God bless this mess.



Selasa, 29 Juni 2010

Setangkup Air Jeruk dan Perban

Seseorang pernah berkata, "Pesta harus berakhir, agar esok kita dapat berpesta lagi."


..

Matahari ceria sekali pagi itu. Semangat yang dipancarkannya membentuk senyawa yang mampu membelah diri berkali-kali. Meledak-ledak seperti reaksi fusi itu sendiri.

Dan sekarang, aku memiliki satu unsurnya.

Sistem syaraf manusia mengenal kata refleks. Sebuah reaksi spontan yang timbul tanpa ada aksi yang berarti. Sebuah repetisi yang tak terhindarkan, juga tak diharapkan.

Kira-kira seperti itulah yang terjadi padaku ketika itu. Pergi tanpa memori, dan tak acuh pada masa depan. Bukankah masa lalu dan masa depan cuma tipuan waktu? Akal-akalan tukang jam? Bagiku, waktu tidak lebih dari sekedar satuan.

Dia sudah muncul di hadapanku sekarang. Dengan seutas senyum simpul yang entah sejak kapan aku lupa bahwa ada jenis senyuman seperti itu. Dengan tas punggung, celana jins pendek, dan alas kaki paling nyaman sedunia, -yah, setidaknya menurut hasil survei, oh lagi-lagi, orang dewasa selalu mengandalkan angka-angka-, crocs.

Aku dan dia. Untuk hari ini saja.

Kami memilih pantai. Ya, walaupun pantai di Jakarta memang tidak layak disebut pantai. Karena selain udaranya tidak cocok dihirup orang yang sedang patah hati (debu, sampah, las karbit), kawasan yang masih saja jumawa menyebut dirinya pantai ini sangat tidak masuk akal, bayangkan, bagaimana bisa 'genangan air' dalam kondisi bersampah dijadikan sebagai tempat berenang anak-anak, dan level ketidakmasukakalannya sudah mencapai: mereka tidak sadar, tidak peduli, dan senang.

Bukankah mereka anak-anak?

Ah, sepertinya aku harus berduka karena 'kedewasaan' ini mulai tidak asyik.

Ketika kami datang, pantai itu tidak terlalu ramai. Atau lebih tepatnya, kami mengunjungi tempat-tempat yang memang tidak terlalu diminati banyak orang.

Banyak hal yang kami temui di sana. Pantai tidak masuk akal ini sekarang bertransformasi menjadi pantai memori.







Aku bersikeras ingin mematri namaku dan namanya di permukaan kayu itu. Dengan kapur semut, tipe-x, sari ketek, atau apapun, asal tidak hilang begitu saja ketika hujan turun. Sayang sekali, terlalu norak katanya. Benar-benar menyedihkan menjadi orang dewasa, lupa betapa asyiknya menuliskan "Dasar Kampret" di kaca mobil berdebu orang tidak dikenal. Baiklah, aku anggap kamu benar-benar lupa dan memang sebaiknya aku mengambil inisiatif seperti ini saja.







Cukup aku dan dia saja yang tau. (kenapa jadi terasa seperti usai memproduksi video porno?)

Dan tentunya, tidak akan 'terhapus' karena pemolesan ulang, atau pengecatan.

Harus aku akui, tempat ini tidak buruk. Aku bisa bersepeda mengelilingi pantai, dengan sedikit gaya cross-road yang dibuat-buat. Bagian dari pantai yang cukup sepi. Dan kami bersepeda berdua saja. Aku di depan dan dia di belakangku, memastikan aku tidak hilang, katanya.

Bisakah kamu membayangkan selelah apa sel-sel neuro-transmitter ku saat ini karena terlalu sering memproduksi hormon kebahagiaan?

Kami terus saja berjalan, seolah jalan ini akan terus ada untuk mengakomodasi keinginan kami untuk terus bersama. Melankolis? Itu lagu tema kehidupanku.

Sesekali kami berpandangan. Lagi-lagi gerakan refleks. Ada sebuah misi yang kami lupakan hari ini. Misi yang tidak dapat diidentifikasi oleh gerakan refleks sekalipun.

Kami merebahkan diri di atas pasir. Dua sepeda sewaan tadi pun sukses kembali menjadi kameo.

Sejenak pikiranku melayang entah kemana. Sepertinya menemui pikirannya. Entah di semesta yang mana, yang jelas pikiran kami sibuk berbincang. Sampai aku membuka mata, dan bertanya.

"Jam berapa ini?"

Mendadak sendu. Gerakan refleks itu sudah kabur entah kemana. Hanya ada aku dan setumpuk memori yang harus kusortir satu persatu agar tidak semakin menumpuk dan membuatku semakin sulit beranjak. Waktu. Mendadak kamu sangat berkuasa sekali. Padahal baru saja aku mencecarmu seperti anak ayam yang terlahir cacat dan tidak bisa berkokok.

Penyortiran selesai. Tapi aku tidak dapat menemukan dimana memori seharian ini. Hormon-hormon kebahagiaan itu pasti sudah ditelan ombak atau terbang bersama kotoran dan sampah.

Seperti menulis di atas pasir di pinggir pantai. Ombak datang, segalanya lenyap. Tanpa bekas.

Seperti tak pernah mengenal gradasi, rasa sakit ini menghujani hati. Seperti petir yang muncul tanpa gemuruh dan kilatan cahaya.

Dan hujan.

Kesia-siaan kata-kata seperti "Sabar, perpisahaan itu sama pastinya dengan perjumpaan" dan "Dia pergi untuk kembali, kok" terlihat sangat jelas kali ini. Rasanya seperti luka basah yang dibuka perbannya dan disiram air jeruk panas.

Sayangnya luka ini tidak berwujud.

Tetapi sangat terasa.

Setiap orang memujanya. Seperti badai yang datang sekali-sekali, berwajah murka, dan pulang meninggalkan luka. Manusia tidak pernah punya kendali atas hatinya. Hikmah itu, terasa sangat dibuat-buat.

Hei, aku akan bertemu dengannya lagi, kok. Dan bersamaan dengan itu, pasti kami akan berpisah, lagi.

Aku tidak akan mengeluh lagi kali ini. Aku akan mempersiapkan hatiku, walaupun nantinya akan kembali dicederai. Sungguh, kini aku mengerti. Hidup hanya setangkup air jeruk dan perban.










29 Juni 2010. Ketika tanganku tidak lagi terbiasa dengan meja dan kursi.

Kamis, 24 Juni 2010

CPNS boleh lanjut kuliah?


Terdapat dua definisi Birokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

1 sistem pemerintahan yg dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; 2 cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.

Dan sepertinya saya lebih setuju ke definisi yang kedua.

Sebenarnya ada definisi yang lebih representatif untuk birokrasi. Sayangnya belum dipatenkan. Dan berhubung kalian mendesak, oke, saya beri tahu, definisi itu adalah kampret. Yes, birokrasi is kampret. Tidak ada deskripsi yang lebih baik dari itu.

..

CPNS tidak boleh melanjutkan kuliah langsung pada tahun pertama mereka bekerja. Kuliah yang dimaksud ini adalah kuliah dengan biaya sendiri dan tidak mengganggu jam kerja.

Well, kalau kamu tidak melihat sesuatu yang janggal dari aturan ini, maka mungkin kamu tidak punya jempol kaki, belum sunat atau punya lima ubun-ubun di kepala.

Oke. Menuju sumber masalah. Segalanya berawal dari PMK Nomor 18/PMK.01/2009 mengenai Tugas Belajar di Lingkungan Departemen Keuangan. Lalu muncul interpretasi-interpretasi yang berujung pada ketidaksepahaman. Dalam BAB I Ketentuan Umum PMK ini telah jelas disebutkan bahwa aturan ini hanya berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang secara organik bekerja di lingkungan Departemen Keuangan, kecuali yang masih berkedudukan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), atau dalam kedudukan perbantuan dari atau ke Departemen Keuangan. Yang terbiasa dengan bahasa hukum, mungkin sekarang sudah tertawa sampai terberak-berak, karena dasar hukumnya pun salah. Bagaimana kita bisa membenarkan atau menyalahkan sesuatu yang bahkan untuk menghakiminya saja kita tidak punya dasar hukum?

Kegundahan yang akan sangat berpotensi membuat otak saya kembali harus 'dikulkaskan' ini lalu membuncah dan membuat hati saya benar-benar tidak tenang, seperti ketika terlambat datang bulan. Lalu saya memutuskan untuk... bertanya.

..

Sebenarnya, tidak ada peraturan yang melarang CPNS untuk kuliah. Selama kuliah dengan biaya sendiri dan tidak mengganggu jam kantor, sah-sah saja. Masalahnya, yang alot adalah perkara administratifnya.

SK Kenaikan Pangkat dilegalisasi oleh Menteri Keuangan. Yang mana merupakan produk dan wewenang dari Biro Sumber Daya Manusia (Biro SDM) Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pegawai yang kuliah berhak atas SK Kenaikan Pangkat setelah mendapat gelar pendidikannya serta mengikuti Ujian Penyetaraan Kenaikan Pangkat (UPKP). Diploma 3 STAN akan memperoleh penyetaraan langsung ke golongan III/a dari golongan II/c. Ketika kita langsung melanjutkan pendidikan di tahun pertama bekerja, paling tidak kita akan lulus dalam waktu (paling lama) 2,5 tahun. Setelah itu, pegawai berhak atas UPKP.

Persetujuan untuk kuliah di luar kedinasan, adalah di tangan masing-masing unit eselon I. Namun, ada kalanya, bahkan sering, terjadi ketidaksejalanan antara unit eselon I dan biro SDM sendiri.

Unit eselon I di kementerian keuangan memiliki karakteristik dan proses bisnis yang berbeda-beda. Misalnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Kedua unit eselon I ini memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda. DJP bergerak di bidang mikro, dan BKFdi bidang makro. DJP adalah unit teknis, sedangkan BKF adalah unit riset.

Sayangnya, biro SDM kerap kali berpikir seperti ini. Ketika pegawai golongan IIc naik ke golongan IIIa, akan terjadi 'penggelembungan' susunan organisasi. Jadi, organisasi akan 'gemuk' di golongan IIIa. Dan itu bukan hal baik, secara birokratis. Atasan membutuhkan bawahan, kira-kira seperti itu penjelasannya. Oke, untuk instansi seperti DJP yang unit vertikalnya tersebar di seluruh wilayah indonesia, dan satuannya sudah ribuan, pertimbangan ini tidak salah. Tetapi untuk BKF? Does it really matter?

Kalaupun memang masalahnya adalah 'penggelembungan', kenapa tidak diundur saja UPKP-nya? Tidak masalah kok, tidak UPKP dulu, yang penting kuliah dulu.

Bagus sekali! Sangat pas, dan otomatis tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapapun yang menjadi objek pembicaraan.

Tapi, saya punya bantahannya.

Tapi BKF kan belum punya kepala Badan. Siapa yang akan mengatakan itu semua ke Biro SDM? Dulu kan ada Pak Anggito yang sangat mendukung para pegawai untuk melanjutkan sekolah, tetapi sekarang?

Sekali lagi menggunakan Pak Anggito sebagai alibi bukanlah suatu hal memalukan atau terkesan 'instan' karena secara birokratis memang begitu kondisinya. Berjuang untuk diri sendiri rasanya akan berat. Karena harapan hanya tinggal ke Sekretaris Badan.

Hanya 12 orang dan kenapa begitu sulit?

Yang bokek gue, yang capek gue, yang dimarahin bos juga gue, kenapa ngomong iya aja susah banget?

Harapan saya dari tulisan ini adalah, semoga teman-teman bisa mengilhami keterkampretan yang saya alami, dan semoga bisa menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua.

Kalau ada ide, silahkan kontak langsung. Saya benar-benar menyerah. Bantu saya mewarnai bendera putih ini.



23 Juni 2010. Lelah.

Selasa, 15 Juni 2010

MLM? Why oh Why?


Multi-Level Marketing. Bahasa Indonesianya Pemasaran Berjenjang, adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung. Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah membantu kelancaran distribusi.

Promotor (upline) biasanya adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline) adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan tetapi, pada beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu.

Komisi yang diberikan dalam pemasaran berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan. (sumber: wikipedia)

...


Bisnis MLM agaknya bukan lagi sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Mendapatkan uang dengan cara yang relatif instan, tanpa modal, tanpa tempat usaha, tanpa akta pendirian, bahkan tanpa pegawai. Kasarnya, cuma bawa badan, beli katalog 1.700 rupiah, dan punya teman.

Dengan format bisnis yang luar biasa mengesankan 'instan' ini, tampaknya cukup beralasan untuk membuat beberapa orang sangat antipati terhadap bisnis ini. Saya teringat sebuah dialog dalam film Quickie Express yang disutradarai oleh Dimas Djayadinigrat, ketika pemain pria yang diperankan oleh Tora Sudiro mendapati ramalan pekerjaan yang cocok untuknya adalah MLM: "Mendingan gue jadi gigolo." Dan rasa-rasanya dialog ini tidak berlebihan.

Teman-teman saya yang menunjukkan keseriusannya dengan bisnis ini mengatakan sesuatu yang membuat saya keluar dari level 'antipati'. "Bisnis ini bukan bisnis instan, perlu komitmen kuat." Bayangkan, dimana dan kapan saja kita memasarkan produk-produknya. Setiap saat kita harus membawa katalog di dalam tas kita, berpura-pura berdandan di toilet sehingga memancing orang untuk bertanya mengenai make up tool yang kita pakai. Setelah teman bicara resmi tertarik, barulah kita membeberkan 'rahasia kecantikan' kita.

Memakai produknya jelas merupakan sebuah keharusan, ya, kalau kamu tidak ingin disebut penipu, karena menawarkan sebuah produk yang bahkan kamu sendiri belum pernah memakainya bisa dikategorikan penipuan kan?

Satu lagi, tentang harga diri. Konon, yang survive dalam bisnis ini adalah mereka yang tidak memiliki hal itu. Sebab profesi apapun yang tengah digelutinya, sekejap akan runtuh dengan image baru, "Mbak-mbak oriflame" "Mbak-mbak Sophie Martin".

Bagaimana tidak, kapan pun, dimana pun katalog selalu dibawa serta, kalau-kalau bisa memperoleh downline baru selagi berdandan di toilet atau menunggu taksi. Kegiatan setiap weekend berkumpul bersama teman-teman MLM-er yang lain, saling mentraktir. Hari Minggunya ikut kelas MLM. Setiap saat kamu terobsesi akan poin-poin. Setiap bulan bergunjing tentang bonus-bonus. Saling memotivasi agar tetap konsisten. Saling mengingatkan akan mimpi-mimpi keliling dunia dan mengendarai CRV yang diperoleh dari hasil 'keringat' sendiri.

Ada sebuah opini selentingan yang menarik dari seorang teman saya yang termasuk dalam kelompok masyarakat Indonesia yang antipati terhadap bisnis ini.

"Cari duit itu susah, nggak mungkin segampang itu."

"Tapi, itu real, banyak contohnya yang berhasil, dan kita bener-bener nggak harus keluar duit buat memulainya."

"Sekarang lo bayangin, cari duit kayak gitu. Ngemis dari orang, minta-minta orang buat jadi downline lo. Bayangin kalau lo jadi konsumen akhir. Itu penipuan. Lo mau, nipu?"

Komentar cukup pedas dan lalu membuat saya memiliki argumen baru untuk menuntaskan ke-antipati-an saya yang awalnya tidak sepenuhnya beralasan. Benar, memang, bisnis ini seolah-oleh menjadikan kita pengemis-pengemis baru. Memuja-muja produk di depan orang lain, memelas meminta orang lain menjadi downline. Oke mungkin awalnya memang hanya komitmen, tapi lama kelamaan? Berhati-hatilah. Mungkin misi utama mereka adalah melumat habis kepribadian Anda dan mentransformasikannya menjadi sesuatu yang baru. Berlebihan? Mungkin iya, mungkin tidak.

Alasan saya untuk menjadi antipati hanya satu, awalnya. Dalam bisnis ini, kita tidak bisa mendapatkan sensasi berusaha, seperti ketika kita membangun bisnis dari awal, seluruh rancangan benar-benar buah dari pemikiran kita. Kita yang mendesain, kita yang mengumpulkan orang-orang yang sevisi, menganalisis pasar, meramal masa depan bisnis, dan sebagainya. Tidak hanya sebagai eksekutor yang bahkan mati-matian mengelu-elukan produk orang lain, untuk kebaikan kita sendiri. Terlalu politis. Sedangkan saya sendiri sangat mendukung bisnis yang membutuhkan segenap kreativitas yang saya miliki.

Singkatnya, saya memandang bisnis ini sama sekali tidak mendidik kita untuk menjadi enterpreneur. Dan mungkin malah mendidik menjadi freak salesman/salesgirl, dalam level parah.

Tapi apa yang terjadi di sisi pro? Mereka tetap berjaya dengan gelimangan konsistensinya. Menurut saya sama sekali tidak salah, bukankah setiap orang memilih? Hei, 4 juta rupiah per bulan itu bukan bualan, saya yakin itu, suatu saat mereka akan mendapatkannya.

Kepuasan dan uang? Perpaduan yang manis.

Dan sekali lagi, kita di sini untuk berbagi sudut pandang. Bukan untuk bergontokan menyamakan persepsi.

Senin, 14 Juni 2010

Jadilah luas.



Sering kali di antara kita terjebak pada paradigma klasik. Memandang suatu karya seni sebagai objek apresiasi, apakah itu bagus, ataukah tidak. Dan terus menerus menjadikan kedua kategori itu sebagai patokan seperti sebuah standar yang diakui secara universal. Kenapa tidak sekalian saja bikin undang-undang mengenai kriteria sebuah karya seni yang bagus?

Bahkan institusi yang berhak untuk mendefinisikan sesuatu secara sah dan diakui belum berani memberikan satu definisi mengenai seni. Dan, apakah dengan objek pembahasan yang tidak terdefinisikan ini masih saja kita bersikeras menempelkan label 'bagus' dan 'tidak bagus'?

Inspirasi menulis hal ini datang dari sebuah forum fotografi milik teman saya. Hanya percakapan singkat yang kemudian mengusik hati dan sanubari mereka.

..
"Jelek menurut sebagian orang belum tentu jelek menurut sebagian lainnya. Yang jelas seni itu indah, tergantung cara kita memandangnya."

"Tidak terlalu setuju, Photographer yang nggak bisa menyampaikan pesan, berarti dia gagal..
Dia harus bisa meyakinkan semua orang yang melihat karyanya berpendapat bahwa hasil tangkapannya 'keren'.. Mungkin maksud kamu idealis, tidak peduli orang mau bilang apa, yang penting: "It's my style, my colour.." "
..

Kedua teman saya di atas sama sekali tidak ada yang salah. Bersamaan dengan tidak ada pula yang benar di antara mereka. Yang perlu kita ingat, dunia ini hanya memberi ruang kepada mereka yang ingin berbagi sudut pandang, bukan yang ingin menyamakan persepsi. Ada miliaran sel dalam tubuh kita. Tidak mungkin seluruhnya menyuarakan hal yang sama.

Agak polemik memang membicarakan sesuatu yang sangat subjektif seperti seni. Menurut saya omong kosong kalau kita terus menerus bersikeras dengan pendapat diri kita sendiri mengenai sebuah karya bagus atau tidak. Fotografer butuh pengamat, butuh apresiator. Sama seperti seniman-seniman lain. Seni adalah aktivitas intim, tapi bukan seperti masturbasi atau onani. membuat sendiri, senang sendiri lalu memberi penilaian sendiri. (Tidakkah itu tolol dan terkesan seperti arogansi yang terlalu memaksakan?)

Tapi, ada satu titik di mana egoisme seniman muncul. Tidak peduli karyanya tidak banyak yang meminati, benar-benar tidak peduli. Itu sudah pasti, kalau tidak, seniman akan kehilangan identitasnya. Ketika seniman terlalu didikte oleh persepsi, maka yang dihasilkannya bukan lagi karya, tetapi perkawinan atas repetisi-repetisi. Tidak lagi orisinil.

dan bagus/tidak, oh itu tidak semudah mengatakannya. Selera orang tidak pernah sama. Bjork menurut saya bagus, sedangkan menurut orang lain yang menurut saya punya kapasitas untuk mengatakan itu musik bagus saja, terang-terangan bilang itu musik sinting.

tentang fotografi, ada beberapa tangkapan yang mungkin artinya tidak tersampaikan, wajar, karena memori orang berbeda2 satu dengan yang lain, dan kita tidak perlu susah2 menyamakan persepsi tentang karya kita dengan persepsi orang lain. tidak ada gunanya.

ingat film Catatan Akhir Sekolah milik sutradara Hanung Bramantiyo? Adegan awal dimana diperlihatkan sebuah film yang sebagian besar gambarnya hanya kepulan asap dan sang sutradara berusaha meyakinkan para penonton bahwa film tersebut 'bagus'? Pada akhirnya tidak satu pun orang yang berhasil diyakinkannya. Apakah karya seperti itu berhak kita claim 'tidak bagus'?

Tidak jelas. Bahkan sebelum mengarahkan ke 'bagus atau tidak?' poin kejelasan tidak berhasil diraih. Malang? Tentu tidak. Malah ada beberapa seniman yang merasa sangat bangga ketika karyanya dikatakan 'gila', 'absurd', atau 'tidak jelas'. Membuat orang lain merasa bingung dan tidak mengerti, terkadang menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Dan anehnya, terkadang yang seperti inilah kemudian yang dikatakan 'bagus'.

Terlalu banyak yang dapat kita gali dari sekedar kata 'bagus' atau 'tidak bagus'. Jangan terpaku pada dua kata tersebut dan menjadikannya sebagai saklar dimana dengan seketika dapat meng-on-off-kan naluri berkarya kita. Terus saja berkarya, dan perbaiki tujuanmu.

Tidak ada satu seniman pun yang membuat karya hanya untuk diakui orang lain.
Ingat, diakui itu hanya bonus.


Senin, 14 Juni 2010. Cerah Tanpa Bos.

Aku, dia. Kami?


perasaan itu memang ada. Sangat jelas. Sejelas matahari pagi.

dia adalah pria yang kukenal melalui mulut-mulut lain. Semacam aku sudah mengetahui secara sepihak bagaimana dia dan seperti apa dia.

kami berkenalan. Perkenalan remeh yang bahkan tidak lulus seleksi departemen penyimpanan memori dalam otakku. Dan dia sendiri bukan merupakan tipikal pria yang akan kusukai secara fisik. Oke, jangan berpikir hipokrit. Kita semua menilai kan?

Oh ya, dan mulai detik ini, aku mendeklarasikan penolakanku terhadap terminologi "kriteria". Kriteria adalah si kurus lemah yang bahkan tidak berani menampakkan wajahnya di depan sang intensitas.

Mungkin bahasa pujangganya "Witing tresno jalaran saka kulina." Yang belakangan sudah kalah pamor dengan "Witing tresno jalaran saka ora ono liya." Persaingan antara peribahasa-peribahasa ini labil sekali.

Dia seperti pengunjung yang hanya datang melihat, bertanya, terlihat tertarik, lalu pergi begitu saja tanpa membeli apa-apa.

Kurang lebih enam bulan. Waktu yang sangat singkat untuk mengambil kesimpulan. Namun kurasa aku sudah cukup patah hati saat ini.

Seperti infeksi selangkangan yang tidak terlihat namun sakitnya luar biasa dan selalu perih ketika harus bergesekan dengan pakaian dalam.

Tipe-tipe penyakit yang lebih baik tidak dikonsultasikan pada siapa-siapa.

Aku nyaris menyerah.

Satu titik aku memasrahkan diri pada perasaanku. Tampaknya ia sudah lama ingin merdeka.

Satu titik aku lelah dan menyerah pada semesta yang sepertinya jauh lebih berkuasa atas diriku

Aku ingin menjadi pengkhianat masa depan dan hidup untuk hari ini saja.

Tapi rupanya segalanya sudah berubah. Dia mulai mengenal kosa kata baru, "kenyataan." ya, dia menyebut semua sikap dinginnya dan jarak yang dipautkannya dariku sebagai konsekuensi dari kosa kata baru itu. Memangnya kita ini orang-orang bohong-bohongan? Tidak nyata?

