God bless this mess.



Senin, 14 Juni 2010

Tentang Seseorang

Bukan pepatah rahasia, tentang ketika kita menginginkan sesuatu. kita nyaris tidak pernah mendapatkannya. karena -disambung dengan pepatah lain- Tuhan selalu memberikan apa yang baik untuk kita. apa yang kita butuhkan. bukan apa yang kita inginkan.

keinginan dipandang sebagai sebuah ambisi yang tidak ada ujungnya. ketika kita telah mendapatkannya. kenikmatannya akan terhenti saat itu juga.

mari kita mengarahkan objek ini kepada seseorang yang -saya memilih- lebih tepat disebut 'seseorang' saja.

ini hanya sebuah cerita fiksi yang tidak perlu dipropagandakan menjadi sesuatu yang lebih.

dia datang. mengapa dipertegas? karena selama ini dia ada. tapi dia hanya di situ saja. ibarat patung tak pernah bergeming di etalase toko. aku tak pernah berusaha menyapanya ataupun melakukan interaksi apapun dengannya. sebab. ya bagiku baiknya hanya seperti itu.

segalanya dimulai dengan sebuah kata.
"Hai"
aku sangat terkejut. seseorang yang selama ini kupikir hanya pepohonan yang tak dapat kumengerti bahasanya. seseorang yang tidak pernah bergeming dalam pose abadinya dalam gambar berukuran 3R yang sering kutatap lekat-lekat.

dia menanyakan kabarku. semula kami nyaris tidak pernah berbincang. lebih kepada dia tidak pernah menyambut sapaanku. aku ingat. ada beberapa "Hai" yang pernah kulayangkan padanya. namun seperti yang aku katakan. dia membalasnya dengan bahasa angin, hujan, dan gesekan pepohonan yang sama sekali tak kumengerti.

dan perbincangan ini berlanjut. tak bisa kusembunyikan senyum yang tersungging di bibirku. aku menikmatinya. menikmati bahasanya. menikmati seluruh kata-kata yang dilayangkannya. dan seperti biasa, dengan orang yang sangat kukagumi seperti dia. aku bertingkah laku aneh. perbendaharaan kata-kataku berkurang drastis. segalanya menjadi tidak pas. tidak biasa. sama seperti ketika kita biasa berambut panjang, ketika berambut cepak, kita merasa menjadi orang lain. yang sama sekali berbeda.

tidak adil rasanya. aku tidak mengerti apapun tentangnya. dan dia bisa membuatku seperti ini.

"Suka dengerin John Mayer?"
tiba-tiba aku sangat ingin menjawab ya. aku ingin menunjukkan sebesar apa ketertarikanku dengan apa yang dikatakannya. yang disenanginya. tapi kemudian aku menjawab terkadang. dan kemudian aku menyesalinya. kurang lebih seperti itulah yang terjadi selama perbincangan ini. aku memikirkan kata-kata yang akan kukatakan padanya. namun pada akhirnya kata-kata itu tidak kukatakan.

tidak banyak yang kuketahui darinya.

kukatakan tidak terlalu banyak karena itulah satu-satunya alasanku untuk menolak pertama kali dia mengajakku bertemu.

Apa-apaan sih pria ini?
pikirku.

Begitu cepat. Begitu lambat. Semua ini kurasakan dalam satu waktu.

Namun ternyata ia tidak menyerah. ia meneleponku untuk pertama kalinya.

"Oi"
adalah kata-kata yang dipilihnya untuk menjadi kata-kata pertama yang akan kuingat sepanjang hidupku -ya setidaknya sampai kemampuanku untuk mengingat dimakan usia-
namun entah mengapa semuanya terasa sesak bagiku. aku dingin. tegang. aku sudah berusaha menutupinya dengan gelak tawa, pembicaraan ringan, namun semuanya percuma. kalau jantung bukan organ tak sadar, mungkin aku lupa menyuruhnya berdenyut selama lima menit terlama dalam hidupku ini. dan akhirnya aku memilih lebih banyak diam. karena sekali waktu aku berbicara entah wanita konyol mana yang merasuki tubuhku dan berbicara seolah-olah dia adalah aku.

aku berharap ada seseorang melemparku dengan garam seperti adegan di serial Supernatural agar ruh wanita konyol ini segera pergi dariku.

namun sampai akhir cerita pun. aku tetap di sini. dengan wanita konyol ini yang seolah menemukan rumahnya.

dan aku menyerah. rasa penasaranku memanggil-manggil seperti suara-suara yang didengar oleh penderita scizophrenia dalam film Running With Scissors. dan akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan ajakannya untuk bertemu.

ehm, aku lupa harinya. baguslah. berarti aku tidak se-pathetic itu untuk mengingat hari, tanggal, dan jam kami bertemu.

dia datang. kali ini dia benar-benar datang.

kalau bola mata bisa berubah sesuai suasana hati pemiliknya. mungkin saat ini ada bunga-bunga di mataku. aku tidak peduli ini picisan. karena sesungguhnya kau tidak merasakannya. menikmati sosoknya datang dari jarak 3 meter, 2 meter, 1 meter, dan sekarang tepat duduk di seberang tempat dudukku. sungguh gradasi yang sempurna.

