Saya adalah saya yang saya pikir adalah saya. sedangkan saya
selalu bingung, kenapa saya hanya bisa tahu saya yang saya pikir adalah saya.
Padahal saya juga ingin tahu, siapa seharusnya saya, atau siapa sebenarnya saya.
Saya wanita, usia saya *beep* tahun, dan sekarang sudah
menjelang *beep* tahun. Di Inggris, menginjak usia di atas *beep* tahun seperti ini
semuanya tampak serba berbeda, yah, setidaknya berbeda di mata penyedia jasa
transportasi kereta api ketika saya melewati spot-spot inspeksi dan juga di
mata ibu atau bapak penjaga mesin kas di beberapa department store ketika saya menyodorkan sebotol Vodka, Baccardi
atau teman-teman seper-containing alcohol-annya, selebihnya mungkin sama saja karena tidak
ada perubahan fisik yang signifikan. Saya sendiri, terlepas dari keberadaan
saya, asal saya, atau hal-hal lainnya yang bisa dipastikan tidak dapat saya
ubah, menganggap fenomena perubahan umur yang tidak bisa dianulir kehadirannya ini
adalah sesuatu yang sangat besar. Well, ini juga terlepas dari kebiasaan saya
menghubung-hubungkan cara orang memulai percakapan ketika dia sedang
membutuhkan bantuan saya dan kepribadiannya, juga terlepas dari bertahannya urgensi
di kepala saya untuk cermat memilih segala sesuatu yang mampu memberikan
keuntungan saya secara estetis, perseptif, dan ekonomis. Untuk yang tidak
paham, saya ini overthinking, mbak,
mas.
Awalnya, saya pikir saya hanya mengada-adakan topik ini,
layaknya orang-orang yang juga sama overthinking-nya
seperti saya. Karena sudah lama otak saya tidak berkolaborasi dengan hati saya
dan jari-jari tangan saya dalam waktu bersamaan seperti sekarang. Well, saya
anggap, 200 lebih kata yang sudah tertulis hingga saat ini bukan sesuatu yang
bisa diada-adakan. Saya simpulkan demikian karena selama berbulan-bulan ini,
saya sudah mencobanya, mencoba untuk mengada-adakan topik, dengan landasan
pemikiran “masa sih, dari sekian banyak momentum yang bersilangan, berbentur
dan berhancuran, bersatu dan bersenggamakan, tidak ada yang mampu membuat
jari-jari saya luluh untuk membuka kembali saluran ‘eustachius’nya mental saya?”,
dan hasilnya? Nil. Tidak satupun tulisan non-akademis bisa saya hasilkan.
Padahal, sebelumnya, saya adalah salah satu penggemar suatu penerimaan pikiran
dimana kita akan lebih mampu bekerja sama dengan jari-jari tangan kita ketika
kita sedang muram, terasing, tidak dalam putaran utama, atau apapun istilahnya,
yang mana saya sering mengalaminya. Bagi kalian yang
tersesat membaca ini, saya sedang menjelaskan bahwa tulisan kali ini dipantik
dari kegelisahan yang saya anggap lebih dalam dibandingkan kegelisahan lainnya
yang tidak juga dapat dikatakan kegelisahan minor. Lagi pula dimana ada
kegelisahan minor?