Kenapa sih dia harus se-metaforis itu?

Hei, aku tidak bodoh. Perbedaan itu sejelas mata orang buta yang hanya bisa melihat kegelapan..

Perasaan itu sudah tidak ada kan?

Seindah apapun kau membahasakannya, tetap saja terbaca. Aku sudah terbiasa dengan tindakan kenyataan yang kadang-kadang keterlaluan.

Aku sungguh ingin melemparmu dengan botol beling ini. Menggores wajahmu dengan belati. Menginjak-injakmu tubuhmu yang terlentang di atas hamparan karang tajam.

Sayangnya aku tidak gila.

Aku mencintaimu dengan penuh kesadaran.

Hanya saja kamu tidak lagi memberiku ruang. Ruang untuk mengembangbiakkan perasaan ini.

Bisakah kamu membantuku?

Membantuku membuat sebuah kenyataan agar aku bisa mengatakan bahwa ini semua hanya mimpi?

Atau mungkin bukan kamu orangnya?

Tentang Seseorang

Bukan pepatah rahasia, tentang ketika kita menginginkan sesuatu. kita nyaris tidak pernah mendapatkannya. karena -disambung dengan pepatah lain- Tuhan selalu memberikan apa yang baik untuk kita. apa yang kita butuhkan. bukan apa yang kita inginkan.

keinginan dipandang sebagai sebuah ambisi yang tidak ada ujungnya. ketika kita telah mendapatkannya. kenikmatannya akan terhenti saat itu juga.

mari kita mengarahkan objek ini kepada seseorang yang -saya memilih- lebih tepat disebut 'seseorang' saja.

ini hanya sebuah cerita fiksi yang tidak perlu dipropagandakan menjadi sesuatu yang lebih.

dia datang. mengapa dipertegas? karena selama ini dia ada. tapi dia hanya di situ saja. ibarat patung tak pernah bergeming di etalase toko. aku tak pernah berusaha menyapanya ataupun melakukan interaksi apapun dengannya. sebab. ya bagiku baiknya hanya seperti itu.

segalanya dimulai dengan sebuah kata.
"Hai"
aku sangat terkejut. seseorang yang selama ini kupikir hanya pepohonan yang tak dapat kumengerti bahasanya. seseorang yang tidak pernah bergeming dalam pose abadinya dalam gambar berukuran 3R yang sering kutatap lekat-lekat.

dia menanyakan kabarku. semula kami nyaris tidak pernah berbincang. lebih kepada dia tidak pernah menyambut sapaanku. aku ingat. ada beberapa "Hai" yang pernah kulayangkan padanya. namun seperti yang aku katakan. dia membalasnya dengan bahasa angin, hujan, dan gesekan pepohonan yang sama sekali tak kumengerti.

dan perbincangan ini berlanjut. tak bisa kusembunyikan senyum yang tersungging di bibirku. aku menikmatinya. menikmati bahasanya. menikmati seluruh kata-kata yang dilayangkannya. dan seperti biasa, dengan orang yang sangat kukagumi seperti dia. aku bertingkah laku aneh. perbendaharaan kata-kataku berkurang drastis. segalanya menjadi tidak pas. tidak biasa. sama seperti ketika kita biasa berambut panjang, ketika berambut cepak, kita merasa menjadi orang lain. yang sama sekali berbeda.

tidak adil rasanya. aku tidak mengerti apapun tentangnya. dan dia bisa membuatku seperti ini.

"Suka dengerin John Mayer?"
tiba-tiba aku sangat ingin menjawab ya. aku ingin menunjukkan sebesar apa ketertarikanku dengan apa yang dikatakannya. yang disenanginya. tapi kemudian aku menjawab terkadang. dan kemudian aku menyesalinya. kurang lebih seperti itulah yang terjadi selama perbincangan ini. aku memikirkan kata-kata yang akan kukatakan padanya. namun pada akhirnya kata-kata itu tidak kukatakan.

tidak banyak yang kuketahui darinya.

kukatakan tidak terlalu banyak karena itulah satu-satunya alasanku untuk menolak pertama kali dia mengajakku bertemu.

Apa-apaan sih pria ini?
pikirku.

Begitu cepat. Begitu lambat. Semua ini kurasakan dalam satu waktu.

Namun ternyata ia tidak menyerah. ia meneleponku untuk pertama kalinya.

"Oi"
adalah kata-kata yang dipilihnya untuk menjadi kata-kata pertama yang akan kuingat sepanjang hidupku -ya setidaknya sampai kemampuanku untuk mengingat dimakan usia-
namun entah mengapa semuanya terasa sesak bagiku. aku dingin. tegang. aku sudah berusaha menutupinya dengan gelak tawa, pembicaraan ringan, namun semuanya percuma. kalau jantung bukan organ tak sadar, mungkin aku lupa menyuruhnya berdenyut selama lima menit terlama dalam hidupku ini. dan akhirnya aku memilih lebih banyak diam. karena sekali waktu aku berbicara entah wanita konyol mana yang merasuki tubuhku dan berbicara seolah-olah dia adalah aku.

aku berharap ada seseorang melemparku dengan garam seperti adegan di serial Supernatural agar ruh wanita konyol ini segera pergi dariku.

namun sampai akhir cerita pun. aku tetap di sini. dengan wanita konyol ini yang seolah menemukan rumahnya.

dan aku menyerah. rasa penasaranku memanggil-manggil seperti suara-suara yang didengar oleh penderita scizophrenia dalam film Running With Scissors. dan akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan ajakannya untuk bertemu.

ehm, aku lupa harinya. baguslah. berarti aku tidak se-pathetic itu untuk mengingat hari, tanggal, dan jam kami bertemu.

dia datang. kali ini dia benar-benar datang.

kalau bola mata bisa berubah sesuai suasana hati pemiliknya. mungkin saat ini ada bunga-bunga di mataku. aku tidak peduli ini picisan. karena sesungguhnya kau tidak merasakannya. menikmati sosoknya datang dari jarak 3 meter, 2 meter, 1 meter, dan sekarang tepat duduk di seberang tempat dudukku. sungguh gradasi yang sempurna.

semoga aku tidak salah tingkah atau bagaimana. sebab baru saja dia melayangkan senyuman terkikir sekaligus termanis yang pernah kulihat. -maksudnya yang kulihat langsung, senyum termanis masih milik McCartney-

tiga jam. sepiring nasi sapi lada hitam. segelas lemon tea. segelas orange float. lalu kami beranjak dari tempat yang kuanggap paling privat dari sederetan tempat yang ada di sini. cukup banyak yang kami bicarakan. namun kusimpulkan bahwa lebih dari 50% perbincangan tadi adalah tentangnya. satu poinnya adalah dia menceritakan mengenai kisah cintanya yang menurutnya sangat sangat klise. tapi karena dia, seseorang yang menjadi objek utama di sini, yang mengatakannya. aku tidak punya pilihan lain selain tertarik.

ya. dia adalah objek. kalau kata Mocca, "Object of My Affection"

aku mengatur segalanya seperti menolak untuk menerima bantuannya membelikan CD Endah n Rhesa untukku di toko tempatnya bekerja, pergi bersama teman-temanku agar aku punya alasan untuk menolak diantarkan pulang olehnya, agar ini menjadi pertemuan pertama dan terakhir kami.

tapi apa?

"Hei, thanks ya sudah menyempatkan diri bertemu."
kalimat ini berhasil membuatku menganggap-anggap bahwa akan ada sesuatu. pasti.

dan inilah yang membuat semuanya jadi aneh. dia bukan lagi manekin yang tidak pernah berganti pose. dia bukan lagi pria yang sanggup menjadi fantasiku. sebab kini dia nyata. dia bukan sekedar 'ada'.

dia menjadi seseorang yang kusebut sebagai seseorang yang aku mau. seseorang yang benar-benar aku inginkan. namun aku tidak berharap banyak.

semenjak dia memberikanku impuls -yang aku lupa sejak kapan-, aku mulai mengisi waktu-waktu luangku untuk mengamatinya. menganalisisnya. entah apa yang tumbuh. namun memiliki sebuah harapan akan membuat hidupmu semakin agresif dan.. berwarna. aku menikmatinya. dan belakangan aku sadar bahwa aku menikmatinya sebagai harapan. saja. tidak untuk dikenal lebih dalam. tidak untuk dirangkul tangannya. tidak untuk dielus rambutnya. hanya seseorang yang menghidupkan. itu saja sudah lebih dari cukup.

setelah pertemuan itu, kami bertemu lagi. pertama karena aku sengaja datang ke toko buku tempatnya bekerja untuk membeli sesuatu yang sebenarnya bisa kudapatkan di tempat lain. dan yang kedua. dia mengantarkan sebuah CD Trees And The Wild yang sengaja kuminta darinya.

dia tidak memulai apapun lagi. sebab aku yakin dalam hatinya semuanya berakhir sejak pertemuan pertama itu. aku sempat marah karena tidak sepatah katapun diucapkannya sejak pertemuan pertama itu.

lalu lambat laun aku lelah berlari dan menemukan sesuatu.

bahwa tidak ada yang kurang dari hidupku.

aku hanya kehilangan sesuatu yang aku mau, dan kini tidak lagi aku mau.

lalu aku menengok ke belakang. aku sudah berlari jauh.



tapi lalu aku bergumam.
"Tidak sejauh itu"

lalu dengan sisa tenagaku aku kembali. ke tempatku semula.

aku bersyukur telah kehilangan jejaknya. aku bersyukur belum sempat mengatakan padanya bahwa aku menyukainya. aku bersyukur ternyata aku masih bisa kembali. dan aku benar-benar bersyukur terhadap apa yang aku miliki saat ini.

