God bless this mess.



Minggu, 26 Desember 2010

sekarang, kalian boleh pergi.

Ada kalanya. Ketika dua hati benar-benar kehilangan kendali. Entah berhenti untuk saling menyelami lagi, atau sudah terlalu muak untuk mengasingkan diri dan mulai mencintai lagi.

Bosan. Bosan dengan replika-replika bodoh ini. Yang mengeluarkannya lalu menelannya kembali. Kesalahan-kesalahan yang terpuruk dalam pusaran repetitif. Kampungan. Kemana perginya logika yang selama ini selalu duduk di kursi paling depan dan membawa kertas-kertas bertuliskan “pemecahan”? Paling-paling dia hanya bisa sembunyi sekarang. Tidak berani mengaku bahwa dirinya juga bagian dari repetisi membosankan ini.

Apa iya, seluruh jalan ini memang untukku?

Kalimat ini sudah lama menunggu untuk dijawab. Selama ini dia hanya bisa duduk, diam dan mengamati partikel-partikel ber-nama punggung “SEPELE” yang terus menerus didahulukan. Dia menengok ke nomor antreannya. Di sana tertulis “KALAU SEMUA HAL SEPELE SUDAH BERES”.

Seperti angin yang datang bersama hujan. Sapu menyapu perasaan ini mulai terasa keji. Datang dengan lebat lalu diam dan menghangatkan. Bagaimana bisa membuat keputusan dengan cara macam ini?

Sebentar sedih, sebentar ditenangkan.

Perasaan adalah alat ukur yang lemah. Yang dengan mudah dikondisikan. Tidak akurat. Manipulatif. Cepat sekali menguap. Seperti air yang dimasak di dataran tinggi. Dan kamu, kamu berusaha menggunakannya untuk hal-hal semacam selamanya?

Ya, bukan berarti aku mendambakan logika. Logika tak ubahnya seperti pria 22 tahun yang sudah lulus S2 dan kejeniusannya tidak perlu ditanya. Tapi siapa dia? Dia bisa nyalain kompor? Dia bisa menidurkan bayi yang sedang menangis? Dia bisa menyeberang jalan?

Aku butuh alat lain. Rasa dan logika sudah terlalu jauh tenggelam dalam perannya, sehingga lupa diri.

Aku butuh sesuatu yang naif.

Sesuatu yang tidak lagi bisa kutimbang. Sesuatu yang tidak lagi bisa kucacati. Sesuatu yang tidak lagi bisa kuukur dengan adil dan tidak adil.

Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia, seperti aku. Dan kalian.

..

Keputusan datang. Entah apa yang dia putus. Repetisi ini terus mengalir. Jangankan berhenti, jeda pun tidak ada. Kalau dalam Manajemen Operasi, “Mean Time Between Failure”-nya sudah mendekati nol.

dan aku mulai merasa, masaku sudah lewat. Aku tidak lagi dibutuhkan. Bukan lagi tugasku untuk mengubah aliran ini, memutuskannya, atau sekedar menggambar pola atasnya.