Ada saat-saat ketika dunia tidak berputar untukmu. Juga tubuh serta seluruh organ di dalamnya.
Saat itu, kamu akan diam dan harus puas dengan hanya menjadi penonton. Pertunjukan di depanmu, entah terlalu memukau, atau terlalu menampar, semuanya memberi efek devil-spit sehingga kamu bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, dan membantuk garis wajah apapun untuk berekspresi.
Bukankah otak dan hati tidak pernah lelah? Lelah berpikir? Lelah merasa?
...
Kalau pikiran memiliki massa, mungkin saat ini aku sudah seperti truk kelebihan muatan.
Sudah beberapa hari ini kita berusaha menarik paksa segala jenis impuls yang dapat mendeteksi rasa. Diam. Dan melupakan bahasa. Kamu bersembunyi di gua milikmu. Dan aku menyepi di pantaiku.
Beberapa tanggung jawab pikiran, kini berpindah ke hati. Terakhir, aku hampir jatuh karena tersandung kursi, dan menelepon nomorku sendiri. Aku kacau dan kosong.
"Aku ke luar kota besok."
Itu adalah tema pembicaraan terakhir kita. Singkat. Tidak terlalu ekspresif. Bahkan cenderung datar seperti pidato presiden 16 Agustus 2010 lalu.
Aku masih di sini. Begitu juga kamu. Tidak ada jarak di antara kita. Hanya saja, kita sudah enggan untuk saling menyentuh.
Segalanya tampak sama. Kecuali pikiranku.
"Oh, hati-hati kalau begitu."
Percakapan yang sangat berjarak. Tidak ada yang memulai, jadi tidak akan ada yang repot-repot mengakhiri. Mungkin seperti ini lebih baik.
Aku tahu, apa yang kamu pikirkan. Atau ini hanya pikiranku saja? Aku tidak tahu. Yang jelas, aku tidak berniat memastikannya.
Diam, ataupun berbicara, kali ini tidak ada bedanya untukku. Keduanya menyakitkan.
Kamu benar. Tidak ada lagi ruang untukmu. Cinta seperti birokrasi orde lama yang harus cepat-cepat direformasi.
"Yang kamu butuhkan bukan hatiku, tetapi aku."
Cukup. Kamu tidak mengerti, bagaimana aku berusaha membuat dua dunia ini kembali berjalan beriringan. Namun, sepertinya bahasa kita tidak lagi satu.
"Yang kamu cintai hanya dirimu sendiri, bukan aku."
Ketololan macam apa lagi ini? Jadi dalam tiga tahun ini aku hanya ber-onani? Memuaskan diri sendiri?
Dunia tampak berbeda sekarang. Dunia mengenal kompromi. Seburuk apapun caranya berkompromi, aku mulai mengerti. Aku melihat sekeliling. Lalu kusadari, kepada siapa seharusnya aku bertanya.
Tiba-tiba aku merindukan logika. Sepertinya hanya dia yang bisa membuat pola dari tangkapan acak ini.
Terkadang manusia memilih. Terkadang juga, pilihan-pilihan itu terbirit dan meninggalkan manusia sendiri di sudut ruangan.
Mungkin di antara kita tidak ada jarak. Namun kebencian itu membuatku selamanya hanya mampu memandang siluet punggungmu. Tidak ada ucapan perpisahan atau pelukan terakhir, karena untukku, tidak ada kisah cinta yang berakhir. Tapi kisah komitmen dan hal pilih-memilih, selalu menemui tembok besar yang tidak berjendela dan berpintu.
Satu titik aku marah dan berusaha lari. Aku memanggil semua bala keputusasaan sebelum aku menyerah pada kelemahan dan pada akhirnya melambaikan tangan pada keputusan.
Namun aku sadar, aku memerlukan keputusan ini. Aku dan kamu memerlukannya. Supaya genangan air ini segera menemui dataran rendahnya.
Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu hanya bisa membenci. Dengan harapan benci itu pada akhirnya mampu menambal luka basahmu. Asal kamu tahu, luka itu terlalu besar untuk ditutupi hal-hal seperti kebencian.
Biarlah seperti ini. Aku diam. Kamu diam. Biarkan seseorang di mana pun dia berada yang menentukan bagaimana kisah ini berakhir. Atau memang tidak akan berakhir? Manusia sungguh tidak berkuasa atas satu pun detik hidupnya di dunia.
"I love you I’ve a drowning grip on your adoring face
I love you my responsibility has found a place
Beside you and strong warnings in the guise of gentle words
Come wave upon me from the family why not that's absurd
“You’ll take care of him, I know it, you will do a better job”
Maybe, but not what he deserves."
I love you my responsibility has found a place
Beside you and strong warnings in the guise of gentle words
Come wave upon me from the family why not that's absurd
“You’ll take care of him, I know it, you will do a better job”
Maybe, but not what he deserves."
Perpisahan itu tidak punya lagu.
Kamis, 26 Agustus 2010. Jangan lagi datang, rindu.