God bless this mess.



Minggu, 03 Oktober 2010

Sebuah Pengkhianatan yang Bungkam

Dua kata, dua makna.
Aku dan kamu seperti dua cangkir yang berbeda bahasa.
Kehilangan pikiran, sekaligus alat untuk saling melihat.
Beberapa kata tidak terpikirkan, dan beberapa pikiran tidak terkatakan.

Bukankah berang yang menyambut hujan dan meluruhkannya bersama awan yang dipenuhi prasangka?

Aku duduk di atas rumput, lalu memutuskan untuk berbaring.
Menanggap senja dan bertukar bahasa.
"Kamu melihat indahnya?"

...

Hujan kali ini tidak meluruhkan memori. Beberapa rintiknya menyuarakan surat-surat yang belum sempat tertulis. Aku diam bersama sekelompok benda mati. Berusaha menghadirkan yang hidup, dan menghidupkan yang mati.

"Cih!"
Kamu mengumpat lagi. Aku diam. Aku selalu diam. Aku memilih mencintai dalam bungkam. Beberapa molekul kemarahan tidak tertangkap. Nyatanya logika datang dan memberangusnya.

Sungguh, penderitaan, tidak lebih dari sekedar pemaknaan. Dan kegembiraan, tidak lebih dari sekedar pencitraan. Tapi, pernahkan kamu berada jauh dari pemaknaan dan pencitraan? Bahkan kamu lupa, kemana hakikatmu pergi?

Padahal kamu sendiri, yang mengizinkannya pergi.

"Sekarang kamu cuma bisa diam, kan?"
Lagi-lagi persepsi. Apakah otakmu yang besar itu hanya cukup untuk menampung persepsi? Atau gedung hatimu terlalu sempit untuk diletakkan sekedar satu dua ruas perasaan di dalamnya?

Hujan semakin keras. Seolah berteriak ingin didengarkan.

Tapi aku tak mampu mendengar apapun selain gesekan angin. Membaca hujan dengan terbata-bata dan menuliskannya di udara.

Aku akan menulis sampai huruf-huruf yang merangkai kata-katamu kehilangan daya dan mulai berhamburan menjadi gabungan huruf-huruf tak bermakna.

Tidakkah kamu tahu aku telah lelah berkhianat? Berkhianat pada hatiku? Berkhianat pada kebahagiaanku?

Kebahagiaan. Alienasi rasa dan logika. Setiap jiwa punya satu. Kepadamulah, kehidupan ini dipertanyakan.

"Sudahlah, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kamu penipu, dan tidak ada satu kata, bahkan huruf pun yang bisa dipegang dari seorang penipu."

"Hm. Ya sudah. Selamat tinggal."








Tidak ada yang mengalir, kecuali air itu sendiri.

Tidak ada yang terdengar, kecuali keheningan itu sendiri.




Minggu, 3 Oktober 2010. Dan aku tidak pernah lupa, aku menyimpan rasa. Rasa yang tertanam jauh di kedalaman logika.

Tidak ada komentar: