis sehingga kita dapat bermetamorfosis menjadi suatu karakter yang nyaman kita tinggali hingga saat ini. Tentunya dengan tidak menggarisbawahi penggunaan kata nyaman itu sendiri. Jadi kembali lagi, menurut saya, penggalan kalimat itu berelaborasi dengan berhektar-hektar aspek kehidupan, yang tentunya diproses secara personal sebagai manusia yang penuh justifikasi, penilaian, dan penafsiran-penafsiran bias seperti dalam pelajaran behavioural finance –maaf untuk analogi cepat dan tidak universal ini, dan menghasilkan arti sebagai sebuah rasa iri yang tidak terduga besarnya. Iri? Ya, iri, bukan iri seperti ketika iri dengan tetangga sebelah yang membeli kulkas baru yang nyata-nyata merupakan hasil dari korupsi dana perjalanan dinas, tapi iri yang sungguhan. Yang dimiliki orang-orang yang aliran perkembangan psikisnya tidak bisa dibendung, yang dalam satu titik bisa bersikap agreeable terhadap artikel Guardian dan sejenisnya tentang “10 kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang sukses di pagi hari”, memborong busana dengan berbagai potongan di musim panas, mengadu argumen tentang paham Agnostik yang kontras dengan agama pada misionaris di jalan-jalan umum, dan di sisi lain bisa menerjemahkan siratan luka sejarah yang amat dalam di sebuah lukisan amatir karya seniman ‘rendahan’ yang belum populer dan ‘reviewnya masih sedikit’. Iri yang saya artikan sebagai, ‘luar biasa megahnya karya ini, saya kalah, saya iri terhadap hubungan karya ini dengan penciptanya’. Seperti itu.

Jadi, kembali dengan paragraf awal. Apa yang sebenarnya saya pikirkan tentang diri saya? Saya rasa, semua orang pernah minimal sekali, menanyakan kepada dirinya, apakah saya benar-benar saya yang saya pikir adalah saya? Saya, lahir dari keluarga baik-baik, melaksanakan wajib belajar dua belas tahun (versi setelah bapak Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia), melanjutkan pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri untuk memperoleh ijazah strata satu sebagaimana orang-orang normal lainnya, masuk kerja dan memperoleh penghasilan tetap per bulan, dan sekarang merebut kesempatan untuk meraih ijazah strata dua di negeri yang lebih jauh dari China sebagaimana orang-orang ambisius lainnya. Sudah, tidak perlu ada yang dibahas kan dengan cerita hidup lurus-lurus saja begini?

Lantas, sudut pandang mana yang membuat saya ngotot ingin membahas diri saya? Sebentar, hati-hati konten bragging yang tinggi setelah ini. Saya masih muda (ck!ck!ck!), seumur hidup saya, saya selalu sekolah di sekolah-sekolah favorit (yang terdekat dengan rumah tentunya, karena zaman saya dahulu belum ada internet dan pengetahuan saya sedikit tentang skema-skema pembiayaan dan saya sendiri tidak berada dalam keluarga kaya raya), meraih prestasi akademis yang selalu berada dalam level pengecualian dari rata-rata sehingga di akhir berhasil bekerja di tempat yang sangat menempa dan prestijius di antara jenisnya, sanggup memperoleh apresiasi tinggi dari berbagai kolega yang bekerja dengan saya dalam seluruh tiga ratus enam puluh derajat penilaian, dan sekarang, menikmati udara segar dan waktu-waktu yang mampu diluangkan untuk hal lain selain mencaci fasilitas dan pelayanan pemerintah yaitu kuliah di Inggris raya dengan kantong kas penuh hasil dukungan dari pemerintah Inggris bersama 500-ish orang luar biasa lainnya, yang bisa jadi benar-benar luar biasa.

Tapi, harus saya akui, selain ’10-minute meeting’, ‘kesuksesan itu dilihat dari bagaimana kita memandangnya’ juga ada dalam daftar hal-hal yang saya anggap awalnya adalah sampah namun sekarang saya yakini sepenuh hati kebenarannya. Saya lalu menemukan borok-borok mental yang selama ini saya anulir karena saya bahagia –yah, meskipun dalam daftar saya ‘happiness is only a state of mind’ juga masuk. Borok-borok itu saya identifikasi dan saya kupas menjadi beberapa bagian, ada yang borok yang mengarah kepada ‘sebenarnya ini bukan borok, tapi tanda lahir’, atau borok yang kalau dirawat akan benar-benar membawa perbaikan untuk kulit mental kita. Pardon my analogy, but thats the way i see it. Borok ini punya wujud-wujud kasat mata, seperti pertanyaan kenapa saya harus memilih masuk ke sekolah-sekolah pilihan orang tua saya (walaupun saya punya jawabannya: karena saya lahir di Asia dimana orang tua menanamkan pada anak-anaknya konsep yang semacam bertolak belakang dengan orang tua-orang tua di Eropa yang menanamkan pada anak-anaknya bahwa mereka adalah manusia biasa yang harus berjuang sendiri untuk meniti apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka berjalan ke arahnya -yang bermuara ke hal-hal semacam cari uang sendiri di usia belia-, sehingga keputusan saya adalah sebagian besar merupakan keputusan orang tua saya, serta karena orang tua saya lahir duluan sehingga pikiran logis saya menuntun saya untuk percaya bahwa mereka tahu hal-hal yang belum saya ketahui, terlebih di tengah era globalisasi masih bayi dimana internet belum benar-benar beresensi 'membuka'). Kedua, pertanyaan kenapa sampai ketika internet mulai ada dan saya mengenal ekstrakurikuler seperti film, jurnalistik, basket, tari kontemporer, cheerleading, drum, piano, yang semuanya saya cintai dan saya bisa dibilang baik di dalamnya, saya masih menganggap bahwa ‘saya harus masuk yang paling favorit dan yang paling menantang’ juga? Dan lalu, setelah saya ditempatkan bekerja, dimana saya punya akses luar biasa dengan dunia luar, mengenal bermacam-macam orang dengan kisahnya dan membaca banyak buku saya nyaman dengan paham tradisional (ya, karena papa saya pun menganutnya, ini hanya bentuk fisik sang umur paham saja) ‘mencintai apa yang saya kerjakan’ dan ‘ah, rumput tetangga selalu lebih hijau’, dan kenapa sampai saya tiba di 3 tahun lebih karir saya, saya malah menganggap, ‘saya sudah jauh sekali belajar tentang hal ini, bahkan saya sudah punya karir, jadi sebaiknya saya tetap maju dan memantapkan bidang karir saya di sini, dan menekuninya’?

