God bless this mess.



Senin, 14 Juni 2010

Jadilah luas.



Sering kali di antara kita terjebak pada paradigma klasik. Memandang suatu karya seni sebagai objek apresiasi, apakah itu bagus, ataukah tidak. Dan terus menerus menjadikan kedua kategori itu sebagai patokan seperti sebuah standar yang diakui secara universal. Kenapa tidak sekalian saja bikin undang-undang mengenai kriteria sebuah karya seni yang bagus?

Bahkan institusi yang berhak untuk mendefinisikan sesuatu secara sah dan diakui belum berani memberikan satu definisi mengenai seni. Dan, apakah dengan objek pembahasan yang tidak terdefinisikan ini masih saja kita bersikeras menempelkan label 'bagus' dan 'tidak bagus'?

Inspirasi menulis hal ini datang dari sebuah forum fotografi milik teman saya. Hanya percakapan singkat yang kemudian mengusik hati dan sanubari mereka.

..
"Jelek menurut sebagian orang belum tentu jelek menurut sebagian lainnya. Yang jelas seni itu indah, tergantung cara kita memandangnya."

"Tidak terlalu setuju, Photographer yang nggak bisa menyampaikan pesan, berarti dia gagal..
Dia harus bisa meyakinkan semua orang yang melihat karyanya berpendapat bahwa hasil tangkapannya 'keren'.. Mungkin maksud kamu idealis, tidak peduli orang mau bilang apa, yang penting: "It's my style, my colour.." "
..

Kedua teman saya di atas sama sekali tidak ada yang salah. Bersamaan dengan tidak ada pula yang benar di antara mereka. Yang perlu kita ingat, dunia ini hanya memberi ruang kepada mereka yang ingin berbagi sudut pandang, bukan yang ingin menyamakan persepsi. Ada miliaran sel dalam tubuh kita. Tidak mungkin seluruhnya menyuarakan hal yang sama.

Agak polemik memang membicarakan sesuatu yang sangat subjektif seperti seni. Menurut saya omong kosong kalau kita terus menerus bersikeras dengan pendapat diri kita sendiri mengenai sebuah karya bagus atau tidak. Fotografer butuh pengamat, butuh apresiator. Sama seperti seniman-seniman lain. Seni adalah aktivitas intim, tapi bukan seperti masturbasi atau onani. membuat sendiri, senang sendiri lalu memberi penilaian sendiri. (Tidakkah itu tolol dan terkesan seperti arogansi yang terlalu memaksakan?)

Tapi, ada satu titik di mana egoisme seniman muncul. Tidak peduli karyanya tidak banyak yang meminati, benar-benar tidak peduli. Itu sudah pasti, kalau tidak, seniman akan kehilangan identitasnya. Ketika seniman terlalu didikte oleh persepsi, maka yang dihasilkannya bukan lagi karya, tetapi perkawinan atas repetisi-repetisi. Tidak lagi orisinil.

dan bagus/tidak, oh itu tidak semudah mengatakannya. Selera orang tidak pernah sama. Bjork menurut saya bagus, sedangkan menurut orang lain yang menurut saya punya kapasitas untuk mengatakan itu musik bagus saja, terang-terangan bilang itu musik sinting.

tentang fotografi, ada beberapa tangkapan yang mungkin artinya tidak tersampaikan, wajar, karena memori orang berbeda2 satu dengan yang lain, dan kita tidak perlu susah2 menyamakan persepsi tentang karya kita dengan persepsi orang lain. tidak ada gunanya.

ingat film Catatan Akhir Sekolah milik sutradara Hanung Bramantiyo? Adegan awal dimana diperlihatkan sebuah film yang sebagian besar gambarnya hanya kepulan asap dan sang sutradara berusaha meyakinkan para penonton bahwa film tersebut 'bagus'? Pada akhirnya tidak satu pun orang yang berhasil diyakinkannya. Apakah karya seperti itu berhak kita claim 'tidak bagus'?

Tidak jelas. Bahkan sebelum mengarahkan ke 'bagus atau tidak?' poin kejelasan tidak berhasil diraih. Malang? Tentu tidak. Malah ada beberapa seniman yang merasa sangat bangga ketika karyanya dikatakan 'gila', 'absurd', atau 'tidak jelas'. Membuat orang lain merasa bingung dan tidak mengerti, terkadang menjadi kenikmatan tersendiri bagi mereka. Dan anehnya, terkadang yang seperti inilah kemudian yang dikatakan 'bagus'.

Terlalu banyak yang dapat kita gali dari sekedar kata 'bagus' atau 'tidak bagus'. Jangan terpaku pada dua kata tersebut dan menjadikannya sebagai saklar dimana dengan seketika dapat meng-on-off-kan naluri berkarya kita. Terus saja berkarya, dan perbaiki tujuanmu.

Tidak ada satu seniman pun yang membuat karya hanya untuk diakui orang lain.
Ingat, diakui itu hanya bonus.


Senin, 14 Juni 2010. Cerah Tanpa Bos.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

personal judgement mesti ada, yg penting sih menghargai personal judgement org lain.

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

yap benar, seperti yang saya bilang, tidak menyamakan, tapi hanya berbagi :)

Anonim mengatakan...

kuliah saja, manusia yang kuat hanya butuh dirinya dan keyakinannya.
saya memilih tidak meng-kampret-kan birokrasi.
^_^ kamu memilih masuk ke dalamnya, knp mengeluh? keluhan itu tanda ke-pathetic-an kita, yg lemah terhadap birokrasi, yang selalu khawatir dengan konsekuensi2 yg merugikan kita (dgn sudut pndang tertentu), yang mungkin saja konsekuensi2 itu bs berdampak positif (dgn sudut pndang yg lain), itu knp mencoba adalah hal yg paling saya suka, whatever the risk.
saya tdk akan memikirkan birokrasi, saya memilih egois dan mementingkan kepentingan saya diatasnya, saya memilih kuliah, karena saya tau itu yg lbh baik bagi saya.

fyi, ui sedang buka penerimaan, wanna try? :)

Anonim mengatakan...

terinspirasi dari poto Haska yg jadi HT itu yaa,,,
ahaha...

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

yap! kendaraan inspirasi saya adalah foto itu. :D