Saya ingat, pernah membaca di buku puisi, milik bapak GM kalau
tidak salah. Dalam buku itu, di bagian pembukanya, dikatakan di salah satu
baitnya bahwa ‘kita dapat dikalahkan oleh rambut gondrong dan satu dua biji
cerpen’. Seperseribu detik tidak sampai, saya mencerna kalimat itu, dan saya
langsung tersenyum bahagia, seperti sedang ditunjukkan sesuatu, diarahkan ke
sesuatu pemahaman kecil yang agaknya dampaknya dapat saja besar untuk saya menuju
pemahaman-pemahaman lainnya. Jadi apa? Kalian pun bisa memiliki serapan yang
berbeda terhadap penggalan kalimat itu, yang juga saya pisahkan dari
kalimat-kalimat lainnya, yah ibarat orang yang sedang mencari kesalahan, dan
pembenaran, instead of kebenaran. Tapi
apa boleh buat, toh kita berdiri di
atas kaki kita sekarang juga karena pembenaran-pembenaran kecil yang sistematis sehingga kita dapat bermetamorfosis
menjadi suatu karakter yang nyaman kita tinggali hingga saat ini. Tentunya
dengan tidak menggarisbawahi penggunaan kata nyaman itu sendiri. Jadi kembali
lagi, menurut saya, penggalan kalimat itu berelaborasi dengan berhektar-hektar
aspek kehidupan, yang tentunya diproses secara personal sebagai manusia yang
penuh justifikasi, penilaian, dan penafsiran-penafsiran bias seperti dalam
pelajaran behavioural finance –maaf untuk analogi cepat dan tidak universal ini, dan menghasilkan arti sebagai sebuah rasa
iri yang tidak terduga besarnya. Iri? Ya, iri, bukan iri seperti ketika iri
dengan tetangga sebelah yang membeli kulkas baru yang nyata-nyata merupakan
hasil dari korupsi dana perjalanan dinas, tapi iri yang sungguhan. Yang
dimiliki orang-orang yang aliran perkembangan psikisnya tidak bisa dibendung,
yang dalam satu titik bisa bersikap agreeable
terhadap artikel Guardian dan sejenisnya tentang “10 kegiatan yang dilakukan
oleh orang-orang sukses di pagi hari”, memborong busana dengan berbagai
potongan di musim panas, mengadu argumen tentang paham Agnostik yang kontras
dengan agama pada misionaris di jalan-jalan umum, dan di sisi lain bisa
menerjemahkan siratan luka sejarah yang amat dalam di sebuah lukisan amatir
karya seniman ‘rendahan’ yang belum populer dan ‘reviewnya masih sedikit’. Iri
yang saya artikan sebagai, ‘luar biasa megahnya karya ini, saya kalah, saya iri
terhadap hubungan karya ini dengan penciptanya’. Seperti itu.
Jadi, kembali dengan paragraf awal. Apa yang sebenarnya saya
pikirkan tentang diri saya? Saya rasa, semua orang pernah minimal sekali,
menanyakan kepada dirinya, apakah saya benar-benar saya yang saya pikir adalah
saya? Saya, lahir dari keluarga baik-baik, melaksanakan wajib belajar dua belas
tahun (versi setelah bapak Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia),
melanjutkan pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri untuk memperoleh ijazah
strata satu sebagaimana orang-orang normal lainnya, masuk kerja dan memperoleh penghasilan
tetap per bulan, dan sekarang merebut kesempatan untuk meraih ijazah strata dua
di negeri yang lebih jauh dari China sebagaimana orang-orang ambisius lainnya. Sudah,
tidak perlu ada yang dibahas kan dengan cerita hidup lurus-lurus saja begini?
Lantas, sudut pandang mana yang membuat saya ngotot ingin
membahas diri saya? Sebentar, hati-hati konten bragging yang tinggi setelah ini. Saya masih muda (ck!ck!ck!), seumur hidup saya, saya selalu sekolah di sekolah-sekolah
favorit (yang terdekat dengan rumah tentunya, karena zaman saya dahulu belum
ada internet dan pengetahuan saya sedikit tentang skema-skema pembiayaan dan
saya sendiri tidak berada dalam keluarga kaya raya), meraih prestasi akademis
yang selalu berada dalam level pengecualian dari rata-rata sehingga di akhir
berhasil bekerja di tempat yang sangat menempa dan prestijius di antara
jenisnya, sanggup memperoleh apresiasi tinggi dari berbagai kolega yang bekerja
dengan saya dalam seluruh tiga ratus enam puluh derajat penilaian, dan
sekarang, menikmati udara segar dan waktu-waktu yang mampu diluangkan untuk hal
lain selain mencaci fasilitas dan pelayanan pemerintah yaitu kuliah di Inggris
raya dengan kantong kas penuh hasil dukungan dari pemerintah Inggris bersama 500-ish orang
luar biasa lainnya, yang bisa jadi benar-benar luar biasa.
