God bless this mess.



Selasa, 26 April 2011

Sebaiknya kita bersiap-siap. Hujan akan turun sangat deras.

Tidak pernah ada yang salah dengan menikmati. Bukankah hidup adalah sekelebatan jarum waktu? Merampas tetes-tetes rasa yang tidak pernah mengenal kata kekal. Menyongsong kedipan senja dan mengurungnya dalam temaram malam.

Mungkin ini terlalu cepat. Namun tidak ada takaran velositas yang sempurna untuk perasaan yang miskin sekat ini. Sudah kucoba membuat diagram alir atas apa yang terjadi dan berusaha menarik kesimpulan. Tidak ada yang aku temukan setelahnya, kecuali padang polos tanpa sedikitpun ruas jalan di atasnya.

Aku menyebutnya perbudakan sukarela. Kita memagut perasaan dan memilih terbuai atasnya. Sekalipun kita tidak pernah tahu kapan manis ini akan berakhir. Hei. Bukankah tidak ada yang terlalu tidak pasti? Seperti halnya tidak ada yang terlalu pasti?

...

Ini adalah kali pertamaku kembali menatapi langit bukan sebagai mikrofon dimana aku dapat meneriakkan apa saja atasnya. Entah, langit tampak sangat ingin dipacari saat itu.

Waktu menunjukkan pukul tujuh dan aku masih berkutat dengan apa yang disebut kehidupan-normal. Kehidupan yang berlangsung dengan patokan jam dan hari. Tujuh hingga lima, pagi hingga petang. Mungkin aku harus banyak bersyukur karena perasaan bukan sesuatu yang terlihat oleh mata.

Aku tidak berani menyebutnya revolusi atau sejenisnya. Yang jelas setiap petak rasa ini seperti asap ganja yang sangat menggoda untuk dihisap.

"Cabut duluan ya."
Aku mulai mengerti. Titik ini mulai mengontrolku. Menjamah bagian-bagian yang dulu berfungsi agar kembali berfungsi. Namun tetap saja tidak semudah itu.

...

Sebuah revolusi rasa yang agak terlalu cepat. Tapi sungguh. Susah payah sekali aku menemukanmu.

Hampir aku mengira kamu ada di tepian langit sana. Tidak terjamah, dan nyaris hanya mampu dirangkai oleh manipulasi kenyataan. Kecuali ada kejadian luar biasa yang menempatkan penghujung pelangi tepat berada di pelupuk mataku.

Memang benar bahwa perlu kebodohan besar untuk jatuh cinta. Dan aku tidak pernah menyesali kepelacuranku ketika aku merasakan dua kata maha dahsyat itu.

Tidak akan ada yang mampu menghakimi taraf sentimentalitasku yang tengah mencapai maksimal saat ini. Melarikan diri dari perangkap hujan yang membuatmu semacam tinggal sendiri bersama tuntutan pencapaian yang tidak berhenti menyudutkanmu. Ingat kapan terakhir kali kalian duduk damai bersama retasan air bekas hujan yang tidak pernah tidak abu-abu?

Nyatanya kita tidak pernah benar-benar siap untuk menghadapi langit yang mulai cerah.

...

Hari itu tidak istimewa, kecuali itu adalah kali pertama aku kembali membuka perbanku dan memberi kesempatan udara-udara itu menjamah apa yang pernah dijamahnya.

"Salmonnya satu ya mas."
Tidak banyak percakapan yang kuingat tentangnya. Lebih kepada aku menikmati setiap kecap rindu akan tumpahan-tumpahan rasa macam ini. Dua potong daging sapi khas New Zealand dan dua gelas es teh manis. Cukup untuk mengawali perjalanan yang entah darimana akan dimulai dan kapan akan menemui tikungan sehingga kita harus berbelok. Di depan sana kabut masih sangat tebal.

Tik tok. Dalam hitungan detik, velositas perasaan sudah mencapai gelinjangnya. Tidak ada pengingat apapun untuk organ lugas macam hati. Dan entah kenapa aku sudah berada di tengah sebuah kota.

Ya Tuhan. Kemana perginya jalan tanpa ruas tadi?

"Aku mau percaya sama kamu. Apakah kamu juga mau percaya sama aku?"
Perpaduan kata yang cukup memekakkan hati. Tambat yang sudah lama pergi mendesak kuat untuk bertamu lagi. Kurasa aku terlalu pengecut untuk menganggapnya seperti tamu biasa, yang harus kupersilahkan masuk dan kubuatkan secarngkir teh dari dapurku. Mengobrol satu dua hal, lalu mengajaknya berkeliling melihat-lihat isi rumah. Hanya seperti itu. Dan aku begitu takut bahkan untuk mengintip ke lubang pintu.

Tidak banyak yang menyadari bahwa mungkin hatimu kini berada di luar titik keseimbangan. Tersisih dari titik-titik penyusun kurva hasil regresi dan berakhir hanya sebagai penonton. Menyesapi kejadian demi kejadian tanpa turut serta memainkan peran dan memotong dialog tidak perlu.

