God bless this mess.



Selasa, 29 Juni 2010

Setangkup Air Jeruk dan Perban

Seseorang pernah berkata, "Pesta harus berakhir, agar esok kita dapat berpesta lagi."


..

Matahari ceria sekali pagi itu. Semangat yang dipancarkannya membentuk senyawa yang mampu membelah diri berkali-kali. Meledak-ledak seperti reaksi fusi itu sendiri.

Dan sekarang, aku memiliki satu unsurnya.

Sistem syaraf manusia mengenal kata refleks. Sebuah reaksi spontan yang timbul tanpa ada aksi yang berarti. Sebuah repetisi yang tak terhindarkan, juga tak diharapkan.

Kira-kira seperti itulah yang terjadi padaku ketika itu. Pergi tanpa memori, dan tak acuh pada masa depan. Bukankah masa lalu dan masa depan cuma tipuan waktu? Akal-akalan tukang jam? Bagiku, waktu tidak lebih dari sekedar satuan.

Dia sudah muncul di hadapanku sekarang. Dengan seutas senyum simpul yang entah sejak kapan aku lupa bahwa ada jenis senyuman seperti itu. Dengan tas punggung, celana jins pendek, dan alas kaki paling nyaman sedunia, -yah, setidaknya menurut hasil survei, oh lagi-lagi, orang dewasa selalu mengandalkan angka-angka-, crocs.

Aku dan dia. Untuk hari ini saja.

Kami memilih pantai. Ya, walaupun pantai di Jakarta memang tidak layak disebut pantai. Karena selain udaranya tidak cocok dihirup orang yang sedang patah hati (debu, sampah, las karbit), kawasan yang masih saja jumawa menyebut dirinya pantai ini sangat tidak masuk akal, bayangkan, bagaimana bisa 'genangan air' dalam kondisi bersampah dijadikan sebagai tempat berenang anak-anak, dan level ketidakmasukakalannya sudah mencapai: mereka tidak sadar, tidak peduli, dan senang.

Bukankah mereka anak-anak?

Ah, sepertinya aku harus berduka karena 'kedewasaan' ini mulai tidak asyik.

Ketika kami datang, pantai itu tidak terlalu ramai. Atau lebih tepatnya, kami mengunjungi tempat-tempat yang memang tidak terlalu diminati banyak orang.

Banyak hal yang kami temui di sana. Pantai tidak masuk akal ini sekarang bertransformasi menjadi pantai memori.







Aku bersikeras ingin mematri namaku dan namanya di permukaan kayu itu. Dengan kapur semut, tipe-x, sari ketek, atau apapun, asal tidak hilang begitu saja ketika hujan turun. Sayang sekali, terlalu norak katanya. Benar-benar menyedihkan menjadi orang dewasa, lupa betapa asyiknya menuliskan "Dasar Kampret" di kaca mobil berdebu orang tidak dikenal. Baiklah, aku anggap kamu benar-benar lupa dan memang sebaiknya aku mengambil inisiatif seperti ini saja.







Cukup aku dan dia saja yang tau. (kenapa jadi terasa seperti usai memproduksi video porno?)

Dan tentunya, tidak akan 'terhapus' karena pemolesan ulang, atau pengecatan.

Harus aku akui, tempat ini tidak buruk. Aku bisa bersepeda mengelilingi pantai, dengan sedikit gaya cross-road yang dibuat-buat. Bagian dari pantai yang cukup sepi. Dan kami bersepeda berdua saja. Aku di depan dan dia di belakangku, memastikan aku tidak hilang, katanya.

Bisakah kamu membayangkan selelah apa sel-sel neuro-transmitter ku saat ini karena terlalu sering memproduksi hormon kebahagiaan?

Kami terus saja berjalan, seolah jalan ini akan terus ada untuk mengakomodasi keinginan kami untuk terus bersama. Melankolis? Itu lagu tema kehidupanku.

Sesekali kami berpandangan. Lagi-lagi gerakan refleks. Ada sebuah misi yang kami lupakan hari ini. Misi yang tidak dapat diidentifikasi oleh gerakan refleks sekalipun.

Kami merebahkan diri di atas pasir. Dua sepeda sewaan tadi pun sukses kembali menjadi kameo.

