God bless this mess.



Selasa, 25 Januari 2011

tertulis dan menghilang


Aku berpapasan dengan kebebasan. Seperti biasa, dia berjalan angkuh dengan dagu diangkat tinggi-tinggi. Sengaja berkelebatan menyusup di celah apapun yang memfasilitasi ukuran tubuhnya. Dan jangan salah, di dunianya, hal semacam itu bukan sesuatu yang dianggap intolerir.

..

"Halo. Aku ingin menarik kata-kataku."
Kira-kira seperti ini dimulainya episode itu. Episode akhir yang tidak pernah benar-benar mengerti pengejawantahan dari kata 'akhir'. Seperti sudah menginjak rem namun nyatanya roda-roda ini tidak pernah berhenti.

Pernah suatu kali. Seperti anak ayam yang mencoba terbang, aku memakzulkan kekangan dan mulai meraih apa yang bisa dikatakan 'sesuatu yang seharusnya dilakukan'. Entah darimana asalnya kata 'seharusnya' ini. Karena sejak kehadirannya, segala defisini menjadi kehilangan tempat tetapnya.

Pernah melihat binatang peliharaan mati ketika pemiliknya mulai meyakinkan diri bahwa inilah saatnya menggunakan kata 'seharusnya'? Contoh kalimatnya seperti ini. "Seharusnya, makhluk ini dibebaskan. Tempatnya memang di alam sana. Sampai kapanpun dia tidak akan mampu lari dari fungsi aslinya".

Aku memandangi wajahmu yang berekspresi sangat teatrikal itu.

Hei. Kemana perginya serapah itu?

Kamu. Awan hitam yang mengadu domba para pemintal hujan. Melahap habis temaram mendung dan sekonyong-konyong melesat dalam kilat debu.

"Aku hanya salah mengira."
Selesai sudah. Aku menyerah pada hakikatku. Aku tidak akan berusaha menyangkal ketidakberdayaanku akan pesona sangkar-sangkar itu. Tidak ada yang terlalu bodoh untuk sebuah hakikat. Tidak ada yang terlalu 'tidak seharusnya' untuk sesuatu yang tidak artifisial macam ini.

Beberapa kata menetes tanpa alas. Menunggu jatuh pada suatu tempat dan mampu memakna.

"Aku tidak pernah benar-benar pergi."
Dasar bodoh. Untuk apa mengumpulkan angin. Sedangkan aku adalah kapal yang enggan berlayar. Burung yang tidak pernah menginginkan sayapnya.

Aku pernah berharap, akan ada pengadilan untuk orang-orang yang salah merasa dan terlalu larut dalam arah.

Aku berharap suatu saat aku dihukum untuk ini. Untuk kesalahan hati yang tak pernah dieksekusi.

Dan disinilah aku.

Menikmati hati yang perlahan berhenti mengecap, dan satu dua titik terang yang terabaikan.

Aku tersenyum dan berhambur memelukmu. Tanpa berkelahi lagi dengan pemahaman-pemahaman. Berusaha terus bergulir dan melupakan jalan pulang.

Bukankah 'pulang' hanya pledoi. Pernyataan optimistik yang tak henti memvisualisasikan ketenangan yang manipulatif?

"Tidak semua orang bisa memilih."
Hatiku sepertinya ingin bersuara. Setelah mikrofon didekatkan di bibirnya, ia berhenti dan kembali ke bangkunya. Biar kutebak. Tadinya dia akan mengatakan. "Tapi kenapa aku, yang termasuk dalam 'tidak semua orang'?"

Satu lagi penemuan hati yang harus ditelan dalam keadaan berduri. Bahwa tidak setiap jiwa dapat membentuk dirinya. Beberapa hanya pasrah pada pembentuknya.

Mungkin kamu benar. Aku hanya perlu semangkuk air untuk menyeka mataku.

..







Jakarta, 26 Januari 2011.

"Jalan pulang yang menghilang, tertulis dan menghilang..."

Ugoran Prasad tersenyum dari kejauhan.

2 komentar:

Ariza mengatakan...

eh. aku kan pernah duduk beda 2 kursi di GBB sama Ugoran Prasad pas nonton Gandrik..... *udah pamer sejuta kali kayaknya, chaaaa*

Tapi lirik2 dan tulisan2 dia memang bikin orgasme otak. Bisa dijadiin sumber inspirasi habis2an. Hoaahh.

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

iyaaaaa kakakkuuuu. Yang mana kalian semacam berpendapat ceweknya Ugo kurang greget. Hihihi.

Jadi.. inspirasi. Hhhh. Abang becak yang lagi ngelap keringet bisa membawa ide lebih hebat loh daripada SEKEDAR Ugo. Hahahaha. Truly.