..
Matahari ceria sekali pagi itu. Semangat yang dipancarkannya membentuk senyawa yang mampu membelah diri berkali-kali. Meledak-ledak seperti reaksi fusi itu sendiri.
Dan sekarang, aku memiliki satu unsurnya.
Sistem syaraf manusia mengenal kata refleks. Sebuah reaksi spontan yang timbul tanpa ada aksi yang berarti. Sebuah repetisi yang tak terhindarkan, juga tak diharapkan.
Kira-kira seperti itulah yang terjadi padaku ketika itu. Pergi tanpa memori, dan tak acuh pada masa depan. Bukankah masa lalu dan masa depan cuma tipuan waktu? Akal-akalan tukang jam? Bagiku, waktu tidak lebih dari sekedar satuan.
Dia sudah muncul di hadapanku sekarang. Dengan seutas senyum simpul yang entah sejak kapan aku lupa bahwa ada jenis senyuman seperti itu. Dengan tas punggung, celana jins pendek, dan alas kaki paling nyaman sedunia, -yah, setidaknya menurut hasil survei, oh lagi-lagi, orang dewasa selalu mengandalkan angka-angka-, crocs.
Aku dan dia. Untuk hari ini saja.
Kami memilih pantai. Ya, walaupun pantai di Jakarta memang tidak layak disebut pantai. Karena selain udaranya tidak cocok dihirup orang yang sedang patah hati (debu, sampah, las karbit), kawasan yang masih saja jumawa menyebut dirinya pantai ini sangat tidak masuk akal, bayangkan, bagaimana bisa 'genangan air' dalam kondisi bersampah dijadikan sebagai tempat berenang anak-anak, dan level ketidakmasukakalannya sudah mencapai: mereka tidak sadar, tidak peduli, dan senang.
Bukankah mereka anak-anak?
Ah, sepertinya aku harus berduka karena 'kedewasaan' ini mulai tidak asyik.
Ketika kami datang, pantai itu tidak terlalu ramai. Atau lebih tepatnya, kami mengunjungi tempat-tempat yang memang tidak terlalu diminati banyak orang.
Banyak hal yang kami temui di sana. Pantai tidak masuk akal ini sekarang bertransformasi menjadi pantai memori.
Aku bersikeras ingin mematri namaku dan namanya di permukaan kayu itu. Dengan kapur semut, tipe-x, sari ketek, atau apapun, asal tidak hilang begitu saja ketika hujan turun. Sayang sekali, terlalu norak katanya. Benar-benar menyedihkan menjadi orang dewasa, lupa betapa asyiknya menuliskan "Dasar Kampret" di kaca mobil berdebu orang tidak dikenal. Baiklah, aku anggap kamu benar-benar lupa dan memang sebaiknya aku mengambil inisiatif seperti ini saja.
Cukup aku dan dia saja yang tau. (kenapa jadi terasa seperti usai memproduksi video porno?)
Harus aku akui, tempat ini tidak buruk. Aku bisa bersepeda mengelilingi pantai, dengan sedikit gaya cross-road yang dibuat-buat. Bagian dari pantai yang cukup sepi. Dan kami bersepeda berdua saja. Aku di depan dan dia di belakangku, memastikan aku tidak hilang, katanya.
Bisakah kamu membayangkan selelah apa sel-sel neuro-transmitter ku saat ini karena terlalu sering memproduksi hormon kebahagiaan?
Kami terus saja berjalan, seolah jalan ini akan terus ada untuk mengakomodasi keinginan kami untuk terus bersama. Melankolis? Itu lagu tema kehidupanku.
Sesekali kami berpandangan. Lagi-lagi gerakan refleks. Ada sebuah misi yang kami lupakan hari ini. Misi yang tidak dapat diidentifikasi oleh gerakan refleks sekalipun.
Kami merebahkan diri di atas pasir. Dua sepeda sewaan tadi pun sukses kembali menjadi kameo.
Sejenak pikiranku melayang entah kemana. Sepertinya menemui pikirannya. Entah di semesta yang mana, yang jelas pikiran kami sibuk berbincang. Sampai aku membuka mata, dan bertanya.
"Jam berapa ini?"
Mendadak sendu. Gerakan refleks itu sudah kabur entah kemana. Hanya ada aku dan setumpuk memori yang harus kusortir satu persatu agar tidak semakin menumpuk dan membuatku semakin sulit beranjak. Waktu. Mendadak kamu sangat berkuasa sekali. Padahal baru saja aku mencecarmu seperti anak ayam yang terlahir cacat dan tidak bisa berkokok.
Penyortiran selesai. Tapi aku tidak dapat menemukan dimana memori seharian ini. Hormon-hormon kebahagiaan itu pasti sudah ditelan ombak atau terbang bersama kotoran dan sampah.
Seperti menulis di atas pasir di pinggir pantai. Ombak datang, segalanya lenyap. Tanpa bekas.
Seperti tak pernah mengenal gradasi, rasa sakit ini menghujani hati. Seperti petir yang muncul tanpa gemuruh dan kilatan cahaya.
Dan hujan.
Kesia-siaan kata-kata seperti "Sabar, perpisahaan itu sama pastinya dengan perjumpaan" dan "Dia pergi untuk kembali, kok" terlihat sangat jelas kali ini. Rasanya seperti luka basah yang dibuka perbannya dan disiram air jeruk panas.
Sayangnya luka ini tidak berwujud.
Tetapi sangat terasa.
Hei, aku akan bertemu dengannya lagi, kok. Dan bersamaan dengan itu, pasti kami akan berpisah, lagi.