Sejenak pikiranku melayang entah kemana. Sepertinya menemui pikirannya. Entah di semesta yang mana, yang jelas pikiran kami sibuk berbincang. Sampai aku membuka mata, dan bertanya.

"Jam berapa ini?"

Mendadak sendu. Gerakan refleks itu sudah kabur entah kemana. Hanya ada aku dan setumpuk memori yang harus kusortir satu persatu agar tidak semakin menumpuk dan membuatku semakin sulit beranjak. Waktu. Mendadak kamu sangat berkuasa sekali. Padahal baru saja aku mencecarmu seperti anak ayam yang terlahir cacat dan tidak bisa berkokok.

Penyortiran selesai. Tapi aku tidak dapat menemukan dimana memori seharian ini. Hormon-hormon kebahagiaan itu pasti sudah ditelan ombak atau terbang bersama kotoran dan sampah.

Seperti menulis di atas pasir di pinggir pantai. Ombak datang, segalanya lenyap. Tanpa bekas.

Seperti tak pernah mengenal gradasi, rasa sakit ini menghujani hati. Seperti petir yang muncul tanpa gemuruh dan kilatan cahaya.

Dan hujan.

Kesia-siaan kata-kata seperti "Sabar, perpisahaan itu sama pastinya dengan perjumpaan" dan "Dia pergi untuk kembali, kok" terlihat sangat jelas kali ini. Rasanya seperti luka basah yang dibuka perbannya dan disiram air jeruk panas.

Sayangnya luka ini tidak berwujud.

Tetapi sangat terasa.

Setiap orang memujanya. Seperti badai yang datang sekali-sekali, berwajah murka, dan pulang meninggalkan luka. Manusia tidak pernah punya kendali atas hatinya. Hikmah itu, terasa sangat dibuat-buat.

Hei, aku akan bertemu dengannya lagi, kok. Dan bersamaan dengan itu, pasti kami akan berpisah, lagi.

Aku tidak akan mengeluh lagi kali ini. Aku akan mempersiapkan hatiku, walaupun nantinya akan kembali dicederai. Sungguh, kini aku mengerti. Hidup hanya setangkup air jeruk dan perban.










29 Juni 2010. Ketika tanganku tidak lagi terbiasa dengan meja dan kursi.

10 komentar:

devano mengatakan...

Sebenarnya hanya alasan aku ada dibelakangmu untuk memastikan kau tidak tertinggal.. Aku hanya ingin memandangmu lekat lekat dan memastikan dirimu tidak mengetahui bahwa aku menanhis..
Memang pesta itu harus berakhir, tapi apa salahnya pesta ini lebih lama sedikit saja..

Tapi memang aku harus pergi dan kupastikan akan kubangun istanamu.. Demi waktu yang hanya fatamorgana dan demi mimpi yang cuma halusinasi demi kamu yang nyata dan demi kamu yang disana.. Mari kita bernafas agar pesta selanjutnya kita tidak mati ataupun mabuk oleh anggur yang kita minum di pesta kemarin

Anonim mengatakan...

kadang kenangan itu berlebihan.. *italo calvino*
ehm..i dont know, suddenly it came while i's reading this note.

mungkin hidup ini hnya setangkup air jeruk dan perban, mgkin yg kita lakukan skr hnya memungut keping2 masa lalu, mgkin masa dpn hnya iming2 agar kita tdk segera bunuh diri, dan waktu hadir utk mengajari kita mengenai sabar, atau mungkin dia hanya muslihat kehidupan?

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

pap : demi kamu yang nyata, demi kamu yang disana.

Hei aku suka kalimat ini. Ketahuilah, menunggu bagiku, sekarang, adalah bagian dari meraih mimpi.

Dan satu lagi, efek anggur itu sebenarnya untuk membiusku, karena luka ini tak terperi sakitnya. Tapi sepertinya efeknya tidak bertahan lama. :(

anonim : oke, aku menyerah untuk bertanya-tanya siapa kamu. kupikir itu tidak terlalu penting :D

waktu cuma muslihat. Piranti pembelajaran, bagi yang belajar. Hidup adalah.. ah.. aku benci bicara tentang hidup. Satu waktu hidup bisa berupa semangkuk buah stroberi yang dipetik secara acak dari kebun, satu waktu hidup hanya menunggu tabung pasir, atau, hanya alasan karena kita tidak siap kehilangan nyawa. Entahlah, hidup ini apa.

Fachmi mengatakan...

wah.. keren tulisannya... agak2 sarkastik gmna gitu.. berbakat jdi penulis del..
cuma layout nya terkesan suram
ok langsung di bookmark..

asoyganteng mengatakan...

dan akhirnya diriku pun kembali ganteng.... titik

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

fachmi: hehehe, pintar kamu. Gaya menulisku memang agak sarkas :p

Insya Alloh bakal nulis terus kalo otaknya mampu :D

Terima kasih bookmarknya, layoutnya.. err, lebih kepada aku gaptek ya :p


asoyganteng : lo ganteng, cuma...... banyak cumanya deh! Haha.

devano mengatakan...

Jangan sampai kau terbius anggur itu
Agar kau dan aku merasakan nikmatnya kerinduan ini
Kerinduan yang menyakitkan
Kerinduan yang tanpa asa
Tapi aku tahu kerinduan ini membakar nafas kita
Nafas yang membuat kita menghujat angkara
Tanpa pernah tahu siapa yang benar siapa yang salah

Aku yang di sini adalah senyawa kimia dari keringat dan kerinduan
Kerinduan yang membuncah dan bukan mengada ada
Hatiku menantikan tiupan angin kecil
Kau selalu tahu aku ini badai
Timbul menghancurkan hilang meninggalkan lara
Tapi aku bahagia karena kau menanti
Aku menghancurkan kejumawaan dunia

Penuh lara aku memandangmu dari belahan pandangan bulan yang lain
Tapi penuh tawa aku menyaksikan kita bisa berjuang
Irisan bawang dan derai air mata yang tak kunjung hilang
Sandi asap dan rindu yang tak kunjung lenyap
Deru nadi dan semangatku yang tak kunjung mati

Aku pergi kau menanti
Kutinggal nafasku kubawa hatimu
Mataku di hatiku
Nafasku di hatiku
Genggam dan hancurkan
Biar semua melebur menjadi satu faktor penciptaan
Rangkain istana kita
Dan mimpi kita

-papipop who never like pop!!

Anonim mengatakan...

ahh kalian bikin gw iri aja adel, vano !!!!
hwahahaha

bagian sepedaan berdua itu persis pernah gw lakuin, persis seperti itu hehe :p

hanya seseorang di bumi ini mengatakan...

setangkup air jeruk dan perban? hmm.. bukankah di sana juga ada teh anget atau jahe anget dan badan yang kedinginan? bukankah di sana ada ac dan tetumbuhan di bawah teriknya mentari?
Dunia ini gak cuma setangkup air jeruk dan perban, hai turbulensi.
"Manusia tidak pernah punya kendali atas hatinya." Aku suka bagian ini.
Waktu terus berjalan, ia tidak terlihat, justru kita yang semakin tua dan keriput dan akhirnya merebahkan diri di dalam tanah. Hff. udah lama gak berkata-kata. Intinya, kadang-kadang kamu merasa hidup ini hanya berkubang air jeruk sementara seluruh tubuhmu dibungkus perban. Namun kau gak pernah ingat, bukankah... *kembali ke atas*.

Banyak hal di sekelilingmu. Banyak objek di sekitarmu. Banyak fotokopi-fotokopi materi berserakan di warung fotokopi, di toko buku bekas, di penjual gorengan, bahkan yang sudah dihancurkan di dalam shredder. Hff...kadang orang terlalu mudah membuang kertas fotokopinya, padahal di sana ada sesuatu, sesuatu yang bisa mengobati lukamu, sesuatu yang bisa membuka perbanmu, sesuatu yang bisa meminum air jerukmu agar kau tak lagi tenggelam di dalamnya... Sayang sesuatu itu hanya seperti onggokan buku-buku kunomu, yang kau rasakan tak lagi relevan dengan kehidupanmu kini.
Hff, komen gak jelas. Btw, sekali lagi aku suka bagian "Manusia tidak pernah punya kendali atas hatinya." Terima kasih sudah mengingatkanku.

Anonim mengatakan...

ahhaaaa..
aku tau siapa "hanya seseorang di bumi ini"..
wkwkwkwkw..
hai kurus..