God bless this mess.



Senin, 11 April 2011

dan aku tidak tahu bagaimana memulainya kembali esok hari

Aku menyapa malam. Kali ini tanpa bintang maupun representasi lampu jalan. Berjalan pongah bersama kawanan angin dan debu. Sendu sudah di ujung lidah. Gerah menggerayangi setiap jengkal wajah petang. 

Malam itu hingar bingar. Aku memutuskan untuk mencari pendingin rindu. Sebuah tempat yang cukup nyaman untuk bersembunyi dari gerah gairah dunia.

Satu dua orang wanita berpakaian serba hitam berdiri tepat di depanku. "Tolong buka tasnya.". Percakapan pertama hari ini. Aku menyodorkan tas sekenanya pada kedua wanita itu, yang lalu dibalas dengan pemeriksaan yang juga dilakukannya sekenanya. Wajah wanita itu tampak datar. Tidak sedikitpun senyum tergaris di sana. Sebuah permulaan yang menenangkan. Pucat dan sarat persona.

Malam mulai menggeliat. Masih pukul 11 malam dan ruangan kecil ini sudah bersesakan pedagang kemaluan. Satu persatu wanita keluar ruangan dengan pria-pria berwajah konyol berjalan di belakang mereka. Pria-pria yang jauh dari apa yang orang katakan normativitas kehidupan. Berjalan pongah dengan ekspresi saya-tidak-bahagia-dengan-hidup-saya-jadi-berhenti-memandang-aneh-seperti-itu-saya-tidak-gila. Mungkin hidup untuk mereka sekedar kilasan iklan komersil yang muncul sekali-kali, dan bisa dihidup-matikan kapanpun mereka inginkan. Seperti tombol on-off. On ketika dunia berdiri sebanjar dengan mereka. Dan off ketika dunia izin keluar barisan untuk buang air kecil.

Aku duduk di salah satu meja yang baru saja ditinggalkan oleh pemiliknya. Ada dua kemungkinan. Mereka sudah tidak beruang, atau tempat ini terlalu terlihat seperti neraka bagi mereka.

"Saya pesan bir." Seorang gadis muda, berusia sekitar 17 tahun menghampiriku dengan secarik kertas di tangannya. Usia yang sangat muda untuk latar kehidupan macam ini. Mendadak pikiranku melayang pada saat-saat dimana aku masih seusia dengannya. Ibuku masih membuatkanku sarapan dan ayahku selalu mencemaskanku ketika aku belum berada di rumah hingga senja mulai berganti petang. Bukankah ironi hidup adalah deret geometris yang tidak pernah menemui angka nol. Entah binatang sensitif bernama keadilan bersembunyi dimana saat ini.

Tempat yang sempurna untuk menenggelamkan rindu, pikirku. Tepat bersama sampah-sampah kehidupan yang lain. Di sini. Tanpa malu. Tanpa ada wajah-wajah haru yang berlagak seperti bunga kamboja berwarna putih yang menenangkan seperti biasanya.

Hanya aku. Dan beberapa petak pilu.

"Halo, sayang." Seorang wanita tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya datang begitu saja. Meremas kasar kemaluan salah seorang pria yang duduk di meja sebelah. Pengalih perhatian yang lebih dari layak. Terkadang menenggelamkan rindu perlu usaha yang besar. Mengintimidasi diri dengan pemerkosaan keyakinan sepertinya tidak terlalu berlebihan.

Aku hanya melihat tubuh-tubuh kosong. Bola mata hitam memudar dan sayup-sayup hati yang meminta izin pergi. Tangan-tangan konyol mengerubutinya. Tepat di rongga-rongga tidak bersekat, dan tidak juga berisi. Persetubuhan kekosongan.

Apa kabar rindu?

Aku menyeka terang. Nikotin merampasku dari ketenangan. Nyatanya rindu ini cukup kuat. Kuputuskan untuk tenggelam dalam aroma bir dingin. Satu teguk. Dua teguk. Dan ditinggalkannya aku dalam kekecewaan yang entah dari mana datangnya.