*hei, apa kabar dengan 'seseorang' ini? mengapa dia tidak lagi menjadi objek?

siapa bilang? dia tetap objek. dia tetap pria memesona yang aku temui di sebuah keramaian yang sayang untuk dihapus dari memori. lagipula dia tidak jahat padaku. hanya satu kesalahnnya, membuatku sangat menginginkannya. sekarang dia tetap di tempatnya. dan aku kembali ke tempatku.






Senin 26 Oktober 2009.
terang habis hujan.


Aku. Kamu. Pria ini.

Kesalahan adalah bagian dari kehidupan. Bukan hanya aku. Bukan hanya kamu.

Ada kesalahan-kesalahan yang ditangisi. Ada kesalahan-kesalahan yang dibenci dan dipilih untuk dilupakan.

Ah, terkadang manusia sangat munafik. Dia melakukan kesalahan, kemudian dia mengingkarinya. Berbagai pembelaan diri dan pembenaran bermunculan. Pada akhirnya mereka berhenti berkelahi dengan dirinya, kembali ke bangkunya, lalu mulai menangis.

"Bagaimana bisa sih?"
Teriakan itu tidak kurang dari klakson panjang di tengah macet dan terik matahari ibu kota. Tidak berguna, menyebalkan, dan membuat segalanya menjadi semakin kacau.

Tiba-tiba terlintas lirik lagu Armada. Oh, pergaulanku 5 hari dalam seminggu akhir-akhir ini benar-benar payah.

..
Kesalahan itu terjadi begitu saja. Hei, ayolah, kita tidak pernah berpikir panjang dan serius kan ketika melakukan kesalahan?

He is just another boy.

Kalau boleh meminjam istilah salah seorang teman, "ketika itu kami tidak saling melihat satu sama lain."

Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tanpa sadar pria ini selalu ada di hari-hariku. Oh ya, "pria ini", aku akan menyebutnya seperti ini saja. Karena kembali ke kalimat awal, "He is just another boy."

Perkenalan kami singkat dan remeh. Tidak berlangsung terlalu istimewa, bahkan ketika itu aku belum tahu pria ini ada di semesta yang mana.

Segalanya berjalan begitu saja. Aku menjalani hidup. Begitu pula dengan pria ini. Kami bertemu ketika kami harus bertemu. Kami berbincang ketika kami harus berbincang. Dan tanpa sadar, keharusan bukan lagi sesuatu yang terjadi sekali-sekali.

Aku bersikeras bahwa semua ini hanya siklus lain dalam kehidupan. Tidak ada yang istimewa.

Kalau diaudiovisualisasikan dalam sebuah film, saat ini kita sampai pada sebuah scene yang membosankan. Cuplikan-cuplikan kehidupan. Seperti kamera-perekam yang begitu saja diletakkan di dekat meja makan dalam kondisi merekam.

"Kita ngapain sih?"
Kalau pertanyaan ini muncul 1 atau 2 minggu yang lalu, menjawabnya akan semudah menyanyikan lagu 'Balonku' dengan mengganti semua huruf vokal menjadi huruf 'O'. Dan saat ini menjawabnya bahkan lebih sulit dari orang cedal yang harus melafalkan "Ra Ra Riot" dengan benar.

"Ah sudahlah"
Hah? Jawaban macam apa itu? Oke, mungkin artinya akan kurang lebih sama dengan cuplikan dialog ini:
"So what? I am happy. Aren't you happy?". Setidaknya, aku mengartikannya seperti itu.

Aku mulai menyadarinya. Sesuatu hal yang jauh berbeda dari sekedar siklus kehidupan. Atau sekedar kamera yang dipasang dalam kondisi 'on'.

Aku rasa aku mulai menyukai ini. Seperti lambung lapar yang diberi makan. Tidak peduli siapa yang memberi makan.

Buruknya, permainan ini mulai tidak lucu bahkan mulai mengelabuhi sel-sel neuro-transmitter dalam otakku.

Satu titik aku menyadari bahwa semua ini adalah tipuan. Entah senyawa amino apa yang telah masuk dan mengalir di sepanjang aliran darahku sehingga tubuh ini bereaksi dengan tidak waras, tidak rasional, dan.. dangkal.

..

Kamu berdiri tepat di depanku dengan segala merahmu. Penyesalan mulai membuat lidahku tercekat dan tidak kuasa lagi bicara. Aku nyata-nyata telah berbelok di persimpangan yang salah, dan aku masih berani berharap akan ada jalan pintas menuju jalan yang sebenarnya menjadi tujuanku.

Aku salah kapal. Aku salah mengantri tiket. Apapun kalimat yang dapat disisipkan kata salah, jadikan aku sebagai subyeknya!

"Kau tau, bagaimanapun juga aku pasti memaafkanmu"

"Kau tau, aku tau"

Lalu kamu pergi.



..

Aku selalu tau kau selalu memaafkanku. Maafmu seperti ombak soliton yang tak pernah putus dan tak pernah terburai.

Aku berusaha untuk berdiri.



Tapi tidak setegak dulu.





..





Langit tidak berwarna biru cerah lagi kali ini. Kata Chris Martin, "They're all yellow."
Rabu, 21 April 2010. Terik di luar.