Hari ini 14 Januari 2012. Sekian tahun
sekian bulan dari 9 Desember 2007. Angka-angka memang pengingat ulung. Pembatas
tandas masa lalu dan masa kini. Pencacah harapan yang tidak mengenal
penyesuaian. Bukan aku yang mengatakannya. Kini kamu bisa merasakannya sendiri.
***
“Kapan aku bisa bertandang ke rumahmu?
Aku bisa membawa Mercedes Benz tuaku kalau kamu ingin kita bisa jalan-jalan di
sana.” Terkadang aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiranmu. Kamu seperti
tidak pernah melihat jalan buntu. Jangankan melubangi tembok, kurasa kamu
sanggup berenang melintasi sebuah samudera untuk menggapai apa yang kamu
inginkan di seberang sana.
“Sudahlah jangan bermimpi terus.
Pikirkan apa yang akan kamu katakan kepada orang tuaku nanti.” Aku yang selalu negatif
dan sulit diyakinkan. Menikmati mimpi hanya lewat layar tanpa sedikitpun
berpikir untuk menyentuhnya. Menikmati laut dari tepi dermaga karena takut melihat
ombak di tengah sana yang tampak besar. Intinya, aku tidak suka membuat harapan
yang nantinya hanya akan mengusang.
“Mau sampai kapan kamu berpikir bahwa
tembok-tembok itu menutup langit dengan sempurna? Pengetahuan mana sih yang
menuntun skeptisme-mu yang asal itu? Astaga. Kupikir kamu termasuk orang-orang
yang punya keyakinan. Ternyata.” Aku sudah tahu kamu akan menjawab begitu.
Mengemas ulang yang beratus-ratus mungkin menjadi sebuah harapan yang begitu
ringkih, yang tidak lama setelah itu mengusang menjadi setitik uap air.
***
Dan begitulah kamu. Dari titik itu, kamu
lalu kembali ke guamu. Dan aku tetap di sini. Menunggu.
Menunggu tembok-tembok itu runtuh.
Sampai sekarang.
Aku tidak pernah tahu, bahwa akan ada waktu
dimana aku terduduk di tempat ini. Di kamar kos minimalis dilengkapi dengan
pendingin ruangan dan tanpa jendela atau pintu masuk cahaya, dengan sederetan
foto yang sangat asing untukku.
Aku memandang ke sekitar dan tidak ada
sedikitpun kamu. Tidak di rak buku. Tidak di lemari baju. Bahkan tidak di
komputerku. Komputerku kini baru dan hanya berisi dokumen-dokumen kantor serta
beberapa alat penyalur hobiku. Tidak ada kamu di sana.
Aku sempat mengira bahwa kamu
benar-benar hilang. Aku mencari lagi. Kali ini aku mulai menulis. Ya, menulis
dengan tujuan hanya untuk memunculkanmu lagi. Satu penggal dua penggal kalimat,
aku masih bisa mengandalkan kelihaianku bermain kata. Namun perlahan gerak
jemariku melambat dan aku tiba-tiba saja berada dalam ruang kosong.
“Dimana kamu?” Tidak ada jawaban.
Dinding-dinding ini tampak dingin dan usang. Aku memutuskan untuk berkeliling
dan mencari tahu, sedang dimana aku. Perlahan-lahan aku mendengar suaramu,
hanya sayup-sayup namun perlahan-lahan membesar. Aku berusaha mencari sumber
suara itu. Tetapi suara itu lalu hilang begitu saja. Aku menangis, aku kembali
mencari, kali ini dengan berlari. Namun suara itu benar-benar hilang. Aku
terduduk lemas, hingga beberapa saat kemudian timbul cahaya seperti proyektor
yang memutar gambar-gambar buram, sepintas aku mengenali gambar-gambar itu.
Kamu yang sedang membawakanku payung ketika hujan lebat sedang mengguyur kampus
kita. Kamu yang sedang bersenandung riang di sebuah pertunjukan musik Mocca mengenakan
baju kebanggaanmu, kemeja putih, celana bersuspender, serta sebuah topi baret.
Kamu membawa sepedamu, dan memberikan payungmu kepadaku. Aku hanya bisa melihat
mulutmu bergerak-gerak. Aku bahkan tidak bisa menangkap apa yang kamu katakan.
Gambar-gambar itu mendadak berganti menjadi momen lain, begitu terus menerus
tanpa henti. Gambar-gambar yang tidak selesai diputar. Sampai kemudian kepalaku
begitu sakit. Aku menjerit, seperti pupil yang disorot matahari, sumber cahaya
tadi membesar. Dan sampailah aku di sini.
Di depan komputer sebuah kamar kos yang
tidak benar-benar kusukai. Menulis hal-hal yang tidak benar-benar kurasakan.
Sulit sekali rasanya, membuat sinergi dari organ-organ yang belum mengerti. Aku
terus menolaknya. Menolak bahwa ternyata ada hal-hal semacam ‘lembar-lembar
yang tertinggal’ dan sengaja tidak disertakan dalam cerita. Lembar-lembar yang
sengaja disobek agar cerita-cerita ini lebih baik bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Hidup tidak bekerja dengan cara seperti itu. Hidup tidak bekerja
berdasarkan kepentingan ataupun pola, tidak seorang pun mampu memprediksikan
apa yang terjadi setelah ini. Tidak satu variabel bebaspun.
Aku mulai membuat kesimpulan. Bahwa kamu
adalah prediktor yang gagal menjadi tidak bias. Sedangkan bias, sehingga hidup
mengeluarkanmu atas nama asumsi yang membentuknya yang telah kamu langgar. Kamu
gagal berada di sini. Gagal menjadi slope
yang selalu menjadi bagian dari pergerakanku.
Tapi aku tidak pernah lupa pada titik
mulaku. Titik mulaku dimana aku masih diam dan menunggu tembok-tembok langit
runtuh. Kamu beruntung. Kamu beruntung karena aku kembali ke titik mulaku,
sekarang, setelah beberapa saat naik dan turun. Kamu adalah intersep yang hanya
kutemukan ketika aku kembali ke awal. Meskipun langkahku sudah berjauh-jauh ke
depan.
Jakarta, 14 Januari 2012.