Berkali-kali kusesapi pahit yang mungkin adalah atribut rindu dengan kardinalitas (0, N). Mencoba menerjemahkan wajah-wajah malu dalam teriakan-teriakan kenikmatan buatan. Mereka bahkan tidak mampu berakting untuk dirinya sendiri. Bersembunyi dalam senyum-senyum cacat dan gerak bola mata yang canggung. Seluruh bahasa tubuhnya cedera.

Perhatianku lantas tersita oleh wajah pria tua yang tengah duduk sendiri dengan birnya. Setelan kemeja murah bermotif garis dan celana bahan. Too obvious. Tangannya mengetuk-ngetuk meja dan matanya melahap sekeliling. Seperti hanya berusaha memuaskan keinginan mata dan sesuatu yang mengendalikannya lebih dari otaknya itu. Mungkin hari ini dia mendapat tip dari hasil memotong rumput  taman di kantor tempatnya bekerja. Atau istrinya sedang menjalani program KB sehingga ia tidak diperbolehkan menyentuhnya.

Atau dia sama sepertiku, berusaha melibas rindu?

Satu lagi, seorang wanita yang masih berbalut pakaian kerja. Satu-satunya wanita berpakaian selain aku di ruangan kecil ini. Berkacamata dan menggeliat manja pada pasangannya. Setidaknya tampak seperti itu. Prianya berkacamata juga, wajahnya belum dapat diperhitungkan, ditambah gerakan tangan yang berisyarat ayo-sini-dekat-sama-saya-kamu-nggak-perlu-malu-kalau-tidak-percaya-lihat-sekeliling-semua-wanita-melakukannya. Memuakkan dalam segala konotasi. Kurasa orang-orang tidak benar-benar memahami apa yang dicarinya di tempat macam ini.

Dan aku pun mulai tidak memahami kebersikerasanku. Bengal yang akan berakhir sia-sia. Apa iya?

...

Sudah gelas ketiga dan rindu ini belum beranjak pergi. Sayup-sayup terdengar dentuman musik yang mulai berganti lembut. Sangat lembut sampai aku menutup mataku sesekali dan ikut melafalkan entah apa yang mampu disuarakan oleh lidah, mulut, dan gigiku. Beberapa momentum yang menenangkan. Ibarat foto, komposisinya sangat pas karena tampaknya rindu berhasil dibujuk untuk sekedar menjadi pemotretnya.


"Apa yang kau lakukan di sini?"
Aku melihat diriku sendiri tepat di depanku.

"Bukan urusanmu."
Untuk apa dia di sini. Ingin berlagak seperti malaikat yang menyelamatkanku dari api neraka? Aku tidak membutuhkan malaikat sekarang. Cukup dengan normativitas dan perihal khasanah-khasanah-an. Aku jengah dan ingin melakukannya sendiri. Tanpa bantuanmu, idiot.

"Aku tidak akan pergi. Percuma. Aku ini dirimu. Kau pikir aku tidak bosan berada dalam tubuh dengan perseptual payah macam ini? Asal kau tau, pria yang kau katakan berotak tidak lebih 'kecil' dari kemaluannya itu masih jauh lebih baik darimu. Tau kenapa?"

"...."

"Karena dia pulang ke rumahnya dan menyesal."

Aku terdiam. Bayangan janggal itu sudah menghilang sekarang. Dan aku masih duduk bersama rindu.

Benar yang dikatakannya, bahwa aku tidak pernah berhenti menjamah rindu. Berlagak mengisolasinya dari perbendaharaan nuansaku dan membuangnya seperti tidak akan pernah membutuhkannya lagi. Padahal aku selalu datang dan memungutnya kembali. Seperti titik keseimbangan yang tidak pernah tidak bergoyang namun seiring berjalannya waktu akan kembali ke keseimbangan potensialnya.