Tapi, harus saya akui, selain ’10-minute meeting’, ‘kesuksesan
itu dilihat dari bagaimana kita memandangnya’ juga ada dalam daftar hal-hal
yang saya anggap awalnya adalah sampah namun sekarang saya yakini sepenuh hati
kebenarannya. Saya lalu menemukan borok-borok mental yang selama ini saya
anulir karena saya bahagia –yah, meskipun dalam daftar saya ‘happiness is only a state of mind’ juga
masuk. Borok-borok itu saya identifikasi dan saya kupas menjadi beberapa
bagian, ada yang borok yang mengarah kepada ‘sebenarnya ini bukan borok, tapi
tanda lahir’, atau borok yang kalau dirawat akan benar-benar membawa perbaikan
untuk kulit mental kita. Pardon my
analogy, but thats the way i see it. Borok ini punya wujud-wujud kasat
mata, seperti pertanyaan kenapa saya harus memilih masuk ke sekolah-sekolah pilihan orang tua saya (walaupun saya punya jawabannya: karena saya lahir di
Asia dimana orang tua menanamkan pada anak-anaknya konsep yang semacam bertolak belakang dengan orang tua-orang tua di Eropa yang menanamkan pada anak-anaknya
bahwa mereka adalah manusia biasa yang harus berjuang sendiri untuk meniti apa
yang mereka inginkan dan bagaimana mereka berjalan ke arahnya -yang bermuara ke hal-hal semacam cari uang sendiri di usia belia-, sehingga keputusan saya
adalah sebagian besar merupakan keputusan orang tua saya, serta karena orang tua saya
lahir duluan sehingga pikiran logis saya menuntun saya untuk percaya bahwa mereka tahu hal-hal yang belum saya ketahui,
terlebih di tengah era globalisasi masih bayi dimana internet belum benar-benar beresensi 'membuka'). Kedua, pertanyaan
kenapa sampai ketika internet mulai ada dan saya mengenal ekstrakurikuler
seperti film, jurnalistik, basket, tari kontemporer, cheerleading, drum, piano,
yang semuanya saya cintai dan saya bisa dibilang baik di dalamnya, saya masih menganggap
bahwa ‘saya harus masuk yang paling favorit dan yang paling menantang’ juga?
Dan lalu, setelah saya ditempatkan bekerja, dimana saya punya akses luar biasa
dengan dunia luar, mengenal bermacam-macam orang dengan kisahnya dan membaca
banyak buku saya nyaman dengan paham tradisional (ya, karena papa saya pun
menganutnya, ini hanya bentuk fisik sang umur paham saja) ‘mencintai apa yang
saya kerjakan’ dan ‘ah, rumput tetangga selalu lebih hijau’, dan kenapa sampai saya
tiba di 3 tahun lebih karir saya, saya malah menganggap, ‘saya sudah jauh
sekali belajar tentang hal ini, bahkan saya sudah punya karir, jadi sebaiknya
saya tetap maju dan memantapkan bidang karir saya di sini, dan menekuninya’?
In the other hand,
tidak saya pungkiri, fakta bahwa saya selalu berjodoh dengan kesempatan adalah
sesuatu yang patut saya syukuri hingga tiada tara, karena saya sampai di sini
dan bisa menulis ini semua. Semua yang saya jalani berkontribusi, baik yang
baik maupun yang tidak, untuk jalan hidup saya. And this is no "how would it be if i become...” kind of
article. Disini, saya hanya mengajak kalian untuk dibawa ke drama wanita
bermental ambisius ketika memasuki usia *beep*, dan merasakan kegelisahan
yang luas sehingga dirinya bahkan tidak kuat lagi menghadapi si rambut gondrong
dan satu dua biji cerpen. Siapa tahu, kalian sampai pada satu titik mental seperti
saya sekarang dimana kalian merasa: bukan saya tidak puas dengan apa yang saya
kerjakan, bukan saya mengutuki kurangnya nikmat atau apapun yang disebut orang-orang
yang sederhana yang berpegang pada satu hal yang mereka yakini dari awal hingga akhir dan isi kepalanya tidak serumit para penganut paham Agnostik, namun saya benar-benar tidak suka konsep membuang-buang waktu, dan saya tidak bisa meramu pikiran yang sederhana (kalau hidup sederhana, bisa!) untuk membuat semuanya, mungkin, akan lebih mudah untuk mengerucut seperti mengerucut kepada melakukan hal yang baik dan bertujuan untuk investasi kehidupan setelah mati, serta bermanfaat
untuk orang lain. Dengan demikian semua hal akan tampak seperti hal yang orang bilang mulia, sebagaimana kita menjalaninya, dengan ikhlas (?), dan tanpa ambisi bertutup konsiderasi terhadap ketidakpuasan hati yang terlalu berbelit. Saya, sebagai kontrasnya, adalah seorang yang sangat individualis (alias orang yang sulit sekali berpikir bahwa dirinya hanya bagian dari suatu kelompok, kawanan, atau kerumunan, dan selamanya akan menjadi bagian yang mengutuhkan sesuatu yang lain, dan instead, berpikir bahwa bermain dengan kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai level maksimal kemerdekaan pribadi, ketenangan batin, dan hal-hal manusiawi lainnya adalah lebih utama) selalu
menebak-nebak, mengira-ngira (tanpa memedulikan peyorasi kata menebak dan
mengira itu sendiri), apa seharusnya saya, apakah ini gundah malam yang sama dengan yang lainnya, atau sebuah sinyal yang
dikirim oleh sebuah peran yang sudah lama menunggu karena kita sibuk
menghabiskan waktu dengan peran lainnya. Apakah kejanggalan yang saya rasakan
dalam menghadapi teman-teman yang menerbitkan buku, menjadi desainer perintis
yang mengikuti berbagai fashion show -yang belum seakbar yang kita anggap akbar secara
umum tetapi bisa ditebak betapa mengharukannya berada di sana- meskipun belum
mendapat gelar desainer dari universitas manapun, memenangkan kompetisi bisnis
dan siap ekspansi ke Negara-negara lain untuk bisnisnya, menyumbang peran profesional
dalam sebuah film independen, memotret untuk majalah Vogue, memilih melanjutkan
S3 bukan karena pintar tetapi mereka memiliki misi strategis seperti mereplika
embrio manusia untuk bahan pembuat obat segala penyakit yang berfungsi sebagai
regenerator tubuh manusia, bahkan kepada mereka yang memilih meninggalkan
pekerjaannya demi hidup dengan irama yang lebih teratur dengan fokus pada suami
dan anak-anaknya, atau bahkan yang lebih ‘bahkan’ lagi, saya insecure melihat Bapak Joko Widodo
berpidato dalam debat capres. Rasa iri dan terusik itu mahal, dan jarang
terjadi. Saya ingat, papa saya pernah bilang bahwa dokter, irinya dengan
dokter, dan tukang becak irinya dengan tukang becak, yang saya lalu artikan
juga sebagai ‘how you see something is a
true reflection of how you see yourself, it can never be something else’.
Saya merinding dan tidak berhenti dalam menulis artikel ini,
karena energi iri itu begitu kuat, begitu tidak mungkin salah sasaran, dan saya
sudah mulai tidak sabar untuk mulai mendokumentasikan pertarungan antara semua
aspek –perasaan, pengalaman, yang telah dialami si gadis yang menua seperti manusia lainnya ini
dengan studi empiris yang dilakukan oleh hatinya sebagai akibat dari penggunaan
metode sampling POV yang berbeda.
Saya suka quote dan saya tiba-tiba ingat sebuah quote dari
teman saya. “I am always happy for
people, not for what they do, neither for how important we think things that they
do, but for they are happy in doing it, and for all her/his life converges to this
one happy curve.” I guess that is so true, my dear.
Saya bukan Alan Greenspan, tetapi saya selalu
lebih senang mengajukan pertanyaan ketimbang pernyataan dalam konteks bicara
kepada publik, dan pertanyaan itu biasanya saya juga tidak bisa menjawabnya. Dan
tugas kalian untuk mengolah ini untuk kebutuhan kalian sendiri, sebab kita
selalu bertanggung jawab akan apa yang kita ketahui.
That’s why people
write things.
6 komentar:
Kita dilahirkan tanpa kita tahu dimana, kapan dan oleh siapa kita dilahirkan.
Kita dibesarkan oleh pengalaman dan segudang pengetahuan yang kita dapat dalam perjalanan waktu.
Manusia manusia besar karena meninggalkan sesuatu bagi peradaban.
