God bless this mess.



Sabtu, 14 Agustus 2010

Burung Gagak Putih.

Aku tidak pernah melihat burung gagak putih sebelumnya. Dia datang tanpa kepakan sayap, tanpa parau atau gemeletuk alat pengunyah. Dia datang. Bahkan dia tidak berusaha mengalihkan pandanganku untuk menegaskan keberadaannya. Entah dia lupa bahwa aku adalah manusia dua dimensi atau dia sengaja membuatku berdecak dengan siluet punggungnya saja yang menghilang di balik cahaya yang mengintip melalui celah-celah dedaunan pohon.

Tapi, "burung gagak putih" ini, benar-benar ada.

Sebuah kenyataan yang berasal dari saripati dongeng, ditambah residu-residu drama kehidupan. Jadilah sebuah ramuan yang terasa sangat "tidak dunia". Yang ternyata ada di atas meja makan dan harus kita santap bersama dengan ramuan-ramuan "dunia".

...

Pesan itu masuk begitu saja. Tanpa lampu kuning maupun feeling transition.

Ui!
Hanya dua huruf. Setelah pertemanan kita yang berlangsung sejak sepuluh lebaran monyet yang lalu dan kamu hanya mengucapkan dua alfabet, bonus satu tanda baca. Ayolah, jangan mengesankan bahwa provider zaman sekarang pelit-pelit. (ini sindiran!)

Tiba-tiba aku teringat akan proyek film impulsif kita yang sampai saat ini masih dalam tahap brainstorming. Bagaimana kita beradu pendapat tentang tema. Kamu yang membenci tema tentang cinta, dan kebalikannya, aku yang selalu menggebu-gebu untuk hal yang kamu sebut absurd itu.

Tiba-tiba aku teringat kaleng-kaleng soda, beberapa bungkus rokok, dan suara kipas angin yang tidak pernah absen dari malam-malam yang selalu saja mendapat perlakuan diskriminatif darimu. Hei, mana pernah kamu menaruh perhatian yang sama pada pagi atau siang?

Tiba-tiba aku teringat video yang aku sebut menye, sebuah video yang aku yakin hasil jerih payahmu berpikir selama berhari-hari. Untuk seorang wanita yang berpura-pura tidak menyukai pria perokok, hanya untuk menolakmu dan menutup matanya terhadap segala bentuk ketulusan konyolmu. (hei, kita sudah memasuki zaman dimana ketulusan dan kekonyolan bisa menikah dan hidup bahagia selamanya kan?)

Tubuh ini seperti menghangat. Memori selalu menghangatkan.

"Hanya ingin menyapa, teman. Bagaimana kabar hidupmu belakangan ini?"

Pertanyaan pertama darimu. Setelah bertahun-tahun neraca pertanyaan dan jawaban dalam track record pertemanan kita selalu defisit di bagianku. Aku sang pemandu sorak. Masukkan sebuah gol dan aku akan naik ke tingkat piramida paling atas - meneriakkan namamu dengan lantang.

"Beratku turun 10 kilo dari terakhir kali bertemu, ibadahku semakin rajin dari minggu ke minggu, dan sekarang aku menganggap game online bukan merupakan sesuatu yang perlu, secara keseluruhan aku bertransformasi mejadi orang yang baru. Tapi akhir-akhir ini aku mulai merindukan masa laluku, termasuk di dalamnya, kamu."

Syukurlah kamu memilih berevolusi. Tidak sia-sia Darwin dilahirkan ke dunia. Ada sejumput molekul air dingin yang datang bersama kalimat-kalimat itu. Kalimat-kalimat yang baru saja kusadari sudah lama kutunggu darimu. Hei, jangan-jangan kekosongan itu kamu penyebabnya, teman?

"Aku sedang sibuk memperbaiki diri, hati dan jasmani. Walaupun mungkin kita tak kan lagi bertemu, namamu akan selalu kusebut dalam doaku. Maaf jika selama ini aku jarang menyapamu. Aku malu. Malu akan diriku. Butuh banyak keberanian untuk kembali menyapamu. Aku harap kau mau memaafkanku."

Alisku bertemu di satu titik. Suara mesin yang menderu di balik dinding kamarku serentak terhenti. Batinku gemerisik. Pilihan kata-kata yang tidak biasa kamu pakai. Bukan setelan nuansa yang biasa memancar darimu. Huruf-huruf yang tadinya tidak ekspresif ini mendadak menjadi pemeran utama yang menang secara unanimous dalam penjurian Oscar.

Pikiranku melayang se-random-random-nya.

"Hei! Tidakkah kau sadar kalau aku mulai menarik diri di saat-saat akhir? dari kalian? darimu? menolak ajakan-ajakanmu? sengaja pulang cepat saat wisuda agar tidak berfoto denganmu? dulu, aku sempat berniat melupakanmu."

Aku merasa seperti bintang figuran di sinetron Cinta SMA. Aku merasa dirampok oleh geng Drama yang menyita seluruh pengetahuanku tentang realitas yang polos.

Aku mengingatnya, teman.

Kamu si-gendut-konyol.

Kamu si-gendut-jarang-mandi-tetapi-suka-memakai-parfum.

Kamu si-gendut-berbakat-yang-menjadi-salah-satu-dermaga-labuhan-ide-ide-anehku.

Kamu. One of my besties.

Tetapi aku tidak menemukan sederet catatan pun mengenai "si-gendut-yang-mulai-menjauh".

Tentunya, kalaupun itu pernah ada, aku akan lekas-lekas melenyapkannya. Tidak ada hal seperti itu dalam pertemanan yang sudah mencapai taraf masa bodoh, aku belum mandi, kamu pakai celana dalam side B, ya sudah lah, bukankah kita teman yang harus saling jaga rahasia?

"Aku telah cukup berlari, aku telah lelah berbohong. Dulu.. aku pernah menyukaimu, saat kamu adalah wanita sahabatku, aku mendambamu, saat aku bilang aku adalah sahabatmu, aku mengharapkanmu, aku membohongi kalian. Saat itulah aku sadar, aku tidak pantas menjadi teman kalian, aku adalah penipu. Kuharap kau mau memaafkanku."

Dunia ikut bungkam. Dia tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah dilahirkannya. Burung gagak putih ini lahir dengan status 'anak haram'.

Aku mencoba mencari titik beratku kembali. Kurasa manusia tidak hanya tidak punya kendali atas hatinya, tetapi juga tubuhnya.

Aku menata-nata ulang tabel-tabel probabilitas dengan teori seadanya. Namun burung gagak putih ini tetap bercokol dan mengolok-olok usahaku.

Hati tidak memilih. Tiba-tiba tiga kata ini masuk secara magis ke kepalaku. Sungguh, hati manusia setipis kertas minyak dan serapuh tulang bayi yang baru lahir.

Aku memilih tersenyum dan tidak menyimpulkan apa-apa. Beberapa plot tidak ingin diselesaikan. Beberapa kisah tidak ingin diakhiri.

Aku membayangkan setiap diskusi hangat dan celetukan-celetukan bodoh di antara kami yang mungkin saja dilaluinya dengan lutut gemetar atau batin yang gemerisik. Semua itu tidak nyata. Setidaknya tidak di semesta ini.

Tapi lalu aku mengerti. Bahwa manusia tidak pernah benar-benar tahu.

Aku ada di dasar sumur dan kenyataan itu ada di langit.

Seekor burung gagak putih bertengger di pundakku.



15 Agustus 2010. Di Bumi? I Guess so.

10 komentar:

Ersa mengatakan...

Hemm. Kasian buat si gendut-jarang-mandi tapi sering pake parfum. Tapi emang sih sering teman dekat kita suka ma kita dan sebaliknya kan??

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

iya, sa. tapi, buat gue, yang satu ini bener2 aneh dan tidak pernah terpikirkan sama sekali sama gue. :')

Angsa Hitam mengatakan...

Tahukah kamu, burung gagak putih itu mematuk-matuk ranting zaitun dan kini orang memaknainya sebagai simbol cinta dan damai.

That's a black crow disguised as a white dove for you. Some might upset for the false mask, but I think one should be grateful for the effort of love and peace it brings.

Karena otak itu untuk berpikir dan hati itu untuk merasa. Kita hanya perlu memilih kapan kita perlu untuk tahu dan kapan untuk, yah, merasa.

komentar ini semakin random...

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

Wow. Bolehkah aku menganggap komentar dari seorang Angsa Hitam di tulisan berjudul Burung Gagak Putih ini sebuah ketidaksengajaan? :)

Well, hati dan otak adalah dua dunia yang berjalan beriringan. Perasaan tidak akan berada jauh dari pikiran. Mereka satu energi. :D

tapi seringnya, manusia bahkan lupa kalau punya dua hal itu.. seringnya..

Angsa Hitam mengatakan...

Benar. memang hati dan pikiran bisa jalan bareng, nonton, dinner lalu ngabisin malam berdua membahas hal sama. Aman, nyaman, damai, sentosa, sejahtera.

Dan ada hal-hal dimana hati dan pikiran ga sinkron, sering berantem, bahkan ga mengakui satu sama lain ketika memikirkan hal lain bersama-sama. Chaos!

Seperti ketika semua pikiran dan logika berteriak,"Tidak bisa!" Suara kecil di ruang dada yang berbisik,"Mari sekali lagi kita coba."

Kita cuma perlu memilih. Bagaimana kalau tidak ada pilihan? Itu.. mulai Out of Topic.

dan saya semakin melebar...

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

couldn't agree more! :D

harus diakui. Dalam beberapa kasus, kita 'terpaksa' mengalahkan salah satunya. Tapi entah kenapa, rasa sakit selalu ada. Aku curiga, rasa sakit itu ada di dimensi lain, jauh di sana. Bukan milik hati, maupun pikiran.

Hahaha. Sepertinya itu curahan hati kamu ya, Angsa Hitam? :D

Dan tentang memilih, oh aku benci memilih. Tapi, bagiku tidak ada istilah 'tidak ada pilihan'. Setiap saat penuh dengan pilihan. Mungkin tanpa pilihan, hidup bakal lebih damai. Btw, saya ikut kamu melebar dong! :D

Anonim mengatakan...

Naga Coklat terperangah..

tak menyangka hubungan UNIK "si gendut-jarang-mandi tapi sering pake parfum" dengan "si kurus-kecil-selalu berpenampilan oke" seunik ini..

sungguh sayang jika hubungan unik (yah..menurut pandanganku cukup unik) harus berakhir untuk alasan yang sama sekali aku tak tahu :)

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

halo Naga Coklat!

hei, kisah ini belum berakhir kok :) Dan kurasa tidak ada alasan untuk mengakhirinya..

Dan, berpenampilan oke? sangat tidak 'aku'. :D

semut api mengatakan...

Blog-nya seru, bahasanya indah.
Gw awam sastra tp gw suka tulisan lo,
Trus berkreasi!

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

:)

Wah, terima kasih, semut api.
Sama, saya juga awam sastra.
Curiga, sastra bukan ilmu sebenarnya, tapi naluri. :P

Amin, mudah2an jodoh terus sama inspirasi!