Musik sudah berhenti. Pedagang kemaluan sudah beradu dengan nasibnya sendiri. Entah beruntung mendapatkan penikmat yang 'sopan'. Atau pulang dengan lebam di wajahnya karena penikmatnya sadomasokis.

Sekuriti sibuk menengahi perkelahian pemuda berandal dengan seorang pria berjas berusia sekitar 40 tahun. Beberapa pedagang kemaluan tersisa seperti onggokan kucing baru lahir yang belum dipungut. Kehilangan kemampuan untuk berekspresi. Cukup representatif untuk menggambarkan emosi yang tidak pernah pasti. Memendamnya dalam ketidakyakinan, mengunci massanya rapat-rapat, lalu menggantinya dengan citra. Citra dan pemaknaan-pemaknaan seperti "Ya, hidupku memang seburuk itu. Tapi setidaknya aku tahu bagaimana memulainya kembali esok hari." Lalu dia menjulurkan lidah dan pergi.

Aku tenggelam bersama perasaan tidak aman. Seperti seluruh rasa aman memutuskan untuk meninggalkan kota cinta dan dipindahkerjakan ke tepian langit. Jauh sekali.

Aku berlarian ke toilet dan memuntahkan seluruh nikotin dan bir yang kuhisap dan kutenggak tadi. Tapi rindu itu masih di sini. Pagi tidak membawanya pergi. Sudahlah. Mungkin aku akan menunggu langit merendah dan gravitasi menarik habis rindu yang tidak lagi berguna ini.

Malam tidak lagi perawan. Aku meninggalkan tempat pelelangan rindu ini dan memutuskan untuk meringkuk ke ketiak peraduan. Senyap kuabaikan ringkih hati yang terus berteriak perih. Menghilang.. lalu terang.

11 komentar:

Anonim mengatakan...

bon..

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

hah?

Anonim mengatakan...

mksudku "bagus"

cerpenmu bagus. buku siapa yg kamu baca?

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

aku membaca pikiranku sendiri. Hahaha. Tapi kalau ditanya penulis favorit, saya suka Haruki Murakami, Mochtar Lubis, Dewi Lestari, dan beberapa penulis muda seperti Farida Susanty. Entahlah saya terpengaruh banyak hal. Yang orisinil hanya emosi saya ketika menulis.

Salam kenal.

Anonim mengatakan...

oh, kebetulan. aku tdk pernah membaca mereka. sayang memang tdk bisa banyak membaca.

ah, ya. kukira juga begitu. ini jenis yg sangat emosional, yang kecamuknya di dlm, tdk terlihat, tp terasa.

aku teringat akhir cerita dlm olenka, adegannya mirip, tokohnya juga memuntahkan sesuatu. sesuatu yg memang semestinya tdk di dalam.

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

:) kata Einstein, kita tidak boleh terlalu banyak membaca.

Oh ya, tentang emosi. Aku sudah lama menuliskan semua hal dengan nada 'kasar'. Termasuk hal2 indah. Ah, betapa aku merindukan bahasa2 gemulai.

Olenka? Apa itu?

Anonim mengatakan...

aq suka banget gaya tulisanmu..spertinya aq larut dlm apa yg kmu pikirin...

dan yg pst insfirasi yg dijadikan tulisanmu..yg aq tau banget..

niceee

Adelia Surya Pratiwi mengatakan...

hmmmm bahasaku memang sangat tandas. Entah itu baik atau buruk. Terima kasih.

Hah? Inspirasi tulisanku? Kamu tau? Memang kamu siapa? :)

Anonim mengatakan...

mnurut aq baik..ga ada yg tertahankan smua...

iy aq tau...
krn sbelum mencari insfirasi, disaat itulah kita baru kenal.. :)

Anonim mengatakan...

sebuah novel, karya budi dharma. salah satu favoritku.

Anonim mengatakan...

yaaahhh, mari kita sarapan pagi dengan bubur kacang ijo