Manusia menjadi manusia seutuhnya bila manusia lain menganggapnya sebagai manusia. Dan hal tersebut menuntut interaksi baik langsung atau tidak langsung. Dengan apa yang kita miliki sekarang, apa yang bisa kita lakukan untuk peradaban ? Untuk kehidupan ? Untuk manusia lain ?
Sudahkah kita memberi arti dan menorehkan sejarah bagi manusia lain.
Karena hidup tidak bukan hanya membuang waktu pun juga bukan untuk mengasah diri. Karena hidup adalah memperjuangkan sesuatu, hal terkecil sekalipun.
Terima kasih telah menilis di lembar ini lagi, lama aku menunggu guratan tajam makna khas dirimu.
Meremehkanmu karena lahir di pinggiran kota besar sama bodohnya dengan ketika meremehkan apa yang bisa dilakukan seorang sekretaris.
Karena aku yakin seyakin yakinnya bahwa kamu akan dapat mewarnai peradaban dan kehidupan, terlepas dari skala jangkauan yg akan terjadi.
Terima kasih untuk malam panjang di Orchard Road ketika kita menanti pagi.
Semoga kamu masih mengingat diriku, yang senantiasa berusaha hadir menyapa.
Kita dilahirkan tanpa kita tahu dimana, kapan dan oleh siapa kita dilahirkan.
Kita dibesarkan oleh pengalaman dan segudang pengetahuan yang kita dapat dalam perjalanan waktu.
Manusia manusia besar karena meninggalkan sesuatu bagi peradaban.
Manusia menjadi manusia seutuhnya bila manusia lain menganggapnya sebagai manusia. Dan hal tersebut menuntut interaksi baik langsung atau tidak langsung. Dengan apa yang kita miliki sekarang, apa yang bisa kita lakukan untuk peradaban ? Untuk kehidupan ? Untuk manusia lain ?
Sudahkah kita memberi arti dan menorehkan sejarah bagi manusia lain.
Karena hidup tidak bukan hanya membuang waktu pun juga bukan untuk mengasah diri. Karena hidup adalah memperjuangkan sesuatu, hal terkecil sekalipun.
Terima kasih telah menilis di lembar ini lagi, lama aku menunggu guratan tajam makna khas dirimu.
Meremehkanmu karena lahir di pinggiran kota besar sama bodohnya dengan ketika meremehkan apa yang bisa dilakukan seorang sekretaris.
Karena aku yakin seyakin yakinnya bahwa kamu akan dapat mewarnai peradaban dan kehidupan, terlepas dari skala jangkauan yg akan terjadi.
Terima kasih untuk malam panjang di Orchard Road ketika kita menanti pagi.
Semoga kamu masih mengingat diriku, yang senantiasa berusaha hadir menyapa.
*peluk adeeL.... tulisan terbaik dan terjujur dari seorang adel. inggris smakin mendewasakan yah.
bnyk yg iri karna adel bla bla bla, tp klo gw ngeliat adel itu bawaannya malah ketularan happy dan bersemangat. bukan bersemangat untuk meraih hal yang sama seperti beasiswa dan semacamnya, tp kita punya hal-hal yang perlu diselesaikan sendiri-sendiri bukan begitu?
take care dear... happy twenty something dan berbahagialah
-gege-
banyak manusia bertanya2 apakah arti hidup ini? siapakah saya?
menurut saya, manusia itu mahluk yang aneh (termasuk saya juga, hehehehe...) yang suka mendramatisir suatu kondisi menurut logika dan alam pikirnya masing2.
padahal kalau mau jujur, ada atau tidak ada nya manusia tidak berarti apapun bagi alam semesta.
bila diibaratkan sebuah pantai nan indah, manusia itu adalah sebutir pasir, dan alam semesta adalah sisanya.
maka dari itu, mulai sekarang berhentilah bertanya2 ttg arti hidup dan mulailah menikmati hidupmu.
methinks orang ini bukan wanita urban pada umumnya. terlalu spesial. terlalu sophisticated. wondering apa tipsnya.
cheers. aku baru baca tulisan yang ini sampai selesai (lupa kenapa dulu nggak selesai hahaha). aku ga bisa ngomong apa-apa kecuali... ayok del minum anggur cap orang tua. on me :D
Posting Komentar