dua hati sudah tidak tahan untuk saling menjamahi. Visualisasinya mungkin sedikit rumit, tapi kita bisa membayangkan secarik kertas putih kepada sebuah pena bertinta hitam yang mulai berbahasa. Itulah aku. Itulah kamu. Dan itulah definisi 'tumpah'.
Terkadang kita ini terlalu manusia. Terlalu manusia karena terlalu lupa. Lupa bahwa kita terlahir dari tanah-tanah naif dan perkawinan gen yang miskin tendensi. Kita menciptakan barcode reader yang dengan brilian membaca kode-kode yang merepresentasikan identitas suatu barang. Dan entah apa yang membuat kita lupa bagaimana membaca hati kita sendiri.
Klise. Tapi aku sangat iri pada daun-daun di luar sana. Mereka hanya menggerakkan tubuhnya sekenanya dengan bantuan angin, dan sudah. Gembur tanah yang jauh berada di bawahnya pun tau, apakah dia ingin jatuh atau apa. Sedangkan di dunia ini kita seruangan dengan persepsi, sekantor dengan harapan, bepergian kemana-mana dengan logika. Rasa-rasanya penuh. Seperti fungsi turunan yang tidak menemukan konstantanya dan gagal menjadi natural.
Aku tidak berniat mendeklarasikan apapun di sini. Pandanganku tentang masa depan, atau pertanyaan-pertanyaanku tentang masa kini. Bahkan aku tidak sedang bersemangat untuk berkeluh tentang kenapa-tidak-ada-feelings-reader atau mana-sistem-akuntansi-yang-bisa-menghitung-apapun-itu, karena sungguh, aku adalah orang yang baru akan benar-benar percaya bahwa air kolam itu dingin setelah aku masuk dan menenggelamkan kakiku sendiri ke dalamnya.
Sesimpel cahaya matahari yang tidak pernah berpendar menjadi warna-warna lain ketika kita menangkapnya dengan retina mata biasa. Aku hanya tidak ingin berpapasan lagi dengan kebodohan. Kebodohan yang mungkin akan berparas lebih cantik dan merajuk dengan lebih manja. Yah, tapi seperti roller coaster yang tidak pernah tidak turun, aku terus saja melakukan kebodohan.
Kebodohan yang kekal dan bersemayam dalam 'kenyataan'.
...
Kadang-kadang aku berpikir. Apakah hidup benar-benar akan terus berjalan? Apakah ketika manusia memutuskan untuk diam dan tidak melakukan apapun, detik-detik mengesalkan itu akan tetap berarti? Ah, bahkan aku tidak yakin apakah hal-hal semacam 'berhenti' memang benar-benar ada.
Pada akhirnya, manusia akan kembali ditenangkan dengan frasa toh-semuanya-sudah-tertulis. Frasa yang dipercayai lebih dari pikirannya sendiri. Pikiran yang bisa jadi merupakan kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang tidak diakui sebagai kehidupan. Mereka lebih percaya dengan angka-angka, angka-angka yang kebetulan berderet dan menunjukkan pola yang sama, lalu mereka memercayainya bahkan tanpa batasan waktu.
...
Indikator-indikator kehidupan bereksplorasi dan membentuk faktor-faktor baru. Faktor-faktor tidak terduga yang berkoloni dan muncul dengan regresi yang kuat dengan kenyataan. Tapi untuk apa? Aku bahkan tidak tertarik dengan kenyataan. Dan kenapa manusia harus terus menganggap hidup ini tidak lagi sederhana? Padahal kita hanya lelompatan dari satu fase ke fase yang lain. Yang artinya, kita tidak pernah berubah. Kita hanya dituntun menuju ke tangga-tangga berpikir yang semakin tinggi.
Aku merasa sia-sia. Sia-sia dengan diriku dan seluruh pikiranku. Berusaha menjamah buah-buah yang letaknya terlalu tinggi di atas sana. Tidak ada yang tahu dalam perjalananku nanti aku akan menemukan sebatang ranting yang panjang. Atau buah-buah itu dengan sendirinya akan jatuh ke bawah.
Aku hanya merasa tidak perlu lagi memandang ke depan dan mulai memercayakan segalanya dengan 'kaki-kaki' ini.
Jakarta, 5 Agustus 2011. Otot wajah adalah tempat menyimpan semua jenis luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar