God bless this mess.



Rabu, 21 Juni 2017

Aku tau bahwa aku tau dan karena kamu tau aku perlu berpura-pura tidak tau




“The problem is not the other people. The problem is you.”

Kata-kata inilah yang membawaku kesini. Ke halaman ini lagi. Dimana aku akan mentrasir semuanya. Semundur mungkir ke belakang. Ketika ibarat kayu, aku baru gelondongan. Belum dipotong, dibentuk, dan disajikan untuk mata-mata yang mau. Aku memanggil-manggil intiku untuk bicara. Sesuatu yang mungkin ditanamkan kepadaku yang membuatku adalah aku, aku yang bukan produk dari suatu pemahaman umum. Bukan selera pasar. Aku sedang mencari itu.

***
 
“I love you, and only you that I want.”

“What would I do without you.”

“You are my fucking best.”

“We should not fight no more. We only have each other”

Aku berpikir. Dari semua sensibilitas yang aku miliki, aku sangat sensibel terhadap kata-kata. Kata-kata memiliki dimensi yang sangat luas ketika masuk ke dalamku. Mataku akan mengingat seperti apa momen dimana kata-kata itu keluar. Telingaku akan sedalam-dalamnya mereplika seperti apa kata-kata itu diperdengarkan. Bahkan bagaimana nafas yang mengiringi kata-kata itu jatuh di kulitku dan hingga baunya melekat di tubuhku. Bau kata-kata itu.

Ketika kamu mengatakannya, ada suatu efek yang tidak akan pernah pergi. Setidaknya tidak dalam beberapa tahun. Efek itu masif. Dekonstruktif. Dan berdiri sendiri. Persis seperti kabin di tengah pulau yang memproduksi energinya sendiri. Tidak menyuplai kabin lain. Tidak menerima supplai dari kabin lain. Hanya dirinya sendiri dengan kemegahan yang hanya dimiliki dan diakui olehnya.
Tidak ada suatu partikel pun yang mampu membawa efek ini ke dalam tubuh orang lain. Dan aku sedang mencari tau, mengapa dia memilihku.

“We are done.”

“I will leave tomorrow.”

“I was not happy.”

“I was so loyal to you.”

“It was you.”

Kemudian aku memutar lagi kata-kata lain. Yang aku tangkap datang bersamaan dengan kata-kata yang tadi. Aku mengarahkan otakku ke arah kata-kata ini dan menekan tombol “view history”.
Sedihnya, aku menemukan efek itu lagi. Efek yang masif tadi.
Ini seperti labirin, kemanapun aku mengarahkan kepalaku, aku selalu kembali kepada efek itu.
Aku seperti diajak berputar-putar di dalam pulau sepi. Hanya untuk menemukan bahwa semua petunjuk akan mengembalikanku pada kabin di tengah pulau ini. Kabin yang sedih dan bertujuan sempit. Kabin yang arogan.

Lalu kata-kata yang lain bermunculan.

“Give me back everything I gave you.”

“I do not need someone like you in my life.”

“You are a bitch.”

Kali ini kata-kata yang datang menghantam cukup kencang. Aku mulai menyadari bahwa aku berada dalam sebuah efek dan nyatanya aku tidak berada di dalam kabin. Bahwa aku masih di meja kerjaku. Sedang meramu sebuah konsep acara yang akan kantorku selenggarakan dalam waktu dekat. Sebuah konsep acara yang mungkin akan membantu menghapus lubang hitam itu. Lubang yang ada di tempat yang seringkali aku tidak dapat prediksi. Yang terus-terusan menjebakku kembali ke labirin itu.

Aku menyapu pandangan ke sekitar. 

Aku sangat lega. 

Ternyata aku tidak berada di pulau sempit itu. 

Aku di sini.

Di rumahku.

Ada banyak hal selain kata-kata di sini. Ada gelak tawa. Ada gerakan senyum. Ada angin. Ada sinar matahari. 

Tapi aku heran, aku benar-benar memiliki ingatan atas labirin itu. Sangat detil. Termasuk semua kata-kata yang terkoneksikan dengannya. Bagaimana aku mengingat satu kata dan kata-kata yang lain bermunculan dan memasukkanku ke dalam labirin itu lagi. 

Aku berpikir. Mungkin aku sedang mabuk. Tapi tidak. Langkahku lurus. Aku juga bisa tetap mengetik.

Aku kembali mengacuhkan lamunanku tentang labirin.

Efek mimpi.

Sepertinya aku harus beristirahat sebentar.