semoga aku tidak salah tingkah atau bagaimana. sebab baru saja dia melayangkan senyuman terkikir sekaligus termanis yang pernah kulihat. -maksudnya yang kulihat langsung, senyum termanis masih milik McCartney-

tiga jam. sepiring nasi sapi lada hitam. segelas lemon tea. segelas orange float. lalu kami beranjak dari tempat yang kuanggap paling privat dari sederetan tempat yang ada di sini. cukup banyak yang kami bicarakan. namun kusimpulkan bahwa lebih dari 50% perbincangan tadi adalah tentangnya. satu poinnya adalah dia menceritakan mengenai kisah cintanya yang menurutnya sangat sangat klise. tapi karena dia, seseorang yang menjadi objek utama di sini, yang mengatakannya. aku tidak punya pilihan lain selain tertarik.

ya. dia adalah objek. kalau kata Mocca, "Object of My Affection"

aku mengatur segalanya seperti menolak untuk menerima bantuannya membelikan CD Endah n Rhesa untukku di toko tempatnya bekerja, pergi bersama teman-temanku agar aku punya alasan untuk menolak diantarkan pulang olehnya, agar ini menjadi pertemuan pertama dan terakhir kami.

tapi apa?

"Hei, thanks ya sudah menyempatkan diri bertemu."
kalimat ini berhasil membuatku menganggap-anggap bahwa akan ada sesuatu. pasti.

dan inilah yang membuat semuanya jadi aneh. dia bukan lagi manekin yang tidak pernah berganti pose. dia bukan lagi pria yang sanggup menjadi fantasiku. sebab kini dia nyata. dia bukan sekedar 'ada'.

dia menjadi seseorang yang kusebut sebagai seseorang yang aku mau. seseorang yang benar-benar aku inginkan. namun aku tidak berharap banyak.

semenjak dia memberikanku impuls -yang aku lupa sejak kapan-, aku mulai mengisi waktu-waktu luangku untuk mengamatinya. menganalisisnya. entah apa yang tumbuh. namun memiliki sebuah harapan akan membuat hidupmu semakin agresif dan.. berwarna. aku menikmatinya. dan belakangan aku sadar bahwa aku menikmatinya sebagai harapan. saja. tidak untuk dikenal lebih dalam. tidak untuk dirangkul tangannya. tidak untuk dielus rambutnya. hanya seseorang yang menghidupkan. itu saja sudah lebih dari cukup.

setelah pertemuan itu, kami bertemu lagi. pertama karena aku sengaja datang ke toko buku tempatnya bekerja untuk membeli sesuatu yang sebenarnya bisa kudapatkan di tempat lain. dan yang kedua. dia mengantarkan sebuah CD Trees And The Wild yang sengaja kuminta darinya.

dia tidak memulai apapun lagi. sebab aku yakin dalam hatinya semuanya berakhir sejak pertemuan pertama itu. aku sempat marah karena tidak sepatah katapun diucapkannya sejak pertemuan pertama itu.

lalu lambat laun aku lelah berlari dan menemukan sesuatu.

bahwa tidak ada yang kurang dari hidupku.

aku hanya kehilangan sesuatu yang aku mau, dan kini tidak lagi aku mau.

lalu aku menengok ke belakang. aku sudah berlari jauh.



tapi lalu aku bergumam.
"Tidak sejauh itu"

lalu dengan sisa tenagaku aku kembali. ke tempatku semula.

aku bersyukur telah kehilangan jejaknya. aku bersyukur belum sempat mengatakan padanya bahwa aku menyukainya. aku bersyukur ternyata aku masih bisa kembali. dan aku benar-benar bersyukur terhadap apa yang aku miliki saat ini.

*hei, apa kabar dengan 'seseorang' ini? mengapa dia tidak lagi menjadi objek?

siapa bilang? dia tetap objek. dia tetap pria memesona yang aku temui di sebuah keramaian yang sayang untuk dihapus dari memori. lagipula dia tidak jahat padaku. hanya satu kesalahnnya, membuatku sangat menginginkannya. sekarang dia tetap di tempatnya. dan aku kembali ke tempatku.






Senin 26 Oktober 2009.
terang habis hujan.


4 komentar:

Anonim mengatakan...

mungkin yang paling menarik dari blog ini adalah tulisan ini, sampai sejauh ini.
ada keadilan dalam menghargai kenangan dan harapan.. imho.

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

Terima kasih. Mudah2an bukan berarti yang lain buruk. Hahaha.

Tulisan terlalu impulsif untuk ditebak akan jadi seperti apa. Selama ini saya (bukan memiliki, tapi) dimiliki inspirasi, ketika menulis, benar2 tidak bisa memilih.

siapa kah kamu, dear anonym?

Anonim mengatakan...

ah ya, seperti budi darma yang tidak tau tulisannya akan berakhir menjadi cerpen, cerbung, novel, atau apalah. yang penting saat muncul inspirasi sebaiknya langsung ditulis, sebab inspirasi itu sibuk keliling dunia..hihi

saya? kita tdk berkenalan, suatu kali di homepage FB saya muncul profil kamu, iseng, saya buka, ada blog, saya pesimis dgn kualitas tulisanmu, setelah dibaca, saya berubah pikiran. saya penikmat tulisan, kadang2 menulis, tulisanmu terasa muda, punya gelora. saya harap kamu terus menulis..

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

apaa, pesimis dengan kualitas tulisan saya?? ahahahaha, saya suka ini. Saya suka yang begini!!! hehehehe