In the other hand, tidak saya pungkiri, fakta bahwa saya selalu berjodoh dengan kesempatan adalah sesuatu yang patut saya syukuri hingga tiada tara, karena saya sampai di sini dan bisa menulis ini semua. Semua yang saya jalani berkontribusi, baik yang baik maupun yang tidak, untuk jalan hidup saya. And this is no "how would it be if i become...” kind of article. Disini, saya hanya mengajak kalian untuk dibawa ke drama wanita bermental ambisius ketika memasuki usia *beep*, dan merasakan kegelisahan yang luas sehingga dirinya bahkan tidak kuat lagi menghadapi si rambut gondrong dan satu dua biji cerpen. Siapa tahu, kalian sampai pada satu titik mental seperti saya sekarang dimana kalian merasa: bukan saya tidak puas dengan apa yang saya kerjakan, bukan saya mengutuki kurangnya nikmat atau apapun yang disebut orang-orang yang sederhana yang berpegang pada satu hal yang mereka yakini dari awal hingga akhir dan isi kepalanya tidak serumit para penganut paham Agnostik, namun saya benar-benar tidak suka konsep membuang-buang waktu, dan saya tidak bisa meramu pikiran yang sederhana (kalau hidup sederhana, bisa!) untuk membuat semuanya, mungkin, akan lebih mudah untuk mengerucut seperti mengerucut kepada melakukan hal yang baik dan bertujuan untuk investasi kehidupan setelah mati, serta bermanfaat untuk orang lain. Dengan demikian semua hal akan tampak seperti hal yang orang bilang mulia, sebagaimana kita menjalaninya, dengan ikhlas (?), dan tanpa ambisi bertutup konsiderasi terhadap ketidakpuasan hati yang terlalu berbelit. Saya, sebagai kontrasnya, adalah seorang yang sangat individualis (alias orang yang sulit sekali berpikir bahwa dirinya hanya bagian dari suatu kelompok, kawanan, atau kerumunan, dan selamanya akan menjadi bagian yang mengutuhkan sesuatu yang lain, dan instead, berpikir bahwa bermain dengan kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai level maksimal kemerdekaan pribadi, ketenangan batin, dan hal-hal manusiawi lainnya adalah lebih utama) selalu menebak-nebak, mengira-ngira (tanpa memedulikan peyorasi kata menebak dan mengira itu sendiri), apa seharusnya saya, apakah ini gundah malam yang sama dengan yang lainnya, atau sebuah sinyal yang dikirim oleh sebuah peran yang sudah lama menunggu karena kita sibuk menghabiskan waktu dengan peran lainnya. Apakah kejanggalan yang saya rasakan dalam menghadapi teman-teman yang menerbitkan buku, menjadi desainer perintis yang mengikuti berbagai fashion show -yang belum seakbar yang kita anggap akbar secara umum tetapi bisa ditebak betapa mengharukannya berada di sana- meskipun belum mendapat gelar desainer dari universitas manapun, memenangkan kompetisi bisnis dan siap ekspansi ke Negara-negara lain untuk bisnisnya, menyumbang peran profesional dalam sebuah film independen, memotret untuk majalah Vogue, memilih melanjutkan S3 bukan karena pintar tetapi mereka memiliki misi strategis seperti mereplika embrio manusia untuk bahan pembuat obat segala penyakit yang berfungsi sebagai regenerator tubuh manusia, bahkan kepada mereka yang memilih meninggalkan pekerjaannya demi hidup dengan irama yang lebih teratur dengan fokus pada suami dan anak-anaknya, atau bahkan yang lebih ‘bahkan’ lagi, saya insecure melihat Bapak Joko Widodo berpidato dalam debat capres. Rasa iri dan terusik itu mahal, dan jarang terjadi. Saya ingat, papa saya pernah bilang bahwa dokter, irinya dengan dokter, dan tukang becak irinya dengan tukang becak, yang saya lalu artikan juga sebagai ‘how you see something is a true reflection of how you see yourself, it can never be something else’.  

Saya merinding dan tidak berhenti dalam menulis artikel ini, karena energi iri itu begitu kuat, begitu tidak mungkin salah sasaran, dan saya sudah mulai tidak sabar untuk mulai mendokumentasikan pertarungan antara semua aspek –perasaan, pengalaman, yang telah dialami si gadis yang menua seperti manusia lainnya ini dengan studi empiris yang dilakukan oleh hatinya sebagai akibat dari penggunaan metode sampling POV yang berbeda.

Saya suka quote dan saya tiba-tiba ingat sebuah quote dari teman saya. “I am always happy for people, not for what they do, neither for how important we think things that they do, but for they are happy in doing it, and for all her/his life converges to this one happy curve.” I guess that is so true, my dear.

Saya bukan Alan Greenspan, tetapi saya selalu lebih senang mengajukan pertanyaan ketimbang pernyataan dalam konteks bicara kepada publik, dan pertanyaan itu biasanya saya juga tidak bisa menjawabnya. Dan tugas kalian untuk mengolah ini untuk kebutuhan kalian sendiri, sebab kita selalu bertanggung jawab akan apa yang kita ketahui.


That’s why people write things.