God bless this mess.



Minggu, 15 Januari 2012

Aku sudah kembali. Kamu?


Hari ini 14 Januari 2012. Sekian tahun sekian bulan dari 9 Desember 2007. Angka-angka memang pengingat ulung. Pembatas tandas masa lalu dan masa kini. Pencacah harapan yang tidak mengenal penyesuaian. Bukan aku yang mengatakannya. Kini kamu bisa merasakannya sendiri.

***
“Kapan aku bisa bertandang ke rumahmu? Aku bisa membawa Mercedes Benz tuaku kalau kamu ingin kita bisa jalan-jalan di sana.” Terkadang aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiranmu. Kamu seperti tidak pernah melihat jalan buntu. Jangankan melubangi tembok, kurasa kamu sanggup berenang melintasi sebuah samudera untuk menggapai apa yang kamu inginkan di seberang sana.

“Sudahlah jangan bermimpi terus. Pikirkan apa yang akan kamu katakan kepada orang tuaku nanti.” Aku yang selalu negatif dan sulit diyakinkan. Menikmati mimpi hanya lewat layar tanpa sedikitpun berpikir untuk menyentuhnya. Menikmati laut dari tepi dermaga karena takut melihat ombak di tengah sana yang tampak besar. Intinya, aku tidak suka membuat harapan yang nantinya hanya akan mengusang.

“Mau sampai kapan kamu berpikir bahwa tembok-tembok itu menutup langit dengan sempurna? Pengetahuan mana sih yang menuntun skeptisme-mu yang asal itu? Astaga. Kupikir kamu termasuk orang-orang yang punya keyakinan. Ternyata.” Aku sudah tahu kamu akan menjawab begitu. Mengemas ulang yang beratus-ratus mungkin menjadi sebuah harapan yang begitu ringkih, yang tidak lama setelah itu mengusang menjadi setitik uap air.

***
Dan begitulah kamu. Dari titik itu, kamu lalu kembali ke guamu. Dan aku tetap di sini. Menunggu.
Menunggu tembok-tembok itu runtuh.
Sampai sekarang.

Aku tidak pernah tahu, bahwa akan ada waktu dimana aku terduduk di tempat ini. Di kamar kos minimalis dilengkapi dengan pendingin ruangan dan tanpa jendela atau pintu masuk cahaya, dengan sederetan foto yang sangat asing untukku.

Aku memandang ke sekitar dan tidak ada sedikitpun kamu. Tidak di rak buku. Tidak di lemari baju. Bahkan tidak di komputerku. Komputerku kini baru dan hanya berisi dokumen-dokumen kantor serta beberapa alat penyalur hobiku. Tidak ada kamu di sana.

Aku sempat mengira bahwa kamu benar-benar hilang. Aku mencari lagi. Kali ini aku mulai menulis. Ya, menulis dengan tujuan hanya untuk memunculkanmu lagi. Satu penggal dua penggal kalimat, aku masih bisa mengandalkan kelihaianku bermain kata. Namun perlahan gerak jemariku melambat dan aku tiba-tiba saja berada dalam ruang kosong.

“Dimana kamu?” Tidak ada jawaban. Dinding-dinding ini tampak dingin dan usang. Aku memutuskan untuk berkeliling dan mencari tahu, sedang dimana aku. Perlahan-lahan aku mendengar suaramu, hanya sayup-sayup namun perlahan-lahan membesar. Aku berusaha mencari sumber suara itu. Tetapi suara itu lalu hilang begitu saja. Aku menangis, aku kembali mencari, kali ini dengan berlari. Namun suara itu benar-benar hilang. Aku terduduk lemas, hingga beberapa saat kemudian timbul cahaya seperti proyektor yang memutar gambar-gambar buram, sepintas aku mengenali gambar-gambar itu. Kamu yang sedang membawakanku payung ketika hujan lebat sedang mengguyur kampus kita. Kamu yang sedang bersenandung riang di sebuah pertunjukan musik Mocca mengenakan baju kebanggaanmu, kemeja putih, celana bersuspender, serta sebuah topi baret. Kamu membawa sepedamu, dan memberikan payungmu kepadaku. Aku hanya bisa melihat mulutmu bergerak-gerak. Aku bahkan tidak bisa menangkap apa yang kamu katakan. Gambar-gambar itu mendadak berganti menjadi momen lain, begitu terus menerus tanpa henti. Gambar-gambar yang tidak selesai diputar. Sampai kemudian kepalaku begitu sakit. Aku menjerit, seperti pupil yang disorot matahari, sumber cahaya tadi membesar. Dan sampailah aku di sini.

Di depan komputer sebuah kamar kos yang tidak benar-benar kusukai. Menulis hal-hal yang tidak benar-benar kurasakan. Sulit sekali rasanya, membuat sinergi dari organ-organ yang belum mengerti. Aku terus menolaknya. Menolak bahwa ternyata ada hal-hal semacam ‘lembar-lembar yang tertinggal’ dan sengaja tidak disertakan dalam cerita. Lembar-lembar yang sengaja disobek agar cerita-cerita ini lebih baik bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Hidup tidak bekerja dengan cara seperti itu. Hidup tidak bekerja berdasarkan kepentingan ataupun pola, tidak seorang pun mampu memprediksikan apa yang terjadi setelah ini. Tidak satu variabel bebaspun.

Aku mulai membuat kesimpulan. Bahwa kamu adalah prediktor yang gagal menjadi tidak bias. Sedangkan bias, sehingga hidup mengeluarkanmu atas nama asumsi yang membentuknya yang telah kamu langgar. Kamu gagal berada di sini. Gagal menjadi slope yang selalu menjadi bagian dari pergerakanku.

Tapi aku tidak pernah lupa pada titik mulaku. Titik mulaku dimana aku masih diam dan menunggu tembok-tembok langit runtuh. Kamu beruntung. Kamu beruntung karena aku kembali ke titik mulaku, sekarang, setelah beberapa saat naik dan turun. Kamu adalah intersep yang hanya kutemukan ketika aku kembali ke awal. Meskipun langkahku sudah berjauh-jauh ke depan.

  
Jakarta, 14 Januari 2012.

10 komentar:

Unknown mengatakan...

ck ck ck ck... bu gubernur ada apa ini...

Anonim mengatakan...

anda mempunyai banyak pilihan, namun anda selalu ragu ragu. sampai sampai anda tak mau lagi memilih tempat kos yang lain. Namun gaya bahasa bertutur yang anda gunakan menunjukkan bahwa anda lumayan cerdas untuk memilih, bahkan sedikit lebih dari sekedar cerdas. Sejarah tak akan pernah mati, karena dia akan hidup mengisi ruang benak manusia, menjadikannya sempurna. Sesempurna dirimu saat ini, yg memang terlahir dari sejarah, jauh sebelum 9 Desember 2007

Anonim mengatakan...

Semua manusia pernah merasa putus cinta.
Sakitnya,luar biasa.

Namun, masih ada sakit yang lebih sakit dari putus cinta, yaitu dikhianati a.k.a ditipu.

Tapi semua orang punya alasan untuk berbuat pada orang yang lainnya. Hanya saja, hal itu menjadi persoalan ketika yang mengalaminya adalah kita sendiri.

From your neighbour

Anonim mengatakan...

Kau selalu mempesona, dimanapun kau berada.

Aku ingin melindungimu bak anjing penjaga pada tuannya.

Namun apa daya, kau tidak bersedia membuka pagar hatimu agar aku dapat membuat rumah kecil disamping rumahmu yang besar.

Ketika aku menulis ini, aku berpikir. Layakkah aku menjadi penjaga hatimu atau sekedar pemuja rahasiamu? Biarlah waktu yang kan menjawabnya.

I'm not your enemy

Anonim mengatakan...

ternyata anda juga mempunya beberapa (atau mungkin banyak penggemar) ?
:)

Anonim mengatakan...

astaga, ada anonim yang bilang kamu "lumayan" cerdas. ah, ini cara manusia mendegradasikan pujian yang didasari rasa tak ingin kalah.
dan aku tak terima, kak.
kamu yg asli sangat cerdas.
pikiranmu menari saat dunia memaksa fisikmu merasakan akhir dunia.
paradigmamu mampu membuat orang sekelilingmu menganga.
kamu hebat kak.
:)

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

.adit: hasil renungan semalaman dit. Berisik aja lo.

.anonim 1: sejarah adalah bentuk keterbatasan manusia. Wajar ketika kita memberontak di suatu titik. Tapi, perihal keraguan, aku setuju denganmu. Akhir2 ini aku bahkan kesulitan untuk membuat pilihan-pilihan kecil. :(

.anonim 2: my neighbour? Tentang rasa sakit yang kamu bicarakan, aku setuju kalau itu pasti terasa. Yang harus kamu ingat juga, rasa sakit itu kita sendiri yang mengizinkannya ada.

.anonim 3: aku menyukai rahasia. Tapi bukankah cinta itu sesuatu yang harus dibuktikan?

.anonim 4: banyak penggemar? Entahlah. Aku tidak berpikir benar2 memiliki sesuatu yang orang gemari.

.anonim 5: kamu siapa? Sini kita ngobrol. :)

adit mengatakan...

Sejarah seperti pohon yang terus berkembang dari akar sampai ke ranting yang terkecil karena dia memang pohon (syajaratun),,walaupun cuma menjadi bagian kecil dri
pohon, entah sebagai kambium, cortex, atau epidermis..

Anonim mengatakan...

kita hanya perlu botol dan pohon sembahan untuk mengobrol kak..
dimana ada botol berputar, disaat itu kita akan bertemu.. :)

salam anonim 5

Anonim mengatakan...

Aku di sini.. Aku menunggu.. Waktu.. Aku mengamatimu lewat mata orang - orang di sekitarmu..
Entah.. Aku tidak tahu.. Kapan..
Aku tidak lebih baik dari sebelumnya, mungkin nanti bila aku lebih baik..
Mungkin nanti bila aku lebih bijak..
Aku akan muncul..
Menunggu reaksimu.. Baru akan melakukan aksi (layaknya pecundang)

.. Maaf.. Aku belum ucapkan..
.. Terimakasih juga belum..
.. Kesalahpahaman yang kudengar.. Itu salahku..

Kamu tahu siapa aku.. Mercedes tua itu sudah dijual sekarang.. Dan kamu belum aku hapus dari dinding, meja kerjaku, maupun laptopku..