God bless this mess.



Rabu, 07 November 2012

Entahlah, tapi setidaknya

"Kamu siapa?"
Pertanyaan bodoh inilah yang mengawali segalanya. Maksud dari segalanya adalah segala yang berkaitan dengan pertanyaan bodoh itu.

Butuh beberapa hari, beberapa minggu, bahkan beberapa bulan untuk aku mengenali suhu yang memutuskan menetap di tubuhku. Sesuatu yang tampaknya hangat tapi tidak benar-benar melegakan, seperti menanti akan apa yang terjadi setelahnya, apakah panas, ataukah dingin. Beberapa upaya penentuan akan kemana nasib hangat ini menjadi satu-satunya upaya yang dapat kulakukan selain hanya melihat tanpa mencari-cari bahan pertanyaan, menonton tanpa harus berpikir kapan saatnya bertepuk tangan atau berjalan meninggalkan ruangan.

***

"Kamu serius nggak sih sama aku?"
Malam yang sempurna itu mendadak lantak karena sederet kalimat tidak tahu diri yang datang terlambat dan tidak mengetuk pintu ini. Menyadari kelantakan yang ditimbulkannya, aku hanya bisa diam, berharap seseorang melalui kamar ini, mengambil sebaris kalimat ini dari ingatan kami lantas pergi tanpa apapun lagi untuk dikatakan.

Tapi nyatanya kalimat ini muncul dengan tujuan.

"Harus ya, segalanya dikemas rapih dalam deretan kata?"
Kamu dengan sederet kalimat antimelodrama itu seperti manisan oleh-oleh dari Tunisia yang terpaksa aku telan pagi ini meskipun rasanya menjengkelkan luar biasa, bukan karena tidak enak, tapi karena lidahku sudah pekat dengan standar makanan-makanan Indonesia. Atau aku satu-satunya ratu drama yang tidak menerima penawaran akulturasi budaya?

Mungkin kamu adalah satu dari sebaris rerumputan palsu yang kini berusaha mendeklarasikan orisinalitasmu. Akan sulit untukku bahkan untuk memahami ini semua.

"Intinya bukan kata-kata. Tapi kemampuan kamu untuk menjelaskan apa maksud kamu. Kalau bukan pakai kata, pakai apa lagi?"
Biarlah dua monster bervirus ini dihadapkan langsung, barangkali akan saling menginfeksi satu dengan lainnya. Dan mutan-mutan yang lebih baik akan lahir.

Kamu tampak kesal dengan keberlebihan kata-kata ku yang mendekati konstan. Aku pun tidak bangga dengan apa yang kuteriak-teriakkan barusan. Kita seperti sutradara dan produser yang sama-sama tahu apa ujung dari cerita ini, tetapi masih saja berjibaku hanya karena perkara lighting.

"Aku sayang sama kamu. Kamu bodoh kalau nanyain itu. Kalau keseriusan, kamu bisa lihat sendiri."
Kamu dan orisinalitasmu, aku lupa. Kamu tidak pernah menyukai sesuatu yang dilumuri banyak kata, utamanya kata-kata yang tidak masuk dalam garis bawah inti kalimat. Kamu juga orang yang benci dengan janji, katamu lebih baik menjadi manusia paling dingin di dunia daripada harus membual dengan kata-kata yang belum tentu dilakukan. Sebab aksi seharusnya berbicara lebih lantang daripada kata-kata aksi itu sendiri.

Kali ini, aku diresapi setitik rasa bangga yang enggan kutunjukkan, sebab sejujurnya, aku tidak membutuhkan rasa bangga itu.

...

"Feeling loved is very important, but loving, my precious girl, that's the necessity."
Sebuah dialog dari Rebecca Buchwald kepada Beth Buchwald dalam film Adam yang diproduksi tahun 2009.

Di penghujung film, Beth menemukan sendiri bagaimana menyiasati hatinya agar perasaan itu ada dan dia tetap mampu menjalani hidupnya sehari-hari, sebab Adam, yang merupakan kekasihnya di film itu, adalah penderita Asperger's Syndromme (ASD), dimana dia tidak mampu menunjukkan perasaannya kepada orang lain, baik lewat kata-kata maupun perilaku.

I think i should be thankful of what i have now.

Beberapa titik hujan seperti mendera pipiku sekarang. Ilustrasi sebuah kedamaian yang kuperoleh hanya dengan duduk di sebelahnya seperti sekarang, memandanginya yang sedang asyik dengan video-video band indienya. Bersyukur bahwa priceless moment ini datang tidak lebih lama lagi dari sekarang.

...

Entahlah, tapi setidaknya aku merasa aku tidak sedang berusaha.