God bless this mess.



Selasa, 15 Juni 2010

MLM? Why oh Why?


Multi-Level Marketing. Bahasa Indonesianya Pemasaran Berjenjang, adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen sebagai tenaga penyalur secara langsung. Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak langsung telah membantu kelancaran distribusi.

Promotor (upline) biasanya adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline) adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan tetapi, pada beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa berubah-ubah sesuai dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu.

Komisi yang diberikan dalam pemasaran berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor akan mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas perekrutan bawahan. (sumber: wikipedia)

...


Bisnis MLM agaknya bukan lagi sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Mendapatkan uang dengan cara yang relatif instan, tanpa modal, tanpa tempat usaha, tanpa akta pendirian, bahkan tanpa pegawai. Kasarnya, cuma bawa badan, beli katalog 1.700 rupiah, dan punya teman.

Dengan format bisnis yang luar biasa mengesankan 'instan' ini, tampaknya cukup beralasan untuk membuat beberapa orang sangat antipati terhadap bisnis ini. Saya teringat sebuah dialog dalam film Quickie Express yang disutradarai oleh Dimas Djayadinigrat, ketika pemain pria yang diperankan oleh Tora Sudiro mendapati ramalan pekerjaan yang cocok untuknya adalah MLM: "Mendingan gue jadi gigolo." Dan rasa-rasanya dialog ini tidak berlebihan.

Teman-teman saya yang menunjukkan keseriusannya dengan bisnis ini mengatakan sesuatu yang membuat saya keluar dari level 'antipati'. "Bisnis ini bukan bisnis instan, perlu komitmen kuat." Bayangkan, dimana dan kapan saja kita memasarkan produk-produknya. Setiap saat kita harus membawa katalog di dalam tas kita, berpura-pura berdandan di toilet sehingga memancing orang untuk bertanya mengenai make up tool yang kita pakai. Setelah teman bicara resmi tertarik, barulah kita membeberkan 'rahasia kecantikan' kita.

Memakai produknya jelas merupakan sebuah keharusan, ya, kalau kamu tidak ingin disebut penipu, karena menawarkan sebuah produk yang bahkan kamu sendiri belum pernah memakainya bisa dikategorikan penipuan kan?

Satu lagi, tentang harga diri. Konon, yang survive dalam bisnis ini adalah mereka yang tidak memiliki hal itu. Sebab profesi apapun yang tengah digelutinya, sekejap akan runtuh dengan image baru, "Mbak-mbak oriflame" "Mbak-mbak Sophie Martin".

Bagaimana tidak, kapan pun, dimana pun katalog selalu dibawa serta, kalau-kalau bisa memperoleh downline baru selagi berdandan di toilet atau menunggu taksi. Kegiatan setiap weekend berkumpul bersama teman-teman MLM-er yang lain, saling mentraktir. Hari Minggunya ikut kelas MLM. Setiap saat kamu terobsesi akan poin-poin. Setiap bulan bergunjing tentang bonus-bonus. Saling memotivasi agar tetap konsisten. Saling mengingatkan akan mimpi-mimpi keliling dunia dan mengendarai CRV yang diperoleh dari hasil 'keringat' sendiri.

Ada sebuah opini selentingan yang menarik dari seorang teman saya yang termasuk dalam kelompok masyarakat Indonesia yang antipati terhadap bisnis ini.

"Cari duit itu susah, nggak mungkin segampang itu."

"Tapi, itu real, banyak contohnya yang berhasil, dan kita bener-bener nggak harus keluar duit buat memulainya."

"Sekarang lo bayangin, cari duit kayak gitu. Ngemis dari orang, minta-minta orang buat jadi downline lo. Bayangin kalau lo jadi konsumen akhir. Itu penipuan. Lo mau, nipu?"

Komentar cukup pedas dan lalu membuat saya memiliki argumen baru untuk menuntaskan ke-antipati-an saya yang awalnya tidak sepenuhnya beralasan. Benar, memang, bisnis ini seolah-oleh menjadikan kita pengemis-pengemis baru. Memuja-muja produk di depan orang lain, memelas meminta orang lain menjadi downline. Oke mungkin awalnya memang hanya komitmen, tapi lama kelamaan? Berhati-hatilah. Mungkin misi utama mereka adalah melumat habis kepribadian Anda dan mentransformasikannya menjadi sesuatu yang baru. Berlebihan? Mungkin iya, mungkin tidak.

Alasan saya untuk menjadi antipati hanya satu, awalnya. Dalam bisnis ini, kita tidak bisa mendapatkan sensasi berusaha, seperti ketika kita membangun bisnis dari awal, seluruh rancangan benar-benar buah dari pemikiran kita. Kita yang mendesain, kita yang mengumpulkan orang-orang yang sevisi, menganalisis pasar, meramal masa depan bisnis, dan sebagainya. Tidak hanya sebagai eksekutor yang bahkan mati-matian mengelu-elukan produk orang lain, untuk kebaikan kita sendiri. Terlalu politis. Sedangkan saya sendiri sangat mendukung bisnis yang membutuhkan segenap kreativitas yang saya miliki.

Singkatnya, saya memandang bisnis ini sama sekali tidak mendidik kita untuk menjadi enterpreneur. Dan mungkin malah mendidik menjadi freak salesman/salesgirl, dalam level parah.

Tapi apa yang terjadi di sisi pro? Mereka tetap berjaya dengan gelimangan konsistensinya. Menurut saya sama sekali tidak salah, bukankah setiap orang memilih? Hei, 4 juta rupiah per bulan itu bukan bualan, saya yakin itu, suatu saat mereka akan mendapatkannya.

Kepuasan dan uang? Perpaduan yang manis.

Dan sekali lagi, kita di sini untuk berbagi sudut pandang. Bukan untuk bergontokan menyamakan persepsi.

Tidak ada komentar: