beberapa suara mesin terlewat dan tidak terendap, seperti massa yang kehilangan ikatan dengan gaya tarik bumi, lepas seperti angin yang lupa membawa serta debu dan keluhan pecundang. Aku di sini. Seperti terdakwa yang memutuskan untuk diam di sudut, menyaksikan kasusku diputuskan tanpa sedikitpun kehadiranku di persidangannya. In absentia. Ya.
..
Pukul tujuh malam. Tidak banyak yang bisa dikatakan dari waktu-waktu belakangan ini. Bersayap mungkin sedikit terlalu klise, tapi Fisher pun akan angkat tangan ketika harus mengamati pergerakannya. Ah, sejak kapan kita menghapus teori relativitas yang pernah bersusah payah dirangkaikan Einstein. Sungguh, mungkin kita tidak akan pernah tahu, apa arti keberadaan dan ketidakberadaan tanpa terlebih dahulu mengenal relativitas.
"Aku makin sayang kamu. Sumpah."
Simbolis. Ritualis. Cinta di sini jelas salah satu unsur pembentuk Tuhan. Butuh dipuja dan disuarakan. Dibalut dan diparas, dengan abjad dan gemulai bola mata.
Tapi kali ini, sungguh, aku lebih memilih menjadi kuda yang dibiarkan berlari tanpa mata. Melewati jalan-jalan tidak masuk akal tanpa mengetahui apa dan siapa di balik semua gelap ini.
Tapi bukankah kita berlari dengan kaki?
Terkadang kita lupa bahwa hari esok masih terlalu jauh untuk diregresi bersama hal-hal sepasti detik-ini. Kita terus membentuk harapan, semacam meragukan apa yang mampu Tuhan perbuat. Mempersempitnya menjadi kubangan persepsi-persepsi, padahal hari esok jauh lebih luas dibanding sekedar prediksi. Ah, terkadang juga kita lupa, bahwa hidup kita bukan seperti akuntansi berbasis akrual, dimana kita harus menyadangkan sekian persen dari keyakinan kita untuk sebuah ketakutan.
"Aku tidak butuh afirmasi."
Afirmasi, pemersempit makna. Pengiring-pengiring dungu yang menganggap segalanya akan lebih jelas dengan keberadaannya. Padahal hanya satu yang dibawanya: definisi. Dan aku benci itu.
Boleh tidak, untuk kali ini, tanpa pengiring?
..
Aku terduduk dalam lelah, lelah akan waktu yang sudah terlalu angkuh untuk menunggu. Meninggalkan yang masih bersetubuh dengan ragu, atau terlalu yakin dengan kebahagiaan yang dipegangnya. Suatu saat aku pernah begitu yakin bahwa waktu tidak pernah pergi dengan sengaja, seperti jantung yang mendadak mengambil posisi di kiri dada dan mulai berdenyut. Namun belakangan aku yakin, bahwa waktu memelihara hal-hal semacam 'maksud', bahwa waktu itu sistematis dan empiris. Tapi sudah itu saja, bahkan aku tidak tertarik untuk melihat variabel apa yang duduk di ekor diagram tulang ikan ini. Bukan apa-apa, tapi sudah tidak penting lagi.
Waktu mungkin salah satu dari sekian banyak hal di dunia ini yang tidak diciptakan untuk dipelajari. Mungkin benar bahwa waktu itu seperti big bang yang terjadi berkali-kali. Kita tidak pernah bisa melihat prosesnya. Yang kita tahu, big bang inilah yang melahirkan alam semesta beserta isinya.
Kita tidak pernah benar-benar menyaksikan apa yang membentuk dan apa yang kita bentuk. Kita sama seperti ribuan benda langit yang tidak pernah tahu bahwa kita sebenarnya satu. Ya. Karena kita.. tidak hadir.
Atau memang tidak diperbolehkan hadir.
..
Satu bulan yang lalu mungkin aku masih sibuk dengan rasa-rasaku. Menuangkan ketidakpastian dalam perihal-perihal konyol yang aku beri label 'gradasi patah hati'. Tidak mencoba memangkas gelap namun terus menambah kadar terang agar aku selalu ingat bahwa segalanya pernah begitu gelap. Bahkan aku bisa berlari sekencang-kencangnya tanpa lagi-lagi memikirkan hal-hal semacam, "apa iya aku punya kaki?"
Sedangkan satu bulan sudah benar-benar berlalu.
..
Belakangan ini aku begitu merindukan geliat air kecil-kecil membasahi jendela saat habis hujan. Ketika itu sunyi begitu mewah, bahkan tidak ada hal-hal semacam waktu ikut menampakkan wujudnya. Hanya ada sebongkah perasaan yang terbias satu-satu ke jendela yang mulai menikmati air yang membasahi seluruh tubuhnya.
..
"Aku juga sayang kamu."
Afirmasi dibalas afirmasi. Hanya segelintiran kata-kata yang menciutkan makna. Ya sudahlah. Toh kita tidak hidup di dunia dimana senyuman selalu diterjemahkan dengan perasaan bahagia.
Toh.
..
Mungkin benar kata salah seorang teman saya, bahwa menemukan 'seseorang' itu seperti menunggu bus di halte. Kita tidak akan benar-benar tahu bus ini akan membawa kita ke tempat tujuan apabila kita tidak mencoba untuk naik. Manusia hanya bisa mengikuti nalurinya. Perkara hasil, manusia akan berpulang pada doktrin-doktrin yang akan menafikan seluruh kecacatan keputusannya. Bahwa mengambil keputusan tidak pernah salah, bahwa setiap kejadian ada tujuannya, bahwa segalanya sudah pernah tertulis, dan sebagainya, dan sebagainya.
Aku tidak bermaksud berargumen, membenarkan atau menyalahkan ketidakberdayaanku sendiri. Tapi bukankah, bahkan, seorang Warren Buffet pun menyandarkan pilihan investasinya pada ekspektasi?
Dunia tidak selalu misterius, beberapa memberikan klu seperti ingin sekali kita berhasil melaluinya. Tidak terkecuali perihal hati.
..
"Sudahlah, kamu terlalu banyak berpikir, kamu sendiri yang mengatakan bahwa masa lalu itu ibarat kaca spion yang dilihat kalau sedang diperlukan saja."
"Tentu saja. Tapi masa lalu tidak sekedar masa lalu. Masa lalu itu deret geometris, pernah menghitung future value tidak di mata kuliah keuangan? bahkan untuk hal-hal semacam uang pun, kita selalu mengaitkan dengan masa lalu. Apa yang terjadi sekarang adalah konsekuensi dari apa yang kamu ekspektasikan di masa lalu. Apalagi ini."
"Ya, lalu apa? Jujur. Sebenarnya kamu ingin sekali kan memotong beberapa memori dan menyimpannya dalam brankas tanpa kunci sekali tutup?"
"...."
"Sudahlah. Ini saatnya. Kamu harus menentukan, diam di sini sampai busuk atau mencari kereta untuk mempercepat kepulangan."
...
Kenapa logika selalu lebih tahu?
Jakarta, 9 Juni 2011. Bahwa aku ingin sekali pulang.