Bukankah kita tidak akan pernah tahu? Sungguh, manusia hanya bisa berharap. Berharap bahwa apa yang dialaminya hanya sekedar blunder masa depan atau kicauan hati yang akan berlalu nanti.
Menghakimi sudah pasti. Dan kejadian-kejadian ini tidak lagi netral. Manusia melukiskannya dengan warna-warna mereka. Seperti halnya aku. Seperti halnya kamu. Menulis hitam. Menulis putih.
Tapi siapa yang tahu? Bahwa awan akan tetap kelabu?
..
Malam itu udara enggan bergesekan. Lampu-lampu berpendar datar. Semacam tidak lagi mengenal masa dan memilih tenggelam dalam momentum.
"Aku akan membencinya hingga matahari dan bumi merapat."
Mendadak segalanya menjadi drama. Dingin ini tidak pernah sama lagi.
Ah. Mungkin benar bahwa kebencian tidak pernah ditakdirkan sendiri.
Seperti manusia yang tidak bosan dengan pengulangan sendu, aku membicarakannya lagi. Terus menyibukkan hati dengan hipotesis-hipotesis alternatif, tanpa tahu apa yang akan kuuji. Persis seperti nikotin yang melalui paru-parumu. Tenang, lalu menyisakan kuning.
"Sepertinya membenci sangat menyelesaikan masalah ya. Apa kabar subtitusi? Positivitas? Sepertinya hal-hal semacam itu tidak lagi menarik bagimu."
Kata-kata ini seperti datang dari zaman Abbey Road masih seperti jalanan lain, sebelum McCartney dan kawan-kawan berjalan menyusuri zebra cross-nya. Usang dan sebaiknya dibuang.
Aku memandang takjub pada parodi sakit hati ini. Mencatat beberapa hal penting dan membubuhkan garis bawah. Apa yang ada di hadapanku sekarang tidak lebih dari denah payah yang bahkan arsiteknya pun lupa membuat jalan-jalan kecil untuk keluar. Lihat saja, kecil, padat, dan tidak berongga. Seberapa sesak jadinya?
"Sakit, tau."
Sudah tidak bisa ditahan. Aku berhambur menerjanginya dengan pelukan. Berkali-kali mengusap wajahnya dan berharap sakit itu di sana. Di kulit. Di mata. Di mana saja yang bisa kusentuh.
Dia tidak menangis. Melainkan menyimpannya saja di sana. Di tempat sesak itu. Saling bertukar pandang dengan pesimisme dan memilih menoleh ke kanan di saat optimisme revolusi tepat berbisik di telinga kirinya.
Toh, segalanya bukan miliknya lagi.
"Ini akan berlalu. Aku tidak akan memaksamu membuat pembenaran. Tapi tolong, jangan merasa bahwa matahari yang besar itu akan meredup dengan segala yang kamu alami ini. Bangkit dan berkacalah. Ada bermilyar-milyar kehidupan di sini, kamu hanya harus menaungi satu di antaranya."
Dia masih saja diam. Boks di tangannya sudah hampir remuk karena kuatnya cengkraman tangannya sendiri. Betapa manusia hanya budak perasaan. Hanya bisa meraung pilu tanpa berencana memiliki hari esok. Mungkin di kehidupan mendatang, Tuhan akan mereinkarnasinya menjadi matahari untuk sekedar belajar apa arti ketulusan.
Kedua tanganku masih mengelus kedua sisi pipinya yang mulai lelah.
Awan masih kelabu.
..
Dia berjalan ke titik itu. Titik yang berwarna putih dan terang. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Ditinggalkannya boks itu tepat sebelum dia hilang dan menyatu dalam terang.
..
Tidak ada sesuatu yang perlu dimaafkan. Aku dan kamu adalah perpanjangan tangan kehidupan. Menjadi kisah dan menyambung peradaban. Apa salahnya pernah bodoh? Sama seperti jalan lurus yang tidak selalu benar.
Ah, seandainya menghapus luka bisa sesederhana membuatnya.
Jakarta, 25 Maret 2011. Ketika kehilangan dimensi. Dan hatiku sudah jauh di sana. Terang meski pincang.