Yang aku tahu, hujan akan segera turun.

Seorang pria yang sangat menyenangkan. Semenyenangkan melamuni embun pagi yang merambat polos di atas daun berpori-pori lebar. Baiklah, aku mengaku. Ini tentang seorang pria. Seorang pria yang saat ini mulai sengaja kuhadirkan dalam bilik pikiranku setiap malam datang, semacam sirine yang mengingatkan bahwa aku harus tetap duduk tegak dan berjarak sedekat mungkin dengan segala kemungkinan.

"Aku sudah lama tidak merasakan yang seperti ini."

Rindu tidak terelakkan lagi. Semacam meresapi setiap jengkal oksigen yang terperangkap dalam tubuh lalu bersenyawa menjadi rindu-oksida. Ah. Mungkin satu-satunya hal yang tidak mungkin di dunia ini adalah menyepelekan rindu.

Aku tidak pernah sedikitpun menduga bahwa aku akan sampai di titik ini suatu saat nanti. Sebuah perjalanan yang cukup melelahkan, yang bahkan tidak bisa dikelakarkan dengan lelucon "Dua Hari Berkuda". Satu dua badai sudah dilalui, satu dua berhasil, satu dua teronggok menyisakan tanggul roboh dan membutuhkan tender pertolongan sesegera mungkin. Bukankah tidak pernah ada yang salah dengan satu dua jahitan?

...

Burung berkicau biasa saja pagi ini. Matahari masih dengan mood-nya yang acak-acakan. Aku terbangun dengan segumpal ragu, akan apa yang sedang kualami dan kenapa aku repot-repot memikirkannya. Maklum, seorang amatir seperti aku akan berpikir bahwa menghadapi perasaan sendiri membutuhkan kemampuan khusus. Padahal yang harus kulakukan hanya berdiri netral dan meninggalkan rantai-rantai yang dulu pernah menghalangi langkahku.

Tidak butuh logistik untuk duduk dan mencicipi atmosfer planet cinta.

kau satu-satunya dan tak ada dua
apalagi tiga, cuma engkau saja

Lagi-lagi ketakutan yang tidak perlu. Padahal kita bicara apa tadi? Cinta? Ah, muluk. Ini hanya sebaris kebahagiaan yang menolak dibubuhi titik. Menghakimi bukan porsi objek penderita seperti kita. Menangkap radar drama dalam setiap tiupan angin malam yang entah sudah berapa kali melalui tenggorokan-tenggorokan jatuh cinta.

Mungkin jawabannya tidak pernah benar-benar ada.

Ah sudahlah. Sebaiknya kita bersiap-siap. Hujan akan turun sangat deras.


Jakarta, 26 April 2011. Sebenarnya rasa tidak pernah benar-benar bicara.

8 komentar:

Ariza mengatakan...

aku mencium aroma harapan di sini.... semoga tidak salah. biasanya tidak salah....

Anonim mengatakan...

terlepas dari isi tulisan ini, saya teritasi dgn kata "bukankah..".

ah, andai saja kamu tdk perlu begitu dlm meyakinkan.

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

.mbak icha: aku ingin terus mengulang kata-kata "semoga tidak salah" itu. well, semoga.. :*

.anonim: ya. mengintimidasi keraguan. supaya kuat. ya. kuat.

Anonim mengatakan...

aku kira tulisan2 berikutnya akan lbh berbahagia.

Wind mengatakan...

Tidak ada yang perlu dipersiapkan dengan Hujan deras...
Begitu juga dengan datangnya Awan...
Apalagi mungkin si Angin akan iri untuk bergabung...
Hujan itu indah...
Bahkan Kilat pun ingin negabadikan setiap momentnya...
Nikmati saja setiap dinginnya air...
Teduhnya awan...dan
Semilirnya angin...

Tidak ada yang perlu dipersiapkan...

nb:
kecuali jika anda mencuci baju pagi ini...

Amela mengatakan...

suka tulisannya...
dibilang puitis tidak juga, dibilang romantis ya enggak, anarkis juga bukan.. hehhe
Tapi dapat menghanyutkan yang membaca ke dalam dunia imaji
mengalir, seperti air hujan

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

.anonim: kebahagiaan butuh libur. :)

.Wind: kamu menyadarkanku bahwa aku tidak sedang menjemur pakaian atau melakukan eksperimen fisika - mengukur bayangan saat ini. jadi cuma hujan. aku takut apa ya?

.amela: terima kasih banyaaak. semoga kamu terus suka. hehe. hanyut dalam air hujan itu semacam duduk-duduk di awan tanpa pusing-pusing memikirkan bagaimana kita turun nanti. limitless.... :)

salam kenal semuaaaa!

Anonim mengatakan...

hebat.. saya suka semua sihirnya..
selamat.. saya iri dengan hidup anda yang begitu berwarna, dan cara anda memahami warnanya..

terima kasih sudah pernah mau saya ajak bermandi hujan bersama..
:)