The problem is I cannot see clearly.
So however beautiful the object is, I would never ever be able to enjoy it.
And I cannot find my glasses.
Kamu berada di depanku persis saat ini. Dengan posisi
favoritmu, terlentang dan memainkan ponsel dengan jari-jarimu. Menunggu kantuk
menyergapmu dan mengembalikanmu pada pagi. Pagi yang menandai satu malam
perjuangan telah usai.
Kamu pria yang sangat gigih. Namun juga penuh dengan cinta kasih. Terkadang aku bahkan tidak mengerti apa yang sedang kamu lakukan. Kamu bicara proyek powerplant nasional. Potensi kenaikan harga tanah di tanah perawan Bali. Aplikasi dating professional. Di tengah-tengahnya, kamu juga bercerita tentang kaus gereja yang kamu punya dilemari dari sebuah kegiatan sosial. Kamu juga pencerita yang baik. Atau lebih tepatnya, kamu punya mata yang unik. Yang selalu bisa melihat countermeaning dari hal-hal dihadapanmu. Kamu ceritakan harimu seolah itulah hari paling produktif di hidupmu.
Kamu pria yang sangat gigih. Namun juga penuh dengan cinta kasih. Terkadang aku bahkan tidak mengerti apa yang sedang kamu lakukan. Kamu bicara proyek powerplant nasional. Potensi kenaikan harga tanah di tanah perawan Bali. Aplikasi dating professional. Di tengah-tengahnya, kamu juga bercerita tentang kaus gereja yang kamu punya dilemari dari sebuah kegiatan sosial. Kamu juga pencerita yang baik. Atau lebih tepatnya, kamu punya mata yang unik. Yang selalu bisa melihat countermeaning dari hal-hal dihadapanmu. Kamu ceritakan harimu seolah itulah hari paling produktif di hidupmu.
Sekarang kamu sedang bingung melihatku menulis. Mungkin pikirmu, hanya
wanita gila yang menulis malam-malam begini. Di tengah waktu yang seharusnya
kita gunakan untuk bercerita tentang semua hal yang kita nikmati secara
eksklusif dari satu sama lain. Kamu seperti tidak ingin aku melewatkan satu
kisahpun.
Di mobil ketika perjalanan pulang tadi, kamu tidak berhenti
bercerita. Mulai dari buka puasa yang berisi diskusi-diskusi serius, hingga
korespondensi surel kamu dengan seorang partner di belahan asia tenggara
lainnya. Kini aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa cerita-ceritamu. Tidak
ada kamu dan logatmu yang sangat kamu. Tidak ada kamu. Betapa buruknya.
Kamu tadi bertanya. Kamu kenapa?. Aku menggeleng seperti
biasanya. Layaknya politikus yang lebih memilih menyampaikan makna secara
bersayap ketimbang terang-terangan meminta hujan pelukan darimu. Disertai ciuman
bertubi dan perasaan hangat yang melingkupi. Aku memilih diam dan
memperhatikanmu saja. Sambil berusaha memahami bahwa aku sedang buta. Sedang
tidak bisa melihat apapun yang sedang kamu lakukan untukku.
Mungkin ini kutukan. Kutukan kepadaku untuk selalu
kehilangan kacamata di saat-saat dimana aku sangat membutuhkannya. I mean, ini
bukan seperti kehilangan payung saat hujan turun. Kehilangan kacamata itu
benar-benar menyebalkan, Dan celakanya orang normal tidak akan pernah memahaminya.
Seberapa jauh deviasi objek nyata dan tangkapan mata kita. Dan untuk aku, itu
sudah berada di luar toleransi.
Kemarin aku bertanya pada salah seorang sahabatku. Mereka
bilang ‘he is head over heels with you’, Lalu aku bingung. Kenapa kesimpulan
itu tidak pernah datang dari analisisku sendiri? Kesimpulanku tentang kita
selalu tidak memuaskan. Selalu berlebihan. Selalu kekurangan. Selalu ekstrim.
Selalu menyimpang dalam tingkat confidence yang tidak wajar.
Mungkin buatku, mempercayai bahwa kamu menyayangiku seperti
itu sesulit percaya pada superstition. Sulit memahami dan menjustifikasi ada
orang yang mau menerima kekuranganku. Mencintaiku dengan seburuk-buruk versiku.
I mean, aku sangat buruk. Sangat sulit untuk dicintai. Sangat sulit untuk
dimaknai. Terlalu countercyclical.
Kamu harus tahu seberapa besar keinginanku untuk
berubah. Kalau ada kursus bagaimana agar kita merasa dicintai, aku pasti ambil
kursus itu berapapun biayanya. Karena rasa-rasanya itu investasi dengan return
yang jauh lebih besar prosentasenya dari investasi di sleeping beauty bonds-nya
Disney sekalipun. Kursus itu akan membuatku mengerti perasaan yang mewah itu. Perasaan
yang butuh lebih dari 28 tahun and still counting itu.
Sekarang kamu sudah tidur. Salahku. Seharusnya kita sedang
bercinta sekarang. Seharusnya kita sedang malas-malasnya mengakhiri hari ini. Tapi
lagi-lagi aku lalai. Aku memilih diam dan membiarkan tubuhmu berbaring sendiri
di depanku. Memilih mendengar dengkuranmu dibanding membuat harmoni dengannya.
Please tell me where my glasses is.
I desperately need to witness the great thing present before me.