God bless this mess.



Rabu, 25 Agustus 2010

Dan lalu. Pergi jauh.

Ada saat-saat ketika dunia tidak berputar untukmu. Juga tubuh serta seluruh organ di dalamnya.

Saat itu, kamu akan diam dan harus puas dengan hanya menjadi penonton. Pertunjukan di depanmu, entah terlalu memukau, atau terlalu menampar, semuanya memberi efek devil-spit sehingga kamu bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, dan membantuk garis wajah apapun untuk berekspresi.

Bukankah otak dan hati tidak pernah lelah? Lelah berpikir? Lelah merasa?

...

Kalau pikiran memiliki massa, mungkin saat ini aku sudah seperti truk kelebihan muatan.

Sudah beberapa hari ini kita berusaha menarik paksa segala jenis impuls yang dapat mendeteksi rasa. Diam. Dan melupakan bahasa. Kamu bersembunyi di gua milikmu. Dan aku menyepi di pantaiku.

Beberapa tanggung jawab pikiran, kini berpindah ke hati. Terakhir, aku hampir jatuh karena tersandung kursi, dan menelepon nomorku sendiri. Aku kacau dan kosong.

"Aku ke luar kota besok."
Itu adalah tema pembicaraan terakhir kita. Singkat. Tidak terlalu ekspresif. Bahkan cenderung datar seperti pidato presiden 16 Agustus 2010 lalu.

Aku masih di sini. Begitu juga kamu. Tidak ada jarak di antara kita. Hanya saja, kita sudah enggan untuk saling menyentuh.

Segalanya tampak sama. Kecuali pikiranku.

"Oh, hati-hati kalau begitu."
Percakapan yang sangat berjarak. Tidak ada yang memulai, jadi tidak akan ada yang repot-repot mengakhiri. Mungkin seperti ini lebih baik.

Aku tahu, apa yang kamu pikirkan. Atau ini hanya pikiranku saja? Aku tidak tahu. Yang jelas, aku tidak berniat memastikannya.

Diam, ataupun berbicara, kali ini tidak ada bedanya untukku. Keduanya menyakitkan.

Kamu benar. Tidak ada lagi ruang untukmu. Cinta seperti birokrasi orde lama yang harus cepat-cepat direformasi.

"Yang kamu butuhkan bukan hatiku, tetapi aku."
Cukup. Kamu tidak mengerti, bagaimana aku berusaha membuat dua dunia ini kembali berjalan beriringan. Namun, sepertinya bahasa kita tidak lagi satu.

"Yang kamu cintai hanya dirimu sendiri, bukan aku."
Ketololan macam apa lagi ini? Jadi dalam tiga tahun ini aku hanya ber-onani? Memuaskan diri sendiri?

Dunia tampak berbeda sekarang. Dunia mengenal kompromi. Seburuk apapun caranya berkompromi, aku mulai mengerti. Aku melihat sekeliling. Lalu kusadari, kepada siapa seharusnya aku bertanya.



Tiba-tiba aku merindukan logika. Sepertinya hanya dia yang bisa membuat pola dari tangkapan acak ini.

Terkadang manusia memilih. Terkadang juga, pilihan-pilihan itu terbirit dan meninggalkan manusia sendiri di sudut ruangan.

Mungkin di antara kita tidak ada jarak. Namun kebencian itu membuatku selamanya hanya mampu memandang siluet punggungmu. Tidak ada ucapan perpisahan atau pelukan terakhir, karena untukku, tidak ada kisah cinta yang berakhir. Tapi kisah komitmen dan hal pilih-memilih, selalu menemui tembok besar yang tidak berjendela dan berpintu.

Satu titik aku marah dan berusaha lari. Aku memanggil semua bala keputusasaan sebelum aku menyerah pada kelemahan dan pada akhirnya melambaikan tangan pada keputusan.

Namun aku sadar, aku memerlukan keputusan ini. Aku dan kamu memerlukannya. Supaya genangan air ini segera menemui dataran rendahnya.

Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu hanya bisa membenci. Dengan harapan benci itu pada akhirnya mampu menambal luka basahmu. Asal kamu tahu, luka itu terlalu besar untuk ditutupi hal-hal seperti kebencian.

Biarlah seperti ini. Aku diam. Kamu diam. Biarkan seseorang di mana pun dia berada yang menentukan bagaimana kisah ini berakhir. Atau memang tidak akan berakhir? Manusia sungguh tidak berkuasa atas satu pun detik hidupnya di dunia.

"I love you I’ve a drowning grip on your adoring face
I love you my responsibility has found a place
Beside you and strong warnings in the guise of gentle words
Come wave upon me from the family why not that's absurd
“You’ll take care of him, I know it, you will do a better job”
Maybe, but not what he deserves."


Perpisahan itu tidak punya lagu.



Kamis, 26 Agustus 2010. Jangan lagi datang, rindu.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Burung Gagak Putih.

Aku tidak pernah melihat burung gagak putih sebelumnya. Dia datang tanpa kepakan sayap, tanpa parau atau gemeletuk alat pengunyah. Dia datang. Bahkan dia tidak berusaha mengalihkan pandanganku untuk menegaskan keberadaannya. Entah dia lupa bahwa aku adalah manusia dua dimensi atau dia sengaja membuatku berdecak dengan siluet punggungnya saja yang menghilang di balik cahaya yang mengintip melalui celah-celah dedaunan pohon.

Tapi, "burung gagak putih" ini, benar-benar ada.

Sebuah kenyataan yang berasal dari saripati dongeng, ditambah residu-residu drama kehidupan. Jadilah sebuah ramuan yang terasa sangat "tidak dunia". Yang ternyata ada di atas meja makan dan harus kita santap bersama dengan ramuan-ramuan "dunia".

...

Pesan itu masuk begitu saja. Tanpa lampu kuning maupun feeling transition.

Ui!
Hanya dua huruf. Setelah pertemanan kita yang berlangsung sejak sepuluh lebaran monyet yang lalu dan kamu hanya mengucapkan dua alfabet, bonus satu tanda baca. Ayolah, jangan mengesankan bahwa provider zaman sekarang pelit-pelit. (ini sindiran!)

Tiba-tiba aku teringat akan proyek film impulsif kita yang sampai saat ini masih dalam tahap brainstorming. Bagaimana kita beradu pendapat tentang tema. Kamu yang membenci tema tentang cinta, dan kebalikannya, aku yang selalu menggebu-gebu untuk hal yang kamu sebut absurd itu.

Tiba-tiba aku teringat kaleng-kaleng soda, beberapa bungkus rokok, dan suara kipas angin yang tidak pernah absen dari malam-malam yang selalu saja mendapat perlakuan diskriminatif darimu. Hei, mana pernah kamu menaruh perhatian yang sama pada pagi atau siang?

Tiba-tiba aku teringat video yang aku sebut menye, sebuah video yang aku yakin hasil jerih payahmu berpikir selama berhari-hari. Untuk seorang wanita yang berpura-pura tidak menyukai pria perokok, hanya untuk menolakmu dan menutup matanya terhadap segala bentuk ketulusan konyolmu. (hei, kita sudah memasuki zaman dimana ketulusan dan kekonyolan bisa menikah dan hidup bahagia selamanya kan?)

Tubuh ini seperti menghangat. Memori selalu menghangatkan.

"Hanya ingin menyapa, teman. Bagaimana kabar hidupmu belakangan ini?"

Pertanyaan pertama darimu. Setelah bertahun-tahun neraca pertanyaan dan jawaban dalam track record pertemanan kita selalu defisit di bagianku. Aku sang pemandu sorak. Masukkan sebuah gol dan aku akan naik ke tingkat piramida paling atas - meneriakkan namamu dengan lantang.

"Beratku turun 10 kilo dari terakhir kali bertemu, ibadahku semakin rajin dari minggu ke minggu, dan sekarang aku menganggap game online bukan merupakan sesuatu yang perlu, secara keseluruhan aku bertransformasi mejadi orang yang baru. Tapi akhir-akhir ini aku mulai merindukan masa laluku, termasuk di dalamnya, kamu."

Syukurlah kamu memilih berevolusi. Tidak sia-sia Darwin dilahirkan ke dunia. Ada sejumput molekul air dingin yang datang bersama kalimat-kalimat itu. Kalimat-kalimat yang baru saja kusadari sudah lama kutunggu darimu. Hei, jangan-jangan kekosongan itu kamu penyebabnya, teman?

"Aku sedang sibuk memperbaiki diri, hati dan jasmani. Walaupun mungkin kita tak kan lagi bertemu, namamu akan selalu kusebut dalam doaku. Maaf jika selama ini aku jarang menyapamu. Aku malu. Malu akan diriku. Butuh banyak keberanian untuk kembali menyapamu. Aku harap kau mau memaafkanku."

Alisku bertemu di satu titik. Suara mesin yang menderu di balik dinding kamarku serentak terhenti. Batinku gemerisik. Pilihan kata-kata yang tidak biasa kamu pakai. Bukan setelan nuansa yang biasa memancar darimu. Huruf-huruf yang tadinya tidak ekspresif ini mendadak menjadi pemeran utama yang menang secara unanimous dalam penjurian Oscar.

Pikiranku melayang se-random-random-nya.

"Hei! Tidakkah kau sadar kalau aku mulai menarik diri di saat-saat akhir? dari kalian? darimu? menolak ajakan-ajakanmu? sengaja pulang cepat saat wisuda agar tidak berfoto denganmu? dulu, aku sempat berniat melupakanmu."

Aku merasa seperti bintang figuran di sinetron Cinta SMA. Aku merasa dirampok oleh geng Drama yang menyita seluruh pengetahuanku tentang realitas yang polos.

Aku mengingatnya, teman.

Kamu si-gendut-konyol.

Kamu si-gendut-jarang-mandi-tetapi-suka-memakai-parfum.

Kamu si-gendut-berbakat-yang-menjadi-salah-satu-dermaga-labuhan-ide-ide-anehku.

Kamu. One of my besties.

Tetapi aku tidak menemukan sederet catatan pun mengenai "si-gendut-yang-mulai-menjauh".

Tentunya, kalaupun itu pernah ada, aku akan lekas-lekas melenyapkannya. Tidak ada hal seperti itu dalam pertemanan yang sudah mencapai taraf masa bodoh, aku belum mandi, kamu pakai celana dalam side B, ya sudah lah, bukankah kita teman yang harus saling jaga rahasia?

"Aku telah cukup berlari, aku telah lelah berbohong. Dulu.. aku pernah menyukaimu, saat kamu adalah wanita sahabatku, aku mendambamu, saat aku bilang aku adalah sahabatmu, aku mengharapkanmu, aku membohongi kalian. Saat itulah aku sadar, aku tidak pantas menjadi teman kalian, aku adalah penipu. Kuharap kau mau memaafkanku."

Dunia ikut bungkam. Dia tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah dilahirkannya. Burung gagak putih ini lahir dengan status 'anak haram'.

Aku mencoba mencari titik beratku kembali. Kurasa manusia tidak hanya tidak punya kendali atas hatinya, tetapi juga tubuhnya.

Aku menata-nata ulang tabel-tabel probabilitas dengan teori seadanya. Namun burung gagak putih ini tetap bercokol dan mengolok-olok usahaku.

Hati tidak memilih. Tiba-tiba tiga kata ini masuk secara magis ke kepalaku. Sungguh, hati manusia setipis kertas minyak dan serapuh tulang bayi yang baru lahir.

Aku memilih tersenyum dan tidak menyimpulkan apa-apa. Beberapa plot tidak ingin diselesaikan. Beberapa kisah tidak ingin diakhiri.

Aku membayangkan setiap diskusi hangat dan celetukan-celetukan bodoh di antara kami yang mungkin saja dilaluinya dengan lutut gemetar atau batin yang gemerisik. Semua itu tidak nyata. Setidaknya tidak di semesta ini.

Tapi lalu aku mengerti. Bahwa manusia tidak pernah benar-benar tahu.

Aku ada di dasar sumur dan kenyataan itu ada di langit.

Seekor burung gagak putih bertengger di pundakku.



15 Agustus 2010. Di Bumi? I Guess so.