God bless this mess.
Senin, 14 Juni 2010
Aku, dia. Kami?
perasaan itu memang ada. Sangat jelas. Sejelas matahari pagi.
dia adalah pria yang kukenal melalui mulut-mulut lain. Semacam aku sudah mengetahui secara sepihak bagaimana dia dan seperti apa dia.
kami berkenalan. Perkenalan remeh yang bahkan tidak lulus seleksi departemen penyimpanan memori dalam otakku. Dan dia sendiri bukan merupakan tipikal pria yang akan kusukai secara fisik. Oke, jangan berpikir hipokrit. Kita semua menilai kan?
Oh ya, dan mulai detik ini, aku mendeklarasikan penolakanku terhadap terminologi "kriteria". Kriteria adalah si kurus lemah yang bahkan tidak berani menampakkan wajahnya di depan sang intensitas.
Mungkin bahasa pujangganya "Witing tresno jalaran saka kulina." Yang belakangan sudah kalah pamor dengan "Witing tresno jalaran saka ora ono liya." Persaingan antara peribahasa-peribahasa ini labil sekali.
Dia seperti pengunjung yang hanya datang melihat, bertanya, terlihat tertarik, lalu pergi begitu saja tanpa membeli apa-apa.
Kurang lebih enam bulan. Waktu yang sangat singkat untuk mengambil kesimpulan. Namun kurasa aku sudah cukup patah hati saat ini.
Seperti infeksi selangkangan yang tidak terlihat namun sakitnya luar biasa dan selalu perih ketika harus bergesekan dengan pakaian dalam.
Tipe-tipe penyakit yang lebih baik tidak dikonsultasikan pada siapa-siapa.
Aku nyaris menyerah.
Satu titik aku memasrahkan diri pada perasaanku. Tampaknya ia sudah lama ingin merdeka.
Satu titik aku lelah dan menyerah pada semesta yang sepertinya jauh lebih berkuasa atas diriku
Aku ingin menjadi pengkhianat masa depan dan hidup untuk hari ini saja.
Tapi rupanya segalanya sudah berubah. Dia mulai mengenal kosa kata baru, "kenyataan." ya, dia menyebut semua sikap dinginnya dan jarak yang dipautkannya dariku sebagai konsekuensi dari kosa kata baru itu. Memangnya kita ini orang-orang bohong-bohongan? Tidak nyata?
Kenapa sih dia harus se-metaforis itu?
Hei, aku tidak bodoh. Perbedaan itu sejelas mata orang buta yang hanya bisa melihat kegelapan..
Perasaan itu sudah tidak ada kan?
Seindah apapun kau membahasakannya, tetap saja terbaca. Aku sudah terbiasa dengan tindakan kenyataan yang kadang-kadang keterlaluan.
Aku sungguh ingin melemparmu dengan botol beling ini. Menggores wajahmu dengan belati. Menginjak-injakmu tubuhmu yang terlentang di atas hamparan karang tajam.
Sayangnya aku tidak gila.
Aku mencintaimu dengan penuh kesadaran.
Hanya saja kamu tidak lagi memberiku ruang. Ruang untuk mengembangbiakkan perasaan ini.
Bisakah kamu membantuku?
Membantuku membuat sebuah kenyataan agar aku bisa mengatakan bahwa ini semua hanya mimpi?
Atau mungkin bukan kamu orangnya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
perbedaan tertulis jelas pada kamus SARA, tetapi nyaris tak tertulis pada kamus kemanusiaan. jadilah luas..
sayangnya ini bukan tentang perbedaan. Aku mencintai perbedaan. Tanpa perbedaan, hidup adalah sebuah kesalahan.
Jadilah luas, yap! :)
menyalahkan atau membenarkan kehidupan bukan kapasitas saya..
Posting Komentar